tebuireng.co– Seorang penulis miskin yang begitu tekun menulis. Yang dia tulis adalah skenario. Kadang skenarionya berhasil terjual, tapi banyak pula yang tidak terjual. Mungkin malah lebih banyak yang tidak terjualnya. Sehari dia bisa menulis 3 sampai 4 skenario. Di saat orang berkencan, dia menulis. Hingga larut malam. Ketika tidak terjual skenarionya maka “teman-temannya” berdatangan: frustrasi, pesimis, sedih. Galau, kata jaman anak kiwari.
Namun, suatu ketika dia mendapatkan bayaran yang cukup besar, yang dia bandingkan dengan penghasilan kakek-neneknya bekerja seumur hidup. Itu adalah titik tolaknya mereguk kenikmatan hasil jerih payahnya perjuangan dalam menulis. Mulai dari situ, bukan dia lagi yang menawarkan skenarionya, melainkan ditawari. Melambunglah namanya.
Bayarannya pun berlipat-lipat. Dan seiring dengan itu, banyak pula segala keinginan hidupnya. Salah satunya mempunyai rumah mewah, mobil mewah, dan apartemen mewah. Proyek skenario yang berasal dari lubuk hatinya selalu dia kesampingkan. Dia selalu menggarap proyek pesanan. Tentu saja dia mengutamakan proyek pesanan tersebut, karena jelas bayarannya, ketimbang proyek pribadinya yang belum jelas.
Baca juga: Cara Menjadi Penulis Menurut AS Laksana
Pundi-pundi uangnya makin bejibun. Keinginannya untuk membeli guest house membuat dia tertekan. Ketika itu dia menulis bukan lagi yang dipikirkannya soal isi tulisannya, melainkan bayarannya. Dia sudah mulai berhitung. Tujuan hidup bukan lagi untuk menulis, tapi untuk menghasilkan uang. Hidup berubah menjadi gaya hidup. Tidak ada yang salah memang, tapi imbas atau implikasinya lain.
Gegara pergeseran “menulis untuk mencari uang” tiba-tiba saja teman-teman yang dulu pada saat dia menjadi penulis miskin datang lagi. Dia mulai takut, stres, dan frustrasi kembali. Suatu hari dia menyadari hal itu. “Sukacita dan cinta yang membuatku terus menulis pada malam hari setelah dua belas jam di belakang kemudi kini menghilang,” ujar dia menyadarinya.
Akhirnya dia membuat keputusan untuk menjual rumah mewahnya, dan membeli rumah yang biasa saja. Orientasi menulis ia geser kembali. Walhasil, dia merasakan hal yang luar biasa. Ada beban berat yang rasanya baru terangkat, ujarnya.
Setelah itu, menulis terasa menyenangkan lagi. Dia duduk di pagi hari, menulis, dengan penuh sukacita. Dia hanya memikirkan isi tulisannya. Soal laku atau tidak tulisannya, dibayar kecil atau besar, biarlah itu urusan nanti. Saking senangnya dengan perasaan ini, dia mengatakan begini: “Ya Tuhan, aku bersenang-senang!” Sebuah ungkapan rasa syukur: Alhamdulillah, Puji Tuhan. Ternyata perasaan senang itu berdampak positif pada kondisi finansialnya juga. Yup, dia menghasilkan lebih banyak uang ketimbang sebelumnya, yakni pada saat “menulis untuk uang”.
“Jika inilah satu-satunya pekerjaan yang cocok untuk kalian, jika inilah pekerjaan yang menghidupkan jiwa kalian, maka terjun dan bekerja keraslah. Berjuang, menangis, dan gigihlah menulis. Dan jangan lupa untuk mencintainya, bahkan ketika tulisan kalian mulai menghasilkan,” ujar penulis tersebut.
***
Ketika bekerja untuk uang, Anda sedang berorientasi kepada diri sendiri. Dan semua kegiatan yang berorientasi kepada diri sendiri memang dapat menghasilkan kesenangan dan kenikmatan, tetapi kegiatan tersebut tidak akan menghasilkan perasaan berguna dan bermakna. Dan ketika Anda hanya mendapatkan kesenangan dan kenikmatan, rasa bosan akan sering melanda diri Anda. Bukankah kesenangan itu hanya bersifat sementara dan tidak langgeng?
