tebuireng.co- Puisi Indonesia modern bernafas melalui dan hidup dalam bahasa Indonesia. Bahasa ini terhitung muda ketimbang bahasa Perancis, Arab, Rusia, maupun Jerman yang telah lebih mapan. Para penyair Indonesia lahir dari dan tumbuh dalam lingkungan bahasa ibu masing-masing, yaitu bahasa-bahasa daerah. Para penyair Indonesia yang mulai bertumbuh pada paruh pertama abad XX, misalnya generasi Poejangga Baroe, menanggalkan Bahasa ibu yang mengakar dalam diri mereka dan penanggalan itu mereka tempuh demi mengamalkan bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia.
Penyair Indonesia memakai bahasa kedua, yaitu bahasa Indonesia, dan bukan bahasa pertama, yaitu bahasa daerah. Puisi Indonesia merupakan hasil dari “nasionalisasi bahasa” itu. Sutan Takdir Alisyahbana (1908-1994) merupakan biang pemikir terawal dan penganjur penting di bidang kebahasaan pada masa sebelum Kemerdekaan. Ini tampak terang-cemerlang dalam esai-esai Takdir ketika ia terlibat dalam satu keriuhan peristiwa pada dekade 1930 yang dikenal sebagai “Polemik Kebudayaan”. Sebagai sastrawan, Takdir lebih gemilang dalam bahasa prosa ketimbang bahasa puisi.
Para penyair Indonesia yang lahir dari rahim beragam Bahasa ibu itu menjadikan bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia, sebagai medan baru ekspresi puisi. Mereka menempuh “nasionalisasi bahasa”sebagai jalan puitik dan sekaligus jalan politik di bidang bahasa sebagaimana sebagian butir maklumat Soempah Pemoeda 1928. Berbahasa Indonesia merupakan sejenis aksi politik pada masa sebelum Proklamasi Kemerdekaan pada 1945, yaitu ketika Pemerintah kolonial Hindia-Belanda dan bahasa Belanda berkuasa secara formal di negeri ini.
Amir Hamzah (1911-1946) dan Chairil Anwar (1922-1949) merupakan dua tokoh awal dan utama dalam perpuisian Indonesia dan mereka belum sepenuhnya menanggalkan Bahasa ibu mereka, yaitu bahasa Melayu. Bahasa Indonesia sesungguhnya lebih dekat kepada bahasa Melayu ketimbang bahasa Jawa, misalnya. Ini yang melantari barisan awal perpuisian Indonesia diisi oleh penyair berbahasa ibu, bahasa Melayu.
Amir Hamzah dan Chairil hidup dan berkarya pada belahan pertama abad XX dan tampak jelas pergulatan bahasa puisi mereka untuk “menjadi bahasa Indonesia” dan puisi mereka masih terasa “kemelayu-melayuan”. Mereka merupakan dua contoh awal penyair Indonesia yang menasionalisasi bahasa puisi mereka. Tak heran, puisi mereka menjadi kanon penting dalam perpuisian Indonesia serta berpengaruh besar terhadap tradisi perpuisian sesudah mereka, khususnya tradisi puisi lirik.
Tandingan Baru
Kemunculan Rendra (1935-2009) dalam perpuisian Indonesia sejak paruh kedua abad XX juga menjalani nasionalisasi bahasa yang serupa pengalaman Amir Hamzah dan Chairil Anwar. Perbedaannya, Rendra lahir dari rahim Bahasa ibu bahasa Jawa dan terdidik formal dalam bahasa Indonesia melalui sekolah. Pada masa Amir dan Chairil, bahasa di sekolah menggunakan bahasa Belanda, bukan bahasa Indonesia, sehingga membuat puisi Rendra seakan sudah menggunakan “bahasa Indonesia yang sudah jadi” dan berbeda dengan puisi Amir dan Chairil yang masih berupaya “menjadi bahasa Indonesia” atau terasa “kemelayu-melayuan” itu.
Selain itu, Rendra lebih banyak dan intens menulis puisi balada, bukan puisi lirik, sekurangnya pada masa awal karier kepenyairannya pada era rezim Orde Lama/Soekarno. Kemunculan kepenyairan Rendra kuat tertandai dalam perpuisian Indonesia melalui buku puisi pertamanya, Ballada Orang-orang Tercinta (1957), yang meraih pengakuan dan penghargaan nasional di bidang sastra. Bisa dikatakan, hegemoni dan kejayaan puisi lirik Chairil Anwar mendapatkan tandingan baru sejak kemunculan puisi balada Rendra dalam perpuisian Indonesia.
Sayang, kiprah kreativitas puisi Amir Hamzah dan Chairil Anwar terhitung pendek. Amir terbunuh pada usia 35 tahun dalam sebuah revolusi sosial di Sumatera dan Chairil meninggal sebelum usia 27 tahun karena didera penyakit. Andai mereka memiliki waktu hidup lebih panjang, perjalanan kepenyairan mereka kemungkinan akan memberikan jejak perpuisian lain dengan corak berbeda. Bisa jadi puisi yang sudah mereka hasilkan dan wariskan itu masih bagian awal perjalanan perpuisian mereka. Namun sejarah tak bisa diandaikan.
