tebuireng.co – Strategi Kiai Wahab Melawan Imam Darul Islam (DI) Kartosoewirjo ditulis untuk memperingati pahlawan nasional dari pesantren. KH A Wahab Hasbullah salah satu pahlawan yang fenomenal.
Salah satu pahlawan nasional dari pesantren yaitu KH Abdul Wahab Hasbullah asal Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang. Kiai Wahab adalah motor penggerak Nahdlatul Ulama (NU) dan santri kinasih dari pendiri NU KH M Hasyim Asy’ari.
Kiai Wahab terkenal dengan kemampuan diplomasi dan penguasaan atas ilmu fikih serta ushul fikihnya.
Tanggal 7 Agustus 1949 Kartosoewirjo memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) atau Darul Islam (DI) karena menganggap pemerintah tidak becus dan menghianati rakyat. Aksi ini juga didukung oleh panglima daerah seperti Daud Beureueh di Aceh, Amir Fattah Jawa Tengah dan Kahar Muzakkar di Makassar.
Tim Kartosoewirjo berusaha menggaet dukungan Masyumi, termasuk NU yang saat itu masih bergabung. NU dan ormas sealiran dengan NU menolak DI/TII dan menganggapnya sebagai pemberontakan yang dilarang Islam.
Dalam buku Tambakberas, Menelisik Sejarah Memetik Uswah (2018) halaman 501 disebutkan bahwa gerilyawan DI/TII memberondong pesantren milik KH Yusuf Tauziri Garut, total 17 gempuran yang mengakibatkan kerusakan berat. Padahal dulu Kartosoewirjo mengaji ke Kiai Yusuf.
Karena NU tidak mau mendukung DI/TII, mulai ada narasi jika NU dianggap sebagai pemecah belah umat, penjilat Soekarno dan alergi syariat Islam. Tuduhan ini semakin santer saat NU keluar dari Masyumi pada 1952 dan menjadi partai politik sendiri.
Sementara itu, di tataran masyarakat Islam terjadi kebingungan harus mengikuti yang mana, manakah imam atau waliyyul amri yang harus diikuti? Bung Karno dengan republiknya atau Kartosoewirjo dengan Darul Islamnya?
Dalam Darul Islam: Suatu Pemberontakan (1955), C. van Dijk menerangkan, saat itu, Kartosoewirjo bertemu dengan Raden Oni dari Laskar Sabilillah Tasikmalaya. Mereka berniat mempertahankan Jawa Barat bersama Sabilillah dan Hizbullah.
Mereka mendirikan NII karena kecewa dengan pemerintah Indonesia dalam perjanjian renville pada 7 Januari 1948 yang dinilai merugikan Indonesia. Kartosoewirjo mengklaim Jawa Barat bukan bagian Indonesia lagi. Bulan Februari 1948 dibentuk Tentara Islam Indonesia (TII). Puncaknya proklamir DI pada 7 Agustus 1949 oleh Kartosoewirjo.
Kiai Wahab dengan elegan membuat manuver untuk melawan narasi Kartosoewirjo dkk dalam konferensi para ulama di Cipanas, 1954 yang dipimpin oleh KH Masykur, menteri Agama dan mantan panglima Sabilillah dengan memberikan gelar waliyul amri ad-dharuri bisy syaukah.
Keputusan ini mengukuhkan Soekarno sebagai kepala negara yang sah secara fikih dan harus dipatuhi umat Islam.
Kiai Wahab menjelaskan alasan mengangkat Soekarno sebagai waliyul amri dalam sidang parlemen 29 Maret 1954 menggunakan kacamata fikih, pertama Bung Karno adalah Muslim, menikah dengan cara Islam, salat dan disumpah dengan cara Islam pula.
Kedua, pemerintah tidak melarang umat Islam menjalankan ibadahnya serta tidak memerintahkan kemungkaran dan kemaksiatan. Ketiga, istilah dharuri (darurat) digunakan karena klasifikasi imam al-a’dzam dengan kualifikasi Mujtahid mutlak tidak ada lagi.
Keempat, jika rakyat tidak mengakui pemerintah Soekarno maka akan muncul waliyul amri sendiri-sendiri. Alasan kelima, biar Soekarno punya hak untuk mengangkat hakim sebagai wali nikah perempuan yang tidak memiliki nasab.
Strategi Kiai Wahab tersebut membuat arah gerakan DI/TII semakin sulit karena tidak mendapat dukungan dari mayoritas umat Islam. Hal ini juga membuat pemerintah Indonesia lebih agresif menumpas pergerakan DI/TII.
Kartosoewirjo berhasil ditangkap tanggal 4 Juni 1962, militer Indonesia juga berhasil menangkap para anggota DI/TII beserta jajaran petingginya. Berdasarkan keputusan Pengadilan Mahkamah Darurat Perang (Mahadper) tanggal 16 Agustus 1962, Kartosoewirjo dihukum mati. Ia dieksekusi di Kepulauan Seribu.
Oleh: Syarif Abdurrahman (santri Pondok Pesantren Bahrul Ulum 2009-2017)