Syarat wajib puasa menurut Al-Qadhi Abu Syuja dalam Matan Abi Syuja‘ ada empat: Islam, baligh, berakal, dan mampu menunaikan puasa.
وشرَائطُ وُجوبِ الصيامِ ثلاثةُ أشياءَ: الإسلامُ، والبلوغُ، والعقلُ والقُدرة على الصَّومِ
- Syarat wajib puasa: Islam
Orang yang tidak Islam berarti tidak wajib puasa, karena puasanya tidak sah. Namun di akhirat, ia dihukum karena kemampuan dia mengerjakan ibadah tersebut dengan masuk Islam seperti dijelaskan di Al-Iqna’, 1:204, 404.
2. Syarat wajib puasa: baligh.
Puasa tidak diwajibkan bagi anak kecil. Sedangkan bagi anak kecil yang sudah tamyiz masih sah puasanya. Selain itu, di bawah tamyiz, tidak sah puasanya. Demikian dijelaskan dalam Hasyiyah Syaikh Ibrahim Al-Baijuri, 1:551.
Muhammad Al-Khatib berkata, “Diperintahkan puasa bagi anak usia tujuh tahun ketika sudah mampu. Ketika usia sepuluh tahun tidak mampu puasa, maka ia dipukul.” (Al-Iqna’, 1:404).
Ada beberapa tanda baligh yang terdapat pada laki-laki dan perempuan:
1. Keluarnya mani ketika sadar atau tertidur.
2. Tumbuhnya bulu kemaluan. Namun ulama Syafi’iyah menganggap tanda ini adalah khusus untuk anak orang kafir atau orang yang tidak diketahui keislamannya, bukan tanda pada muslim dan muslimah. Tanda baligh yang khusus pada wanita: (1) datang haidh dan (2) hamil.
Jika tanda-tanda di atas tidak didapati, maka dipakai patokan umur. Menurut ulama Syafi’iyah, patokan umur yang dikatakan baligh adalah 15 tahun, sperti ihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 8:188-192). Yang dijadikan dalil sebagai standar umuar 15 tahun sebagai tanda baligh adalah hadits dari Ibnu Umar ra, ia berkata,
عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، قَالَ : ” عَرَضَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ أُحُدٍ فِي الْقِتَالِ ، وَأَنَا ابْنُ أَرْبَعَ عَشْرَةَ سَنَةً ، فَلَمْ يُجِزْنِي ، وَعَرَضَنِي يَوْمَ الْخَنْدَقِ ، وَأَنَا ابْنُ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً ، فَأَجَازَنِي
“Rasulullah pernah melihatku saat akan berangkat Perang Uhud. Ketika itu usiaku empat belas tahun. Beliau tidak mengizinkanku untuk ikut perang saat itu. Lalu beliau melihatku lagi saat mau berangkat Perang Khandaq. Ketika itu usiaku telah mencapai lima belas tahun. Barulah beliau memperbolehkanku untuk ikut perang.” (HR. Muslim, no. 1868).
Yang dimaksud tamyiz adalah bisa mengenal baik dan buruk atau bisa mengenal mana yang manfaat dan mudarat (bahaya) setelah dikenalkan sebelumnya. Anak yang sudah tamyiz belum dikenai kewajiban syar’i seperti shalat, puasa, atau haji. Akan tetapi jika ia melakukannya, ibadah tersebut sah. Bagi orang tua anak ini ketika usia tujuh tahun, ia perintahkan anaknya untuk shalat dan puasa.
Jika ia meninggalkan ketika usia sepuluh tahun, maka boleh ditindak dengan dipukul. (Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 14:32-33).
3. Syarat wajib puasa: berakal
Orang yang gila, pingsan, dan tidak sadarkan diri karena mabuk, maka tidak wajib puasa. Jika seseorang hilang kesadaran ketika puasa, maka puasanya tidak sah. Namun, jika hilang kesadaran lalu sadar di siang hari dan ia dapati waktu siang tersebut walau hanya sekejap, maka puasanya sah.
Kecuali jika ia tidak sadarkan diri pada seluruh siang (mulai dari subuh hingga tenggelam matahari), maka puasanya tidak sah. Keterangan ini bisa dilihat di Hasyiyah Syaikh Ibrahim Al Baijuri, 1:551-552.
Mengenai dalil syarat kedua dan ketiga yaitu baligh dan berakal adalah hadits,
(رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَبْلُغَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يُفِيْقَ)
“Pena diangkat dari tiga orang: anak kecil sampai ia baligh, orang yang tidur sampai ia terbangun, orang gila sampai ia berakal (sadar dari gilanya).” (HR. Abu Daud)
4. Syarat wajib puasa: mampu untuk berpuasa
Kemampuan yang dimaksud di sini adalah kemampuan syar’i dan fisik. Yang tidak mampu secara fisik seperti orang yang sakit berat atau berada dalam usia senja atau sakitnya tidak kunjung sembuh, maka tidak wajib puasa.
Sedangkan yang tidak mampu secara syar’i artinya oleh Islam dilarang untuk puasa seperti wanita haid dan nifas. Keterangan ini ada di Hasyiyah Syaikh Ibrahim Al-Baijuri, 1:552, dan Al-Iqna’, 1:404).
Pengertian puasa
Puasa secara bahasa berarti menahan diri (al-imsak) dari sesuatu. Hal ini masih bersifat umum, baik menahan diri dari makan dan minum atau berbicara. Sebagaimana Allah SWT berfirman tentang puasa Maryam,
إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَٰنِ صَوْمًا
“Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Rabb Yang Maha Pemurah.” (QS. Maryam: 26).
Yang dimaksud berpuasa yang dilakukan oleh Maryam adalah menahan diri dari berbicara sebagaimana disebutkan dalam lanjutan ayat:
فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا
“Maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini.” (QS. Maryam: 26).
Sedangkan secara istilah, puasa berarti menahan hal tertentu yang dilakukan oleh orang tertentu pada waktu tertentu dengan memenuhi syarat tertentu seperti disebutkan di Kifayah Al-Akhyar, halaman 248.
Dalil Kewajibkan Puasa
Setelah mengetahui syarat wajib puasa, sekarang kita mengetahui dalil wajib puasa, Allah SWT berfirman di dalam Surat Al Baqarah Ayat 183
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ – ١٨٣
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,”
Dari hadis sahih, dari ‘Abdullah bin ‘Umar Ra, Nabi SAW bersabda,
بُنِيَ الإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَإِقَامِ الصَّلَاةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ
وَصَوْمِ رَمَضَانَ، وَحِجِّ الْبَيْتَ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهَ سَبِيْلاً
Artinya: “Islam ditegakkan di atas lima perkara, yaitu dua kalimat syahadat, mendirikan salat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadan, dan haji ke baitullah bagi mereka yang mampu.” Hadis diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam At-Tirmidzi, dan Imam An-Nasai.
Bahkan ada dukungan ijmak (konsensus ulama) yang menyatakan wajib puasa Ramadan. Puasa orang baligh tidak bisa ditinggalkan. (Lihat At-Tadzhib, hlm. 108 dan Kifayah Al-Akhyar, hlm. 248).
Oleh: Maulida