Pertanyaan “Setelah wisuda ngapain?” sudah menjadi bagian dari kehidupan akademik. Bila jawaban wisudawan terjebak pada profesi seperti pegawai, dagang, bisnis, wiraswasta, dan bila tidak dapat meraih profesi-profesi itu dinilai gagal, maka sangat disayangkan. Pemikiran semacam itu memang praktis, akan tetapi merendahkan derajat kemanusiaan yang dimiliki dan ilmu yang telah diraih secara susah payah. Pemikiran semacam itu meletakkan manusia sebagai robot yang dicetak untuk menghasilkan produk dan materialistik. Menjadikan seseorang mudah stress dan tertekan.
Starting point seorang terpelajar yang telah diwisuda oleh lembaga akademik semestinya beranjak dari “anfa’uhum linnās”, bermanfaat bagi khalayak luas. Secara lahiriah yang nampak memang boleh jadi pegawai, wiraswasta, petani, peternak, freelance, pemungut sampah, atau pahlawan lingkungan. Adapun benefit yang diperoleh dari upaya-upaya tersebut hanya sebagai buah dan manfaat. Bisa berbentuk finansial-materi atau immateri kepuasan. Itu hanya buah, bukan orientasi utama. Start pijakan ini berbeda dengan yang pertama dan tentu sangat menentukan sudut pandang holistik kemanusiaan sebagai ibādullāh, hambah Allah SWT dan khālifatullāh.
Tantangan Narasi Publik
Pemikiran kerja bagi fresh graduate atau melanjutkan jenjang lanjutan tidak sepenuhnya salah. Secara lahiriah yang nampak, memang itulah perwujudannya. Bedanya adalah orientasi dan latar belakang yang memicu pemikiran tersebut. Pertama berorientasi materialistik dan menjadikan manusia sebagai mesin produksi; sedangkan kedua, orientasi bermanfaat kepada khalayak luas.
Penilaian kebanyakan orang, profesi dan kesibukan itu menjadi tolok ukur kesuksesan bagi para mahasiswa yang telah wisuda. Bahwa salah satu tanda ilmu yang bermanfaat ialah memiliki profesi atau kesibukan, baik dalam lembaga atau berdiri mandiri. Standar indikator ini yang menuntut fresh graduate terjebak dalam bentuk lahiriah. Mereka merasa gagal dan malu bila tidak memiliki profesi untuk menjawab pertanyaan tetangga sekitar. Padahal, bila berpijak pada starting point “bermanfaat bagi khalayak luas”, maka tidak harus berpikir profesi jadi pegawai lembaga, perusahaan, atau lainnya.
Kebutuhan ekonomi keluarga yang kurang bersahabat dan kebutuhan logistik yang terus mendesak masing-masing individu semakin menyerang orientasi dasar pemikiran fresh graduate. Mendorong mereka pada poin pertama, bahwa manusia adalah mesin produksi yang dituntut mengejar finansial keduniaan. Di sinilah jihādul akbar berlangsung, dalam padang kurusetra masing-masing mahasiwa yang telah wisuda. Masih bersikukuh untuk bertahan pada orientasi poin kedua atau terjerumus pada poin pertama.
Dua Langkah Pertama
Langkah pertama bagi fresh graduate adalah menyadari bahwa manusia itu makhluk sosial. Dulu, Hadraturrasul Muhammad saw mendirikan masjid ketika awal kali datang ke Madinah Al-Munawwarah. Sekarang masjid tersebut dikenal sebagai masjid Nabawi. Artinya, dengan ruang kumpul masjid, beliau saw membangun persaudaraan (al-ikhā’) dan pondasi berpikir yang benar ala Islam.
Selain sebagai tempat beribadah, masjid menjadi ruang untuk membangun emosional antarsaudara. Antara muslim satu dengan lainnya akan berpikir bagaimana mereka dapat membantu antarsesama.
Hari ini, ruang kumpul dan bangunan persaudaraan memang tidak harus melalui masjid. Boleh jadi wakop, kedai, cafe, majlis, halaqah, yasinan, tahlilan, diba’an, dan masih banyak lainnya. Dengan ruang sosial, interaksi antarsesama untuk bertukar informasi terjalani. Bagaimana seorang muslim dapat memberikan manfaat untuk muslim lainnya, untuk tetangga sekitar, dan yang membutuhkan tenaga maupun jasanya.
Langkah kedua, tidak menolak orang yang membutuhkan tenaga atau jasa. Selagi mampu, fresh graduate setidaknya tidak menolak bila diminta bantuan. Kalaupun tidak dalam waktu ḥālan (seketika) karena tidak seirama dengan jurusan fakultas, permainan tempo waktu untuk mempelajari medan bantuan yang akan diberikan juga dapat menjadi pertimbangan.
Termasuk relasi. Tidak menolak memberikan bantuan juga melihat relasi yang dimiliki. Ada kawan dan teman yang dapat mereka ajak jalan bersama untuk mengerjakan kemanfaatan luas. Layaknya pedagang pasar atau warung makan kecil, bila tidak menyediakan minuman, maka mereka melihat tetangga dagang sebelah yang menyediakan minuman. Orientasinya adalah memberikan manfaat kepada konsumen yang memang butuh pada minum setelah makan.
Secara lahiriah yang nampak, memang kebanyakan sama antara manusia sebagai robot pemburu materi keduniaan dan manusia sebagai makhluk anfa’uhum linnās. Yang membedakan adalah al-umūru bimaqāṣidihā, orientasi yang mendasari gerakan, pondasi yang mendasari perilaku dan aktivitas.
Baca juga: Menyematkan Gelar Kesarjanaan