Rendra memiliki waktu hidup dan kesempatan mengolah kreativitas puisi lebih panjang dan luang ketimbang Amir Hamzah dan Chairil Anwar. Berbagai gaya puisi selain balada sempat Rendra rambah. Namun balada Rendra merupakan jalan lain dalam perpuisian Indonesia kala itu yang terpengaruhi secara ketat dan kuat oleh legenda kepenyairan Chairil Anwar beserta puisi liriknya. Rendra berhasil keluar dari pengaruh itu, meski baladanya tak memberikan pengaruh sebesar pengaruh lirik Chairil Anwar terhadap perpuisian Indonesia sesudahnya. Namun Rendra tak fanatik gaya. Ia pun menulis puisi lirik, misalnya dalam buku puisi keduanya, Empat Kumpul-an Sajak (1961).
Rendra rupanya bukan hanya penyair. Dia juga aktor berbakat besar. Pembacaan puisi (poetry reading) ia lakukan di depan khalayak secara langsung. Rendra memperluas media komunikasi puisi melalui kelisanan. Atau, sebenarnya Rendra hanya mengembalikan puisi kepada tradisi awalnya, yaitu kelisanan. Perluasan komunikasi puisi melalui jalan kelisanan seperti itu tak dilakukan oleh Amir Hamzah dan Chairil Anwar. Perluasan media komunikasi dan perjumpaan langsung puisi dengan khalayak bisa memengaruhi “pola komunikasi” penyair melalui puisinya, setidaknya ini terjadi dalam perpuisian Rendra.
Merobek Batas
Citra romantik individual kepenyairan dirobek tegas oleh kehadiran kepenyairan Rendra. Setelah periode puisi balada dan puisi lirik, Rendra membawa keluar puisinya dari kesunyian bilik personal penyair menuju ruang sosial. Rendra mengusung puisinya ke jalanan, menjumpai keramaian. Citra “Kejalangan Individual” kepenyairan Chairil Anwar pada masa sebelumnya menerima tandingan baru setelah muncul kepenyairan Rendra dengan citra “Perlawanan Sosial” melalui pamflet sosial-politik, misalnya dalam Potret Pembangunan dalam Puisi (1983). Kepenyairan Rendra kemudian identik sebagai juru bicara rakyat tertindas pada masa kekuasaan rezim represif-otoriter Orde Baru/Soeharto.
Kepenyairan Rendra menjadi ikon romantik baru setelah masa Chairil Anwar. Heroisme perlawanan melekati kepenyairannya dan puisinya menjadi “bahasa sosial” dan tak lagi eksklusif sebagai bahasa puisi. Sebagai penyair, Rendra tak hanya berhadapan dengan pembaca, pendengar, dan kritikus sastra. Rendra juga berhadapan dengan otoritas pemerintahan Orde Baru. Puisi Rendra pada periode ini seakan telah menjadi sejenis politik berbentuk puisi.
Setelah Orde Baru berlalu dan memasuki era Reformasi, Rendra aktif menjadi juru bicara kebudayaan di bidang sosial-politik dan membacakan puisi-puisinya yang masih bercorak pamflet di hadapan khalayak. Kepenyairannya masih bergema menjelang akhir hayatnya, sekurangnya bagi khalayak yang mendambakan spirit perlawanan dalam puisinya. Posisi kepenyairan semacam ini, Rendralah yang pertama kali berhasil memerankannya dalam panggung sejarah negeri ini.
Setelah Rendra
Rendra merupakan bagian penting sejarah perpuisian Indonesia abad XX. Dan Rendra tak sendirian mengisi halaman sejarah perpuisian pada masanya. Namun jelas jalan panjang Rendra menapakkan beragam prestasi puisi dan peran lebih kepenyairan yang tak dimiliki dan dilakukan oleh penyair lain pada masanya. Saat ini, prestasi-prestasi Rendra itu masih bisa dinilai dan dibuktikan kebenarannya.
Keadaan dan tantangan Rendra sebagai penyair berbeda dengan yang dihadapi generasi penyair sesudahnya. Kehidupan publik yang lebih bebas dan terbuka, globalisasi, serta perkembangan teknologi komunikasi saat ini merupakan faktor penting yang membedakan keadaan dan tantangan Rendra dengan generasi penyair sesudahnya. Kepenyairan, bagaimana pun, merupakan produk dari keadaan dan tantangan zamannya, sekurangnya terpengaruhi atau terilhami oleh hal-hal semacam itu.
Abad XXI sudah dimulai. Rendra sudah menjadi sejarah. Kini puisi Indonesia masih berjalan dengan kadar kuantitas penyair dan karya yang jauh lebih melimpah ketimbang sebelumnya. Secara kualitas masih sukar dipetakan karena langkanya kritik puisi yang bagus dan berpengaruh. Penerbitan, pembacaan, dan perluasan media komunikasi puisi kian marak, namun masyarakat tak memberikan tanggapan besar atas semua itu, tak sebagaimana penerimaan mereka dahulu terhadap kepenyairan Rendra. Atau, barangkali puisi Indonesia sedang memulai sejarah baru yang berbeda dari sebelumnya.
*Binhad Nurrohmat, Penyair tinggal di Rejoso Jombang
Baca juga: Ronggowarsito Kisah Hijrah Sang Pujangga Tanah Jawa
Baca juga: Islam dan Seni di Mata Gusdur