Hal ini berbeda dengan perasaan bermakna yang akan bertahan lebih lama pada diri Anda dan senantiasa membakar semangat Anda. “Sebab aku percaya satu-satunya cara berbagi cinta personal kita adalah dengan melalui kerja,” ujar Paulo Coelho. Ya, dengan cinta orang akan bekerja penuh dengan passion. Apabila orang bekerja dengan cinta, maka bekerja bukan lagi menjadi beban tetapi sebuah panggilan jiwa yang dikerjakan dengan penuh penghayatan. Bekerja menjadi ekspresi cinta, entah itu cinta terhadap pekerjaannya, cinta terhadap keluarganya, maupun cinta terhadap lain-lainnya.
Di antara cinta tersebut yang paling kuat adalah cinta terhadap Tuhan. Inilah hakikat cinta sejati, yang sejatinya melingkupi semua cinta, seperti cinta terhadap pekerjaan dan keluarga. Orang yang cinta terhadap Allah, sudah otomatis cinta pula terhadap lainnya yang berupa kebaikan. Bahkan, orang yang bekerja karena cinta Allah tidak akan pernah lekang oleh apa pun dan siapa pun. Dia tidak akan tergoyahkan oleh ruang dan waktu.
Lain halnya bekerja dengan selain cinta karena Allah. Mencintai pekerjan dan keluarga, misalnya, itu akan mudah terombang-ambing, karena tergantung dengan apa yang dicintainya. Apabila pekerjaannya mengecewakan bisa saja akan menggoyahkan cintanya. Begitu juga cinta terhadap keluarganya, ketika keluarganya dilanda cobaan bisa saja akan menggoyahkan juga rasa cintanya. Karena kita melekat dengan sesuatu yang suatu saat akan fana (hilang), alias tidak baqa’ (kekal).
Cinta kepada Allah adalah cinta hakiki yang menjadi sumber motivasi diri paling kuat. Karena, itu sama saja dengan beribadah kepada Allah. Dan karena itu sebuah ibadah maka kita pun melakukannya penuh dengan antusias. Mengapa bisa antusias? Karena pekerjaan kita akan dilabeli sebagai kebaikan yang akan dibalas dengan pahala di akhirat kelak. Di sinilah letak perbedaannya bekerja karena cinta kepada Allah dan bukan karena Allah.
Jadi, niatkanlah kerja kita lillahi ta’ala, wujud cinta kepada-Nya, karena dengan begitu kita bekerja dinilai sebagai ibadah. Tentu saja, bukan berarti kita tidak boleh mencintai yang lainnya sebagai motivasi dalam bekerja, seperti cinta kepada lawan jenis, harta, keluarga, dan yang lainnya, hanya saja tidak mengutamakan rasa cinta tersebut selain cinta Anda kepada Allah sebagai motivasi diri yang utama.
Sebuah ungkapan anonim mengatakan:
Jika Anda ingin bahagia selama satujam, maka silakan tidur siang
Jika Anda ingin bahagia dalam satu hari, maka pergilah piknik
Jika Anda ingin bahagia selama seminggu, maka pergilah berlibur
Jika Anda ingin bahagia setahun, maka warisilah kekayaan
Tapi jika Anda ingin bahagia sepanjang hidup, maka cintailah pekerjaan Anda
Bekerjalah dengan penuh cinta, niscaya kita akan mendapatkan kebahagiaan. Kita akan menjalaninya penuh dengan penghayatan, makna dan nilai. Perasaan berguna dan berharga akan memenuhi diri kita. Apapun yang kita kerjakan.
Martin Luther King Jr. pernah mengatakan, “Apabila seseorang bekerja sebagai penyapu jalan, ia harus menyapu jalan, bahkan seperti Michaelangelo melukis, Beethoven mencipta musik, atau Shakespeare menulis puisi. Ia harus menyapu dengan begitu baik hingga semua penghuni surgadan bumi akan berhenti untuk berseru, ‘Di sini hidup seorang penyapu jalan yang besar yang melakukan pekerjaannya dengan sangat baik!’”
*Oleh: M. Iqbal Dawami*, pengajar, editor, dan penulis buku 8 Golongan yang Dicintai Allah (Mizania, 2015)

