tebuireng.co- Teori Maqasid As-Syariah yang lahir dari rahim Ilmu Ushul Fiqh. Secara substansi, teori ini sudah ada sejak awal permulaan Islam, namun baru dikonsepsi dan dikodifikasi sebagai teori pada abad 8 hijriah, tepatnya oleh Imam As-Syaṭibi (Abi Ishaq As-Syaṭibi, w. 790 H), dalam karyanya Al-Muwafaqat fi Uṣuli As-Syariah, As-Syaṭibi ingin memisahkan teori Maqaṣid dari ibunya (ilmu Ushul Fiqh). Alih-alih berkembang menjadi cabang Ilmu baru, teori ini malah mengalami kevakuman.
Beberapa abad setelahnya, Imam Ṭāhir Ibn ‘Āsyur (w. 1393H/ 1973M) “membangkitkan” kembali teori maqasid dari tidur panjangnya. Beliau berhasil menggeliatkan diskursus maqaṣid sebagai kajianfilosofi pensyariatan hukum Islam yang diminati baik di dunia Islam maupun barat.
Belajar dari sejarah, teori ini sudah matang dan lolos uji kepatutan dan kelayakan. pantas menjadi cabang ilmu baru. Doruriyat Al-Khomsah sebagai aspek inti dalam teori maqasid memiliki nilai universal, syariat Islam yang luhur dan mulia, memang diperuntukan untuk membangun etika global untuk kemaslahatan umat manusia.
Maqasid bentuk jamak dari Maqsid yang berarti tujuan, maksud, kehendak, niat. Kata Maqasid di sandarkan dengan kata Syariah bermakna tujuan dari Syariah. Kedua kata ini dinisbatkan sebagai cabang ilmu bagi sebagian sarjana muslim, bagi sebagian yang lain hanya sebagai teori dalam ilmu Ushul Fiqh.
Melihat fakta tersebut, sesungguhnya aplikasi Syariah Islam sudah disiapkan oleh Allah SWT, bisa di download oleh siapa saja, tidak mengenal agama, ras, suku bangsa maupun negara, karena Islam tidak memonopoli kemaslahatan umat manusia.
Syariah; Muslim Abai, Barat Adopsi
Tiga dimensi krusial dalam teori maqasid yaitu Ḍaruriyat, Ḥajiyat dan Tahsiniyat. Pertama Ḍaruriyat al-Khamsah (lima prinsip syariah) adalah Ḥifz Ad-din (menjaga agama), Ḥifz an-Nafs (menjaga jiwa raga), Ḥifz al-mal (menjaga harta benda), Ḥifz al-‘Aql (menjaga Akal) dan Ḥifz an-Nasl (menjaga keturunan), semuanya merupakan inti dari syariah, berikutnya Ḥajiyat sebagai aspek sekunder, dan ketiga Tahsiniyat sebagai dimensi tersier.
Apapun yang Allah SWT. larang atau perintahkan tidak ada yang sia-sia, seluruhnya untuk kemaslahatan umat manusia. Ibn Qayyim Al-Jauziyah (w.751 H/ 1350 M) dalam I’lam al Muwaqqi’īn ‘an rabbil ‘Alamin mengatakan: Syariah terbentuk atas dasar hikmah dan kemaslahatan manusia didunia dan akhirat, syariah adil seluruhnya, rahmat seluruhnya, maslahat seluruhnya, dan hikmah seluruhnya.
Terkesan muslim tidak percaya diri, abai dengan ajaran yang sangat agung ini “tidak mampu” atau mungkin “tidak mau” me-implementasikan dalam relung kehidupannya. Bahkan terkesan Syariah Islam banyak diadopsi oleh barat, lihat teori HAM barat, yang mengagungkan nilai kemanusiaan, sesungguhnya mereka mengadopsi satu dari lima prinsip syariahyaitu Ḥifz An-Nafs. Begitu juga dalam bidang ekonomi, perbankan syariah banyak diminati.
Baca juga: Mohamed Sbihi Atlet Muslim Andalan Inggris
Ahlu Ḥalli Wal Aqdi Sebagai Jalan Tengah
Dalam ilmu Tata Negara, Imam Abu Ḥasan Al-Mawardi (w. 450H/1058M) menulis Al-Ahkam As-Sulṭoniyah, salah satu kitab terbaik sebagai rujukan dalam politik Islam, konten buku ini mengelaborasikan aspek bernegara, jauh melampaui teori bernegara ala Charles Montesquieu (w.1755 M) maupun John Locke (w. 1704 M), hal ini menunjukan bahwa konsep bernegara yang berbasis syariah tawarkan sudah eksis jauh sebelum konsep Trias Politica yang barat kembangkan.
Al-Mawardi menyebut Ahlu Ḥalli Wal Aqdi (AHWA) atau Ahl al-Ikhtiyar, terminologi berbeda dipakai oleh Ibn Taymiyyah (w. 1328 M) yaitu Ahl al-Syaukah, sebagian menyebutnya Ahl al-Syura, Ahl al-Ijma, Ahl al-Ijtihad mereka adalah kumpulan profesional dalam beragam keahlian, yang mempunyai kapabilitas yang telah teruji. Mereka adalah para Amir, hakim, ulama, pemimpin militer dan semua pemimpin yang dijadikan rujukan oleh umat Islam yang berorientasi pada kepentingan dan kemaslahatan publik.
Mereka bertugas untuk mengangkat pemimpin, juga bisa memecatnya jika musyawarah sudah terpenuhi demi kepentingan umat. Dengan metode pemilihan seperti ini, diyakini akan melahirkan pemimpin yang memiliki kapabilitas unggul, karena dipilih berdasarkan musyawarah oleh dewan yang unggul pula.
Nahdlatul Ulama (NU) yang berarti Kebangkitan Ulama, diharapan membangkitkan diskursus syariah pada ranah yang lebih besar. Metode pemilihan ketua umum dan Rais Amm menggunakan AHWA diyakini sebagai entry point yang mampu membangkitkan diskursus syariah di ranah praktis, namun tidak harus equivalent dengan me-legal formal-kan Syariah.
Kesan tradisionalis yang melekat sebagai penjaga Turots (Tradisi), NU memiliki tanggung jawab moral dan mendapat momentumnya untuk kembali ke AHWA, pada muktamar kali ini. Kita akan melihat apakah Ormas besar ini bisa memberi bukti, bahwa konsep berbasis syariah sebagai khasanah Islam masih bisa diterapkan di abad modern, atau hanya sekedar teori yang sudah usang hanya ada di dalam buku, cuma layak disimpan di perpustakaan, tanpa ada ikhtiyar untuk memperbaiki keadaan. Entahlah?
Oleh: A. Fathurrohman Rustandi, Alumni Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari dan Madinah Institute Cape Town, Afrika Selatan.