tebuireng.co– Dalam realitas transformasi sosial kontemporer, fungsi agama dipertanyakan oleh berbagai kalangan. Secara konseptual, agama yang memosisikan Tuhan di atas segala-galanya digugat. Manusia diposisikan pada tempat yang sentral. Mereka bebas memilih dan berkreasi dalam menentukan hidup. Norma yang dibuat juga diarahkan pada pilar kemanusiaan. Manusia tidak boleh dibelenggu oleh hal supernatural. Dalam perkembangan lebih lanjut, konsepsi kemanusiaan yang ditempatkan di atas segala-galanya juga dipertanyakan. Kegagalan manusia dalam membangun peradaban yang seimbang antara kekuatan spiritual dan material ternyata dinilai gagal oleh sebagian kalangan. Keterbelungguan jiwa yang membawa dampak negatif dalam kehidupan menjadi sorotan. Dengan demikian, konsepsi agama dibangun kembali untuk menjaga keseimbangan tersebut.
Baca juga: Ketika Agama Menyelesaikan Masalah
Di sisi lain, praksis agama dipersoalkan. Legitimasi agama dalam kehidupan membawa dampak pada manipulasi agama. Fungsionalisasi agama disodorkan untuk menyelesaikan problem tersebut. Keterbelahan orientasi antara agama dan dunia juga menjadi persoalan. Beberapa pelanggaran terhadap hukum seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme seringkali dilakukan oleh masyarakat yang penduduknya adalah umat beragama. Jika demikian, agama hanya sekadar simbol dan tatanan yang tidak memiliki arti dalam kehidupan dalam konteks perubahan sosial.
Problem dan Tantangan Agama
Dalam dialektika sosial, agama seringkali menjadi perbincangan. Agama pada satu sisi dalam kondisi konflik, sedang sisi yang lain adalah fungsional. Jika agama hanya diorientasikan pada spiritual, yaitu obsesi ketenangan jiwa dan kedamaian temporal, maka agama akan lepas dari logika dan teknologi. Jika demikian, manipulasi agama menjadi fenomena dalam kehidupan. Satu sisi manusia rajin mengerjakan ibadah, sedang sisi yang lain manusia melakukan berbagai pelanggaran.
Selain itu, manipulasi agama juga berlaku dalam tataran politik. Legitimasi agama terhadap struktur politik dengan melegalisasi hak-hak Tuhan bagi penguasa adalah sebuah kenyataan. Konflik yang berdimensi agama dengan mengatasnamakan kepentingan Tuhan digulirkan. Dengan agama, Tuhan seakan-akan memiliki kepentingan yang harus dimenangkan, sehingga manusia yang beragama menjadikan dirinya sebagai tentara Tuhan yang siap membantai siapapun demi kepentingan Tuhan.
Tanpa pelurusan pemahaman keagamaan dan kebenaran wahyu, tindakan politik atas nama agama selalu ditempatkan sebagai cermin kehendak Tuhan yang tidak bisa salah dan dikritik. Akibatnya, gerakan agama sulit berpartisipasi dan bersikap demokratis. Setiap gerakan agama yang mengalami kekalahan selalu diletakkan sebagai konspirasi jahat yang harus dihancurkan dengan segala cara.
Baca juga: Madrasah Anak Tiri dan Usul Pembubaran Kementerian Agama
Masalah hukum, ekonomi, dan budaya pada akhirnya juga dapat dilegitimasi oleh agama. Agama menjadi rekayasa dalam menentukan arah kehidupan dunia. Manipulasi agama akan menjadi paradigma yang dilegitimasi. Dengan demikian, agama telah meruntuhkan nilai-nilai kemanusiaan. Legitimasi ini berdampak pada konflik kemanusiaan di tengah masyarakat yang pada akhirnya agama gagal memberikan ruang dalam menyelesaikan konflik. Agama yang seharusnya mendapat penghargaan dan legitimasi dari berbagai elemen kemudian secara perlahan ditinggalkan.
