Peristiwa yang terjadi di Bulan Sya’ban yang ketiga adalah penentuan umur manusia. Al-Imam Al-Hafidz Ahmad bin ‘Ali bin Al-Mutsanna At-Tamimi Abu Ya’la Al-Maushuli dalam kitab Musnad Abi Ya’la Al-Maushuli juz 8 (halaman 312) menyebutkan sebuah hadits:
أَنَّ عَائِشَةَ حَدَّثُهُمْ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ يَصُوْمُ شَعْبَانَ كُلَّهُ . قَلَتْ : قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ، أَحَبُّ الشُّهُوْرِ إِلَيْكَ أَنْ تَصُوْمَهُ شَعْبَانُ . قَالَ : إِنَّ اللّٰهَ يَكْتُبُ عَلَى كُلِّ نَفْسٍ مَيِّتَةٍ تِلْكَ السَّنَةِ، فَأُحِبُّ أَنْ يَأْتِيَنِيْ أَجَلِيْ وَ أَنَا صَائِمٌ (رواه أبو يعلى، وهو غريب و إسناده حسن)
Artinya : ‘Aisyah meriwayatkan sebuah hadis bahwa sesungguhnya Nabi ﷺ berpuasa Sya’ban sebulan penuh. ‘Aisyah berkata, aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah bulan yang lebih engkau sukai berpuasa adalah bulan Sya’ban?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah telah menulis (mentakdirkan) setiap jiwa yang akan wafat pada tahun tersebut. Maka aku berharap saat ajalku tiba (diumumkan), aku sedang dalam keadaan berpuasa.” (HR. Abu Ya’la, hadits gharib namun sanadnya hasan)
Nah, tentu pembaca yang sudah pernah nyantri di pondok pesantren akan merasa janggal karena Imam Yahya bin Syarifuddin An-Nawawi (w. 656 H.) dalam kitab Al-Arba’in An-Nawawi juga menjelaskan dalam hadits ke-4:
إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَالِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَالِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيُنْفَخُ فِيْهِ الرُّوْحُ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ : بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَ أَجَلِهِ وَ عَمَلِهِ وَ شَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ . . . . (رواه البخاري و المسلم)
Dalam hadits tersebut dijelaskan bahwa Ash-Shādiqul Masdūq Rasulullah Saw bersabda tentang proses perkembangan janin dalam perut ibu (rahim). Pada 40 hari pertama, kita dalam rahim ibu masih berbentuk zigot (nuthfah), yaitu sel gabungan dari sel sperma dan sel telur. Zigot pun akan menempel pada dinding rahim dan berkembang menjadi embrio pada 40 hari yang kedua, dalam redaksi hadits disebut ‘alaqah. 40 hari yang ketiga menjadi mudhghah (daging), pada proses ini sering kita sebut sebagai janin. Hadits tersebut menjelaskan pada proses ini malaikat diutus oleh Allah Swt untuk meniupkan ruh (nyawa) ke janin, kurang lebih pada bulan ke-4 masa kehamilan. Selain meniupkan ruh, malaikat juga diutus untuk menulis 4 ketentuan, termasuk diantaranya yaitu ajal.
Baca juga: Seri Mengenal Lebih Dekat Bulan Sya’ban (Bagian 1)
KH. Abdul Qoyyum Mansur (Pengasuh PP. An-Nur Lasem, Rembang) menjelaskan bahwa hadis ditetapkannya umur pada bulan Sya’ban adalah dalam konteks mengumumkan daftar orang-orang yang akan wafat pada tahun tersebut kepada malaikat.
Jadi hemat penulis, takdir terkait ajal atau batas umur manusia sudah ditetapkan sejak dalam kandungan sesuai hadits dalam kitab Al-Arba’in An-Nawawi. Tetapi Allah Swt akan mengelompokkan dan mengumumkan terkait nama orang-orang yang akan wafat pada tahun tersebut kepada malaikat.
Gus Qoyyum menuturkan bahwa Rasulullah Saw berpuasa pada bulan Sya’ban dengan memiliki mindset bahwa Beliau Saw berharap jika memang akan meninggal pada tahun tersebut, maka Rasulullah Saw ingin ketika Allah Swt mengumumkannya kepada malaikat, Beliau Saw dalam keadaan sedang berpuasa.
Prof. Dr. Sayyid Muhammad Alawi bin ‘Abbas Al-Maliki Al-Makki Al-Hasani (1944-2004 M) dalam kitab Mā Dzā fī Sya’bān (halaman 18) memberi poin penting dalam sudut pandang hakikat bahwa :
فَإِنَّ أَفْعَالَ الْحَقُّ سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى لَا تُقَيَّدُ بِزَمَانٍ وَ لَا مَكَانٍ
Sesungguhnya tindakan-tindakan Allah yang Maha Benar, Maha Suci, dan Maha Luhur tidak terikat dengan waktu dan tempat. Termasuk ketika Allah Swt menentukan umur manusia adalah dengan hak mutlak-Nya, tidak ada yang dapat mengatur Allah Swt.
*Hari Prasetia, Mahasiswa Pasca Sarjana Pendidikan Agama Islam Unhasy
Baca juga: Seri Mengenal Lebih Dekat Bulan Sya’ban (Bagian 2)