Perkembangan dunia yang terjadi sangat pesat dengan adanya internet dan lahirnya media sosial menimbulkan banyak perubahan dan polemik. Dilansir dari data Badan Pusat Statistik dari hasil pendataan Survei Susenas 2021, 62,10 persen populasi Indonesia telah mengakses internet di tahun 2021. Tingginya penggunaan internet ini mencerminkan iklim keterbukaan informasi dan penerimaan masyarakat terhadap perkembangan teknologi dan perubahan menuju masyarakat informasi. Tingginya jumlah pengguna internet di Indonesia tidak terlepas dari pesatnya perkembangan telepon seluler. Pada tahun 2021 tercatat 90,54 persen rumah tangga di Indonesia telah memiliki/menguasai minimal satu nomor telepon Seluler. Angka ini meningkat jika dibandingkan dengan kondisi tahun 2018 yang mencapai 88,46 persen.
Terbukanya akses informasi ini menghasilkan banyak kemudahan bagi manusia. Namun, sangat disayangkan manusia sebagai pengguna tak jarang mengkonsumsi dan terprovokasi dengan berita-berita hoaks. Masuknya berbagai budaya lain tanpa pandang bulu menjadikan manusia kehilangan kendali dan terombang-ambing mengikuti semua hal yang dianggap sebagai ‘tren’ hanya karena fomo, bahkan tanpa memandang sisi positif maupun negatifnya. Hal ini menjadi salah satu faktor dari degradasi moral yang terjadi baik dalam segi tutur maupun prilaku hanya dengan sebab permainan dua jempol. Sehingga, lahirlah istilah baru-baru berkonotasi negatif yang menjangkiti manusia tanpa memandang usia maupun asal budaya seperti phubbing, cybercrime, cyberbulliying dan berbagai permasalahan lainnya.
Dalam menghadapi hal ini, tentu saja manusia tidak bisa tutup mata dan telinga terhadap digitalisasi melihat sisi negatif ini, karena manusia perlu berkembang agar tidak mengalami stagnansi dalam kemajuan. Oleh karena itu, agama dapat menjadi solusi dan berperan penting sebagai pijakan manusia dalam menghadapi tantangan era globalisasi. Agama mengajarkan nilai moral luhur yang wajib dimiliki oleh pemeluknya.
Generasi Bermoral sebagai Khairu Ummah di Era Global
Moral merupakan hal sentral dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Di Indonesia, moral dipandang sangat urgen oleh para pendiri bangsa, sehingga tercantum sebagai salah satu ideologi bangsa, menempati urutan kedua pancasila setelah sila sakral yang berhubungan dengan spiritual manusia.
Fahruddin Faiz dalam bukunya Menjadi Manusia Menjadi Hamba menjelaskan bahwa salah satu kecenderungan positif dalam fitrah manusia adalah akhlak. Seperti halnya kejujuran yang merupakan bagian dari akhlak dapat menjadikan manusia mendapati rasa nyaman dan tenteram, karena akhlak merupakan dorongan fitrah. Keluar dari koridor akhlak berarti keluar dari koridor fitrah dan dapat menyebabkan manusia kehilangan rasa tenteram dalam hidupnya.
Selain itu, urgensi dari moral juga dikemukakan oleh seorang tokoh muslim Indonesia KH Hasyim Asy’ari dalam kitab Adab Al-‘Alim Wa Al-Muta’allim mengutip pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa tauhid membawa iman, iman mendatangkan syariat, syariat menyebabkan munculnya akhlak, sehingga orang yang tidak beradab sama dengan tidak mempunyai syariat, iman, dan tauhid.
Melihat dari urgensi dari pada adab di atas, maka generasi masa kini dinilai perlu untuk tetap berpegang teguh mempertahankan terhadap etika yang baik di tengah dahsyatnya gelombang perubahan. Namun, pada prakteknya generasi masa kini sering kali terdistraksi dengan hal baru yang lebih menarik, alih-alih berpegang teguh dengan adab mereka malah menjadikan adab tak lebih dari sekadar teori dalam buku pelajaran tanpa mengimplementasikannya dalam menjalankan kehidupan baik di dunia maya maupun realita.
Nabi Muhammad sebagai Oase di Tengah Degradasi Moral
Tidak hanya di era ini, degradasi moral juga terjadi di jaman pra-Islam atau lebih dikenal dengan jaman jahiliah. Nabi Muhammad kemudian diutus untuk menjalankan sebuah misi menyempurnakan akhlak manusia. Menghadapi tantangan globalisasi dan distraksi digitalisasi ini, generasi masa kini dinilai perlu untuk melihat dan meladani Nabi Muhammad, seorang teladan yang tepat, sebagaimana legitimasi Al-Qur’an bahwa Rasulullah khuluquhu Al-Qur’an.
Meniru seluruh akhlak Nabi Muhammad yang merupakan manusia paling sempurna dan terjaga dari dosa memang merupakan suatu yang mustahil. Namun, hal ini tentu tidak bisa menjadi dalih untuk bersikap pesimis untuk menghadirkan perilaku Nabi Muhammad dalam hidup kita. Generasi masa kini perlu berusaha dengan optimal sebanyak yang ia mampu untuk meneladani Nabi Muhammad, sebagaimana dikatakan bahwa ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu, sesuatu yang tidak bisa dikerjakan semuanya, tidak bisa menjadi dalil bolehnya ditinggalkan semuanya.
Seseorang juga tidak boleh pesimis untuk menghadirkan prilaku Nabi Muhammad dengan alasan beda zaman. Hal ini dikarenakan nilai yang terkandung dari diri Nabi merupakan hal yang dapat diimplementasikan dalam setiap tempat dan waktu. Generasi masa kini perlu cermat dalam memetik substansi dari ajaran Nabi, tidak hanya terpaku pada pemahaman tekstual akan tetapi memahaminya dengan menimbang kontekstualnya. Sebagimana Syaikh Yusuf Al-Qardhawi dalam kitabnya Kayfa Nata’amal Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyah menjelaskan bahwa dalam memahami hadis kita perlu melihat posisi Nabi pada konteks hadis tersebut, di samping menganalisis dalam segi maknanya.
Hemat penulis, digitalisasi yang melansir banyak perubahan, umat Islam seharusnya menjadikan Nabi Muhammad sebagai potret teladan untuk memenuhi kebutuhan manusia akan hausnya tokoh panutan dan maraknya degradasi moral. Zaman boleh berubah tapi iman tidak boleh goyah.
*Penulis adalah Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari, angkatan 2020