Konsep atau tafsir baru agama penting disusun jika praktik keagamaan dari agama-agama besar dunia gagal mengatasi konflik dan menyelesaikan banyak masalah kemanusiaan, apalagi memunculkan permusuhan dan pertentangan. Berbagai konflik yang semula bersumber dari masalah sosial dan ekonomi cenderung meluas memasuki wilayah agama. Ironisnya, ketika melibatkan agama, suatu konflik justru semakin rumit dan sulit dipecahkan. Dalam kondisi demikian, masyarakat terbelah ke dalam dikotomi teologis, yaitu iman dan kafir. Kecenderungan melibatkan agama dalam konflik seperti ini menunjukkan pola keagamaan yang masih berada pada tahap magis masyarakat agraris tradisional (Abdul Munir Mulkan, 2002: 7-8).
Baca juga: Sesungguhnya Agama itu Nasehat
Kondisi di atas menyebabkan agama tidak menjadi kekuatan pemersatu. Agama muncul dalam berbagai wajah berdasarkan siapakah yang berada di balik kekuatan agama itu. Ketika agama masuk ke dalam wilayah politik, yang terjadi kemudian adalah politisasi agama. Seluruh aktivitas politik yang sebenarnya harus menjadi subordinat dari aktivitas keagamaan, justru berbalik menjadi kekuatan yang mensubordinasikan agama. Akibatnya, terminologi agama yang tidak pada tempatnya dijadikan sebagai pembenaran atas aktivitas politik yang bertentangan dengan norma-norma agama (Pradana Boy ZTF, 2005: 177). Akibatnya, agama menjadi sumber bencana dalam berbagai dimensi kehidupan. Agama direfleksikan dalam suatu realitas yang menjemukan dan menakutkan.
Agama harus dikembalikan kepada fungsi awalnya sebagai kekuatan pemersatu dan pembebas yang akan mempersatukan manusia dalam kerangka etika dan keadaban sekaligus membebaskan manusia dari belenggu-belenggu sentimen primordial dan kepentingan sepihak kelompok tertentu. Agama dalam hal ini berfungsi mengikat masyarakat bersama-sama dalam kelompok-kelompok. Agama merupakan suatu sistem yang mampu menciptakan identitas bagi setiap orang. Agama sebagai entitas sosial yang mengikat dan memuat seperangkat nilai moral dan spiritual diharapkan mampu mengembalikan fitrah kemanusiaan secara hakiki dan memberikan inspirasi pada pembenahan kehidupan manusia.
Untuk mengonstruksi manipulasi agama, dialektika agama diarahkan pada perubahan sosial. Secara kategoris dapat disebutkan tiga posisi agama berhadapan dengan perubahan sosial. Pertama, paran agama dimunculkan dalam memberikan inspirasi dan spirit bagi proses tumbuhnya transformasi sosial. Kedua, agama memberikan nilai dan norma atau pedoman dalam proses perjalanan transformasi sosial sesuai dengan prinsip-prinsip etis. Ketiga, agama mengukuhkan atau memberi legitimasi terhadap sahnya perubahan sosial di masyarakat (Ahmad Najib Burhani, 2001: 186-187).
Transformasi sosial tidak selamanya membutuhkan inspirasi agama. Perubahan masyarakat pada akhirnya menjadi otonom dan mandiri serta tidak membutuhkan dukungan agama. Dalam kasus ini, posisi agama yang kedua dan ketiga adalah penting diperankan. Meskipun demikian, kedua fungsi itu justru bisa berbelok pada sisi negatif jika tidak berpedoman pada prinsip-prinsip etis.
Problem dan transformasi sosial bergerak sesuai dengan perkembangan manusia, sedang nilai-nilai agama adalah baku. Ia bisa up to date jika mampu untuk terus mentransformasikan dirinya dengan makna dan nuansa baru. Ia akan tetap menduduki posisi pertama sebagai pemandu pertumbuhan masyarakat jika makna-maknanya terus diperbarui sesuai dengan tuntutan yang lebih etis dan bermaslahat. Jika tidak, ia akan menjadi out of date atau sekadar berada pada posisi kedua dan ketiga. Prinsip etis dan maslahat itu berjenjang dan bersifat paradigmatik serta bersifat kondisional dan kasuistik. Jika nilai agama telah memberikan inspirasi kepada perubahan sosial menuju tatanan yang adil, maka ada upaya lebih lanjut untuk mentransformasikan nilai itu pada bentuk yang lebih adil, demikian seterusnya.
