tebuireng.co – Tamu tak beradab banyak terjadi dalam dinamika perhelatan Piala Dunia 2022. Banyak sekali hiruk pikuk yang terjadi di dalamnya. Ada yang positif, tapi tidak sedikit yang negatif bahkan kontroversial, seperti penolakan LGBT. Hal ini dapat dilihat melalui jejaring media sosial yang digunakan hari ini.
Qatar yang menjadi tuan rumah Piala Dunia kali ini telah banyak diserang jauh-jauh hari sebelum Piala Dunia dimulai. Banyak pihak, khususnya negara-negara yang masih anti Islam atau masih terjangkit Islamophobia menentang Qatar untuk menjadi tuan rumah.
Namun, Qatar menjawab semua serangan tersebut dengan elegan. Dibuktikan dengan opening yang begitu meriah kemarin. Apa lagi supporter-supporter yang mengatakan sangat senang berada di Qatar. Kebahagiaan mereka dapat dilihat melalui media sosial khususnya Tik Tok.
Banyak dari para supporter yang merasakan kenyamanan selama berada di Qatar. Dengan segala keberagamannya, mereka dapat bersenang-senang satu sama lain, layaknya sudah kenal cukup lama.
Seperti apa yang terjadi pada suporter Arab Saudi dan Argentina. Mereka saling bergurau dan bercanda ria ketika timnas keduanya bertanding bak saudara jauh.
Namun, ada saja “pengotor” pesta sepakbola 4 tahunan ini. Ada saja pihak yang masih keberatan dengan keputusan-keputusan panitia (Qatar) seperti menolak LGBT. Keberatan mereka-pun bukan pada ranah dunia sepakbola, melainkan di luar hal itu. Mereka malah mengkritisi Qatar dengan pelarangan simbol LGBT.
Padahal FIFA sendiri sudah menegaskan di awal-awal Piala Dunia untuk fokus saja pada hal-hal yang berhubungan dengan sepakbola saja. Toh, perhelatan ini adalah pesta masyarakat dunia pada cabang olahraga sepakbola, bukan cabang olahraga yang lain, apalagi yang bukan olahraga.
Lucu sekali ketika melihat negara-negara besar “meng-kritik” Qatar pada apa yang seharusnya tidak bisa dikritisasi oleh mereka. Piala Dunia ini tentang sepakbola, kenapa yang dikritik bukan tentang sepakbolanya malah mengkritisi yang lain?
Pelarangan simbol LGBT adalah hak Qatar sebagai tuan rumah. Sebagai tamu yang baik harusnya menghormati aturan main dari tuan rumah. Toh, pelarangan tersebut sesuai dengan kultur dan budaya Qatar yang Islamis. Seharusnya sebagai negara yang adidaya maka hormatilah budaya orang lain tersebut.
Kata mereka dengan melarang simbol LGBT, artinya Qatar tidak menghormati keberagaman. Padahal Qatar sendiri berhasil menciptakan atmosfer damai yang penuh keberagaman tanpa embel-embel LGBT sekalipun.
Dibuktikan dengan banyaknya suporter yang datang dari berbagai negara, mereka dapat menikmati hidup di Qatar tanpa ricuh dan kisruh satu kali pun. Justru pihak yang memaksa Qatar untuk mengikuti keinginan mereka-lah yang sebenarnya dapat dikatakan sebagai “tidak menghormati” atau tamu tak beradab di Piala Dunia.
Bak kata pepatah, gajah di pelupuk mata tidak terlihat, tapi semut yang di seberang lautan terlihat. Sering menyalah-nyalahkan Qatar, tapi kesalahan dirinya sendiri tidak diperdulikan. Inggris, German dan Amerika bahkan dikatakan munafik, karena menolak kriminalisasi LGBT, tapi melakukan kriminalisasi ke kulit hitam secara masif.
Yang harus mereka camkan baik-baik adalah nasihat dari Duta Besar Piala Dunia 2022, Khalid Salman:
“Kami percaya pada rasa saling menghormati. Oleh karenanya, setiap orang bisa diterima. Apa yang kami harapkan sebagai balasan adalah supaya semua orang menghargai budaya dan tradisi kami”.
Sekarang, FIFA-pun mulai melunak. Simbol LGBT mulai perlahan diperbolehkan. Hal ini merupakan hasil dari “desakan” negara-negara yang pro-LGBT untuk me-legalkan simbol-simbol tersebut. Seharusnya mereka malu terhadap perlakuan mereka pada Qatar.
Mengingat, Qatar sebagai tuan rumah memiliki hak untuk memutuskan aturan yang sesuai dengan kultur dan budayanya. Dengan desakan dan ancaman terhadap Qatar ini menjadi bukti bahwa mereka tidak menghormati Qatar sebagai tuan rumah sama sekali. Miris melihat hal memalukan tersebut!
Oleh: Ach Syifa’ Qolby