Syekh Izzuddin Al-Qassam merupakan seorang mujahid dan ulama yang menginspirasi karena dalam perjalanan hidupnya telah mampu menciptakan keberanian dalam perjuangan Palestina melawan penjajahan. Lahir pada tahun 1883 di Jabala, Suriah dan tumbuh dalam keluarga yang penuh dengan kearifan sufi. Ayahnya adalah seorang sufi yang alim dan taat serta berperan dalam membimbingnya untuk mengejar ilmu di Universitas Al-Azhar, Mesir pada saat usianya 14 tahun.
Setelah menyelesaikan studinya di Mesir pada tahun 1904, Izzuddin kembali ke Suriah, memperdalam pemahamannya tentang tasawuf bersama ayahnya yang juga seorang pemimpin tarekat sufi. Syeikh Zaki Mujahid menamakan tarikatnya sebagai Tariqat Syaziliyyah. Kata beliau dalam kitab al-A’lam as-Syarqiyyah: “Syeikh Izzuddin al-Qassam adalah Syeikh Zawiyah Syaziliyyah di Jabalah al-Adhamiyyah, utara Syria.”
Namun, Muhammad Hasan Syurrab dalam bukunya Izzuddin al-Qassam Syaikhul Mujahidin fi Filastin menyebutkan, nama tarekat yang dibawa oleh ayah beliau ialah Tarekat Qadiriyyah. Meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai aliran tarekat yang dianutnya, baik Syaziliyyah atau Qadiriyyah, Syekh Izzuddin tetap menjadi figur yang mengajarkan nilai-nilai spiritualitas dan keberanian.
Perang Dunia I membawa tantangan baru ketika Perancis menjajah Suriah pada tahun 1918. Izzuddin dengan tegas memimpin perlawanan terhadap penjajahan tersebut dan memproklamasikan kewajiban jihad kepada murid-muridnya. Perlawanannya membawa ancaman eksekusi dari pihak Perancis, namun dengan keberanian dan tekad, ia berhasil melarikan diri dan menetap di Haifa, Palestina pada tahun 1920.
Di tanah Palestina, Izzuddin aktif memobilisasi komunitas Muslim untuk bersatu dalam jihad melawan pendudukan dan menghadapi gerakan Zionis yang mulai membangun pijakan di wilayah tersebut. Panggilannya untuk jihad tidak hanya terbatas pada perlawanan fisik terhadap musuh, tetapi juga menekankan pentingnya jihad melawan hawa nafsu untuk menyucikan jiwa. Dalam slogannya “Jihad adalah kemenangan atau kesyahidan” telah mencerminkan tekadnya yang kuat.
Meskipun bukan seorang pemimpin politik, Syekh Izzuddin menggunakan segala cara finansial yang ada untuk membeli senjata bagi murid-muridnya. Motivasinya sederhana, yakni melawan penjajahan dan mempertahankan kehormatan tanah air. Pada 20 November 1935, pasukan Inggris mengepungnya dan delapan pendukungnya memicu pertempuran sengit yang berakhir dengan syahidnya Syekh Izzuddin bersama tiga pengikutnya. Kematiannya menjadi pemicu revolusi besar di Palestina pada tahun 1936.
Meskipun tidak banyak meninggalkan karya tulis. Namun, terdapat kitab “An-Nakd wa al-Bayan” yang ditulis Syekh Izzuddin bersama sahabatnya yakni Syekh Muhammad Kamil al-Qasab mengenai masalah menyaringkan suara dengan bertahlil, bertakbir dan seumpamanya ketika mengiringi jenazah. Mereka tidak hanya mengambil pandangan ahli hukum, tetapi juga pandangan ulama sufi seperti Ibnu Arabi dan Imam As-Sha’rani yang menciptakan penafsiran komprehensif terhadap topik yang dibicarakan.
Untuk mengenang perjuangan dan ajarannya, terciptalah “Brigade Al-Qassam” yang diambil dari namanya dan menjadi simbol perlawanan Palestina. Meskipun beberapa tuduhan muncul, menggambarkannya sebagai kelompok Syiah, kisah hidup Izzuddin Al-Qassam menunjukkan bahwa ia adalah seorang ulama yang menganut ajaran Sunni atau Ahlus Sunnah Wal-Jamaah.
Dengan penuh hormat, kita merenung atas perjalanan hidup Syekh Izzuddin Al-Qassam, mujahid dan ulama yang tak kenal lelah dalam memperjuangkan keadilan dan kemerdekaan tanah airnya. Inspirasi dari tekadnya yang tak tergoyahkan masih hidup telah menerangi jalan bagi mereka yang melanjutkan perjuangan untuk kemerdekaan Palestina.
Baca juga: Mengenal Mahmoud Darwish, Penyair Besar Palestina