Agama sebagai nilai baku menjadi up to date jika berdialektika dengan transformasi sosial. Makna dan nuansa baru dalam agama dimunculkan sebagai respon terhadap perubahan. Dinamika agama yang mengarah pada fungsionalisasi peran sosial dalam kehidupan menjadi ukuran dalam menentukan eksistensi dan fungsi agama.
Jika agama dinamis dan berdialektika secara terus-menerus, ia dapat berperan secara optimal. Jika tidak, agama direkayasa dan dimanipulasi. Fungsionalisasi agama yang sangat penting adalah penyelesaian kemanusiaan dan kebebasan. Nilai-nilai kemanusiaan universal yang dibangun oleh agama memunculkan falsafah hidup.
Hal-hal yang bersifat partikular dapat disatukan dalam kemanusiaan universal. Penyelesaian problem kemanusiaan universal lebih penting jika dibandingkan dengan penyelesaian problem insidental dan temporal. Dengan demikian, potensi agama dapat ditransformasikan. Upaya transformasi itu dilakukan dengan mengintegrasikan nilai-nilai dalam masyarakat menjadi sistem yang padu untuk mengukuhkan nilai bagi pemeluk agama.
Agama yang memiliki kitab suci tidak hanya berbicara tentang Tuhan, surga, setan, malaikat, makhluk gaib, kematian, dan akhirat. Yang menjadi fokus dalam agama tidak hanya Tuhan tapi sejarah dunia dan alam semesta dengan segala isinya beserta masalah kemanusiaan. Semua masalah yang dibicarakan itu dalam kerangka kemanusiaan dan kehidupan duniawi. Oleh karena itu, agama mengungkap masalah kehidupan dan kemanusiaan.
Sistem ritual dan peribadatan yang diajarkan agama bukan semata-semata untuk kepentingan Tuhan yang kemudian manusia menyibukkan diri dan memanjakan Tuhan. Aktivitas yang dilakukan pada dasarnya untuk kepentingan manusia dalam kehidupan yang dinamis dan terus berkembang. Dengan demikian, agama selalu mengalami tuntutan untuk melakukan social adjustment dengan realitas sosial yang melingkupinya. Agama menjadi nilai-nilai yang akrab dengan berbagai problem kemanusiaan yang dihadapi.
Kesimpulan
Dari beberapa keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa agama sering dimanipulasi. Secara metafisik spekulatif, agama dibentuk dalam ketakhayulan dan antusiasisme. Secara sosiologis, manupalisasi agama merupakan ekspresi kepentingan ekonomi dan rasionalisasi dari kebutuhan-kebutuhan psikologis. Secara politik, agama menjadi legitimasi terhadap struktur politik dengan melegalisasi hak-hak Tuhan bagi penguasa. Masalah hukum, ekonomi, dan budaya juga dilegitimasi oleh agama. Akhirnya, agama tidak menjadi kekuatan pemersatu. Agama muncul dalam berbagai wajah berdasarkan kepada siapakah yang berada di balik kekuatan agama itu.
Jika demikian, fungsionalisasi agama dinilai runtuh. Agama direfleksikan dalam suatu realitas yang menjemukan dan menakutkan. Untuk menghindari hal itu, konstruksi tafsir agama dilakukan dengan mentransformasikan dalam konteks nilai dan perubahan sosial. Dinamika agama yang mengarah pada fungsionalisasi peran sosial dalam kehidupan menjadi ukuran dalam menentukan eksistensi agama. Jika agama dinamis dan berdialektika, peran agama tampak. Jika tidak, agama dimanipulasi.
Oleh: Prof. Dr. H. Sahid HM, M.Ag., M.H. Mantan Ketua Umum PP IKAPETE dan Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya. Artikel ini pernah dimuat di Majalah Tebuireng Edisi 66 Januari-Februari 2020