tebuireng.co – Sejarah berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo tidak bisa lepas dari sosok KH Manab, KH Sholeh dan Pengasuh Pesantren Tebuireng KH M Hasyim Asy’ari
Cerita ini dituturkan oleh KH M Abd Aziz Manshur dalam peringatan satu abad Pondok Pesantren Lirboyo. Satu abad yang lalu, tanah Lirboyo masih merupakan tanah rimbun, bersemak dan belum berpenghuni.
Di situlah hadhratal mukarram KH Abdul karim ditempatkan oleh mertuanya, KH Sholeh Banjarmelati, sebagai orang yang kelak akan mendidik dan mengajar sebuah pesantren besar dengan nama Pondok Pesantren Lirboyo. Inilah sejarah yang menjadi cikal bakal berdirinya pondok pesantren Lirboyo
Kisah ini berawal dari Pesantren Tebuireng, ketika itu Kiai Manab (nama KH Abdul Karim sebelum berangkat haji) masih berada di pondoknya Hadratussyaikh KH M Hasyim As’yari.
Kiai Manab ditawari menikah oleh KH Hasyim As’yari ketika KH Sholeh Banjarmelati datang berkunjung ke Pesantren Tebuireng untuk mencarikan jodoh putrinya, Kiai Manab dipanggil oleh Kiai Hasyim, “Celukno Kiai Manab”.
Kiai Hasyim lalu dawuh:
“Kiai Manab niki wonten tiang golek mantu. Sampeyan ajenge kulo jodoake, Bahasa Indonesia “Kiai Manab, ini ada orang cari menantu. Anda akan saya jodohkan).
Kiai Manab jawab “Nggih”. beliau hanya menjawab dengan sepatah kata saja yang membuktikan amat patuhnya Kiai Manab pada Kiai Hasyim.
Singkat cerita, setelah Kiai Manab diambil menantu oleh KH Sholeh selama satu tahun dan telah memiliki seorang putri, Nyai Hannah (Ibunda dari KH A Hafiz).
Ketika itu pula, ia sudah memiliki dua orang santri yang ikut mengaji di Banjarmelati, KH Sholeh berencana menempatkan Kiai Manab di tempat lain. Persisnya di Lirboyo.
Baca Juga: Biografi Gus Ahmad Kafabihi Lirboyo
Pada mulanya, KH Abdul Karim hanya dibuatkan sebuah “gubuk” di Lirboyo. Empat pilarnya hanya diambilkan dari batang pohon lamtoro. Dinding dan atapnyapun amat sederhana, hanya terbuat dari daun kelapa. Itupun hanya sampai setengah badan.
Kemudian setelah “gubuk” tersebut berdiri sekitar satu minggu, tiba-tiba pada suatu pagi KH Sholeh dawuh kepada Kiai Manab, “Kiai Manab, monggo nderek kulo” (Kiai Manab, ayo ikut saya.)
Kiai Manab hanya menjawab dengan sepatah kata, “Nggeh” (Ya).
KH Sholeh mengajak serta dua santri dari Kiai Manab untuk turut serta menemani Kiai Manab untuk bermukim di Lirboyo. Kedua santri tersebut disuruh membawakan perbekalan Kiai Manab yang hanya berupa seekor ayam jago, tikar, dan beras satu ceting. Hanya itu kira-kira yang turut dibawa.
Menaiki sebuah dokar, perjalanan dari Banjarmelati menuju Lirboyo ditempuh. Sesampainya di Lirboyo, rombongan diajak masuk ke sebuah kebun. Kira-kira sekarang tempat itu adalah ndalem Ibu Nyai Hj Qomariyyah.
Kiai Manab kemudian diajak masuk “gubuk” tadi oleh KH Sholeh. lalu KH Sholeh menyuruh santri yang ikut untuk menata perbekalan Kiai Manab yang dibawakan.
“Kene santri, klosone beberen. Pitike cencangen neng cagak kono. Berase dekek kene.” (Sini, gelar tikarnya, ikat ayamnya di pilar sebelah sana, berasnya diletakkan disebelah sini.)
Setelah beberapa saat berbincang-bincang, KH Sholeh dawuh:
“Kiai Manab, ting mriki panggenan sampeyan (Kiai Manab, di sinilah tempatmu)”.
Kiai Manab lagi-lagi hanya menjawab, “Nggeh”.
KH Sholeh pun kemudian pergi. Sebelum pergi, ia berpesan kepada kedua santri Kiai Manab:
“Wes ngko kiaimu nek butuh dhahar, iki berase masakne. Dene nek butuh bumbu-bumbu kono nggoleko ning kebon. Ngko nek kapan butuh, yo tukuk no tak tak tinggali duit (Sudah. Nanti kalau kiaimu butuh makan, beras ini masaklah. Kalau memang membutuhkan, belilah. Ini saya tinggali uang).
Kira-kira satu minggu kemudian, KH Sholeh datang menengok dan mengunjungi Kiai Manab. Ia amat terkejut, ternyata setelah satu minggu beras satu ceting yang ia tinggalkan untuk Kiai Manab masih utuh tak berkurang sedikitpun.
Santri yang menemani Kiai Manab tadipun dimarahi oleh KH Sholeh:
“Lho, piye to gak mbok liwetno, gak mbok masakno! (Lho! Bagaimana ini? Kok tidak kamu nanakkan nasi? Tidak kamu masakkan?).
Santri tersebutpun menjawab “Kiai mboten ngantos dawuh kapurih masak aken (Kiai Manab tidak pernah memerintahkan kami untuk memasakkan)”.
“Lha opo sing mbok pangan?” (Lantas apa yang dimakan?) Tanya KH Sholeh.
“Namung dhahar godhong-godhongan meniko (Hanya makan dedaunan yang tumbuh), jawab santri tersebut.
Dari situlah awal mula sejarah mengenai Pondok Pesantren Lirboyo dimulai, dengan muassisnya yang benar-benar tawakkal kepada Allah SWT.
KH M Abdul Aziz Manshur pernah menuturkan, “Jadi, sejarah berdirinya Pesantren Lirboyo bukan didukung dengan harta yang banyak. Bukan! Bukan didukung dengan tahta yang tinggi. Bukan! Tapi hanya didukung dengan tawakkal ‘alallâh. Yakin. Mbah Kiai Abdul Karim ditempatkan digubuk yang hanya begitu saja, selalu sumendhe. Pasrah kepada Allah SWT.”
Mustika Citra Dewi Muttaqiyati