Siti Hajar, ibunda Nabiyyuna Ismail As adalah salah sosok perempuan tangguh, cerdas, tulus, dan siap tanding di medan perjuangan. Terbukti dengan daya survive (bertahan hidup) di daerah gersang, babat tanah di Baitul Haram dengan kondisi masih menyusui bayi Ismail As.
Pertama sebelum ditinggal oleh Nabi Ibrahim As memang sempat ragu dengan kemampuan yang dimiliki, maka secara naluri kemanusiaan wajar bila Bunda Hajar menanyakan, “Ila man takiluni?”, kepada siapa kita kamu pasrahkan? Apakah Allah SWT yang memerintahkan ini? Nabi Ibrahim dengan tegas menjawab, “Iya. Allah SWT yang memerintahkan”. Dari jawaban tersebut, Siti Hajar kemudian juga mantab menjalani hari-hari belakangan, “Kalau memang benar, maka Allah SWT tidak akan pernah menyia-nyiakan kita”.
Visi ketuhanan yang dibangun bersambut, tidak bertepuk sebelah tangan. Nabi Ibrahim mengabdikan diri dan berjuang untuk ketuhanan di daerah Syam, sedangkan Siti Hajar dan bayi Ismail dengan keturunannya mengabdikan diri dan berjuang di Baitul Haram. Suami-istri seiya sekata membangun keluarga untuk mengabdikan diri hanya kepada Allah SWT dan membumikannya. “Rabbana liyuqimusshalah”, Ya Allah, semoga keturunan kami mendirikan shalat.
Sebetulnya, Nabi Ibrahim As juga tidak tega secara kemanusiaan meninggalkan istri dan bayi Ismail As di tengah gurun pasir, tiada makanan dan tumbuhan, hanya diberikan sekarung makanan dan sekendil minuman. Itu nampak dari ungkapan, “Rabbana innaka ta’lamu ma nukhfi wa ma nu’lin”, Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui apa yang kami sembunyikan dan apa yang kami nampakkan. Sebagai sosok lelaki, ia tampak tegar dari luar, sebetulnya mengalami gejolak yang sangat berat di dalam. Yang bisa diungkapkan kemudian tiada lain untuk logistik tercukupi, banyak orang akan condong hati mereka untuk menemani domisili di daerah tersebut. Belakangan, doa dan harap Nabi Ibrahim As dikabulkan. Baitul haram menjadi tempat pertemuan, perdangan, selain sebagai tempat ibadah seluruh muslim dunia.
Keduanya sukses membumikan visi ketuhanan. Siti Hajar pun tidak menanamkan kebencian kepada bayi Ismail terhadap ayahnya, Nabi Ibrahim. Meski ditinggal di tengah gurun pasir sejak bayi, Nabi Ismail As tetap patuh dan sangat hormat kepada Nabi Ibrahim. Salah satu indikator bahwa Siti Hajar tidak menanamkan kebencian terhadap sang ayah jabang bayi.
Bukti bahwa Nabi Ismail As sangat hormat dan patuh kepada sang ayah adalah komunikasi mesrah antara ayah dan anak dalam rekaman Al-Qur’an tentang kurban. Selain itu, cerita lain yang dapat dihadirkan ialah Nabi Ismail As pernah menceraikan istri pertama karena dinilai oleh Nabi Ibrahim tidak mampu menjaga kehormatan keluarga. Pasalnya, Nabi Ibrahim datang berkunjung ke keluarga kecil Ismail dan istri. Posisi Nabi Ismail sedang kerja dan sang istri berada di rumah. Penyambutan terhadap tamu lelaki tua, datang dari daerah jauh dinilai Nabi Ibrahim As tidak memuaskan, ditambah lagi keluh kesah lika-liku keluarga yang diceritakan kepadanya hanya negatif. Maka pesan yang disampaikan kepada Ismail As melalui istri pertama itu, “tangga depan pintu rumah keropos, tidak kokoh”.
Pesan isyarat dari Nabi Ibrahim ditangkap oleh Nabi Ismail. Maka, istri pertama diceraikan oleh Nabi Ismail. Sedangkan, dengan istri berikutnya, istri kedua setelah perceraian dengan istri pertama, Nabi Ibrahim menyampaikan pesan bahwa tangga depan rumah sudah kokoh. Oleh karenanya, Nabi Ismail mempertahankan pernikahan dan kehidupan keluarga dengan istri yang kedua. Artinya, petuah-petuah sang ayah (Nabi Ibrahim As) masih sangat dihormati oleh Nabi Ismail, dan tidak ada nilai-nilai kebencian, rasa benci karena “diterlantarkan” di tengah gurun sejak masih bayi, Siti Hajar tidak membangun narasi buruk terkait ayahnya, malah sebaliknya, atas nama visi perjuangan dan kerja sama keluarga yang komitmen untuk mengabdi kepada Allah SWT.
Model “penelantaran” semacam itu, tentu tidak lagi relevan di hari ini, apalagi atas nama agama. Demikian penyampaian para mufassir. Namun bagi pegiat relasi jender, pegiat sosial, suami-istri yang mengabdikan diri untuk kebaikan banyak orang, public figure, apakah pernah terbesit bagaimana cara mereka menyamakan visi dan bagaimana mereka bisa survive secara ekonomi? Bagaimana dengan narasi yang disampaikan kepada anak-anak mereka? Semoga tidak berujung pada broken home.
Baca Juga: Ibu, Sosok Perempuan Tangguh