Benarkah sedikit anak, tanda iman tipis? Dalam pertemuan diskusi rutin mahasantri, ada satu penilaian sementara (hipotesis) yang dilontarkan oleh salah seorang mahasantri putri, bahwa “semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin banyak pertimbangan terkait anak, semakin sedikit anak, bahkan enggan memiliki anak (childfree). Berbeda dengan orang-orang dulu yang memiliki banyak anak tanpa mengkhawatirkan rezeki dan masa depan mereka di masa depan”.
Mahasantri putri tersebut memberikan sampel bahwa orang-orang Korea dan Jepang semakin membatasi diri untuk beranak pinak (memiliki anak). Mereka lebih fokus berkarir dan menyibukkan diri dengan rutinitas. Bila dibandingkan mbah-mbah Jawa yang memiliki belasan anak –sebagaimana penuturan Raffles, meski banyak yang meninggal di masa kecil– maka keyakinan mereka tidak sebanding untuk meregenerasi kaum Adam-Hawa. Hepotesis mahasantri putri di atas khas generasi hari ini setelah nonton beberapa film drakor (drama Korea). Karena waktu terbatas dan disampaikan ala cerita, cuitan mahasantri tidak mendapat tanggapan dari teman-teman lainnya.
Yang Terlihat dan Yang Tersembunyi
“Yang terlihat tidak selalu seirama dengan yang nampak”, kata Imam al-Ghazali. Tidak semua yang berkerudung adalah muslimah atau sebaliknya; juga tidak semua yang bersarung adalah muslim atau sebaliknya. Bahwa yang mengambil keputusan untuk beranak sedikit mengindikasikan iman tipis atau lemah karena kekhawatiran rezeki dan masa depan anak. Boleh jadi sebaliknya, karena mempertimbangkan kemaslahatan yang lebih besar dengan meninggalkan kemaslahatan yang lebih kecil (al-maṣlaḥah al-‘āmmah muqaddamatun ‘ala al-maṣlaḥah al-khāṣṣah). Memikirkan bumi sebagai rumah bersama untuk durasi jangka panjang akan semakin cepat tertanami bangunan ketimbang yang hijau-hijauan (tumbuhan) bila laju pertumbuhan manusia tanpa kontrol.
Ada pertimbangan hak asi anak dalam seribu hari HPK (hari pertama kehidupan) yang menentukan kualitas onderdil generasi selanjutnya, hak pendidikan, menjaga psikologi anak dan aneka alasan lainnya. Pengontrolan diri untuk beranak pinak dengan mempertimbangkan hak manusia lainnya, keberlangsungan bumi sebagai rumah bersama, terutama hak anak menjadi lebih prioritas ketimbang keinginan diri sendiri untuk memperbanyak anak tanpa pertimbangan atau hanya berdasarkan keimanan yang tidak dilandasi keilmuan.
Memang, ada dorongan yang dinisbatkan kepada baginda Rasulullah Saw, bahwa beranak pinak (regenerasi) menjadi kebanggaan beliau di hari akhirat kelak. Akan tetapi, mengontrol laju pertumbuhan manusia bukanlah kebijakan yang bertentangan dengan perintah tersebut. Bahwa beranak pinak, melahirkan generasi juga perlu dilandasi keilmuan –yang juga menjadi kewajiban seorang muslim–. Jarak antaranak dengan hak asi “wal wālidāt yurḍi’na awlādahunna ḥaulani kāmilain” juga menjadi pertimbangan, kebijakan negara dengan undang-undang nomor 52 tahun 2009 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga juga perlu menjadi pertimbangan.
Tanpa keilmuan, sebagaimana yang direkam oleh Raffles terkait mbah-mbah kita di bumi nusantara dulu, banyak anak-anak usia balita atau masih kecil meninggal dunia. Pasalnya, selain karena anak-anak usia hingga tujuh tahun belum berpakaian, juga terkait makan tidak mendapatkan suplai yang baik. Bukan berarti, para bapak kita hari ini adalah bibit yang sukses menapaki seleksi alam (buatan mbah-mbah) dari sekian banyak generasi yang meninggal dunia.
Memang, urusan jodoh dan pati adalah takdir Allah SWT. Hanya saja yang perlu ditanamkan adalah kejelian mengamati sebab akibat sehingga menjadi ilmu yang terpatri dalam sanubari. Bahasa Sayyidina Umar bin Khatthab yang lebih sederhana, “kita beralih dari satu takdir menuju takdir lain”. Kalau bisa mengambil takdir dengan menelurkan generasi unggul dengan suplai onderdil yang bagus, kenapa harus menapaki takdir yang mengorbankan generasi tanpa dosa.
Rasionalisasi di atas hanya teoritis. Barangkali di lapangan memang benar adanya, bahwa generasi hari ini lebih khawatir dan takut beranak pinak karena banyak pertimbangan dan ketakutan tanpa dasar (mengambil bahasa kasar, meragukan Allah SWT sebagai Dzat yang membagi rezeki), lebih mengejar karir ketimbang regenerasi, memilih childfree (tidak berketurunan) –meski yang ini turunan dari konsep kaum Nabi Luth As–, ketimbang melandaskan rasionalisasi yang lebih humanistik sebagaimana khazanah-khazanah dan wacana di atas. Penggalian terhadap yang tidak nampak atau yang tersembunyi itu sepertinya menarik untuk menjadi bahan penelitian.
Baca Juga: Yang Disalahpahami tentang Perempuan