Peran penting Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari tidak bisa dibantah dalam sejarah bangsa Indonesia. Jelas sekali bahwa beliau adalah Bapak Umat Islam Indonesia. Beliau bukan hanya ulama besar milik Nahdlatul Ulama semata namun pemimpin yang dianggap sebagai pengayom dan pemersatu bagi banyak ormas Islam di Indonesia. Tak jarang, tokoh seperti presiden Soekarno dan Jenderal Soedirman sekalipun berdiskusi dan meminta fatwa kepada beliau.
Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari sudah mendapatkan anuegerah pahlawan nasional dari Pemerintah Republik Indonesia. Bahkan, pada Selasa 18/12/2018 Presiden Joko Widodo Meresmikan Museum Indonesia Hasyim Asy’ari. Museum yang dibangun dengan menggunakan anggaran pemerintah tersebut sejatinya bertujuan untuk mengenang jejak dan jasa para pahlawan terutama KH. M. Hasyim Asy’ari kepada bangsa Indonesia.
Fatwa Resolusi Jihad yang dicetuskan KH. M. Hasyim butuh sekian purnama baru bisa diakui oleh negara. Peristiwa penting yang seharusnya tercatat lebih awal dan menjadi pengetahuan sejarah kita bersama. Peristiwa itu seharusnya menjadi pembelajaran dan tidak mengulang-ulang kesalahan yang sama.
Siapa menyangka, bahwa dalam penulisan Buku Sejarah penyusunan Kamus Sejarah Indonesia Jilid I, tidak memuat profil tokoh pendiri NU Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Kamus Sejarah Indonesia dua jilid yang diterbitkan di bawah naungan Kemendikbud.
Pada mulanya tidak ada yang mau mengaku atas kekeliruan dan kelalaian tersebut. Mas Menteri Nadiem mengaku kamus itu disusun bukan di eranya dan naskahnya masih mentah. Ajaibnya, Draft Naskah yang dibuat tahun 2017 lalu sudah diposting di Rumah Belajar, Kemendikbud. Bila memang masih mentah dan dalam perbaikan belum selayaknya menjadi konsumsi publik. Kenapa, semua itu bisa terjadi. Adakah maksud lain yang terselubung dalam hal ini.
Nasi sudah menjadi bubur. Jawaban apapun sulit dipercayai. Tidak sedikit yang beranggapan bahwa ini pasti sekedar membela diri. Jawaban yang disampaikan tidak dapat diterima akal sehat masyarakat Indonesia. Masyarakat tak bisa disalahkan, kritik tajam pun mengalir sangat deras kepada Kemendikbud. Mas Menteri dan Hilmar Farid selaku Dirjen Kebudayaan menjadi bulan-bulanan netizen. Bisa jadi jika tidak ada yang protes maka penghapusan nama KH Muhammad Hasyim Asy’ari akan terus berlanjut.
Mas Nadiem Makarim terlihat tidak tenang dalam menyampaikan jawaban persoalan yang menghebohkan jagat Indonesia. Ia menjawab, ini sudah ada sebelum ia menjabat dan ini tanggungjawab Dirjen. Seakan melepaskan tanggung jawab. Hal itu menimbulkan pertanyaan, jika seseorang menteri tidak paham rumahnya sendiri, lalu selama dua tahun ini adakah kegagalan dalam komunikasi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Tak jauh berbeda, Hilmar Farid, dengan terbuka juga menyatakan telah terjadi kealpaan, keteledoran. “Naskah yang belum siap, sudah dimuat di website”. Ia juga mengatakan, “kami menyampaikan permohonan maaf yang sangat, ke depan akan lebih melibatkan banyak pihak, sehingga lebih awas, untuk meminimalisir kesalahan.”
Baca Juga: Peran Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari dalam Pendirian NKRI
Setelah Terjadi Keteledoran Kemendikbud
Usai diserbu kritikan banyak pihak, Mas Nadiem berkunjung ke Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk meredam gejolak di kalangan Nahdliyin. Kunjungan ini dilakukan pada 22 April 2021 lalu. Tidak hanya itu, janji untuk menarik dan merevisi juga disampaikan ke khalayak luas. Dari berbagai jawaban Menteri Nadiem dan Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan tetap tak mampu menghentikan kritik dan amarah publik khususnya warga NU. Kedua tokoh ini masih jadi sasaran amukan warga nahdliyin, terutama di twitter.
Nampaknya, Mas Nadiem dan kalangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan gagal paham terkait kultur Nahdliyin. Bertamu ke PBNU saja maka sulit merendam masalah ini. Karena kekuatan Nahdliyin ada di kulturalnya. Itu hanya kunjungan ke pejabat struktural Nahdlatul Ulama (NU). Yang kita tahu jamaah kultural NU mengakar kuat di masyarakat. Kelompok kultural NU ini tak dapat terhitung dengan jari kita. Kita tahu warga NU itu sangat pemaaf. Namun, pendekatannya harus tepat.
Artinya langkah Kemendikbud yang sudah diambil dalam hal ini belum dirasakan cukup. Sebab KH M Hasyim tidak hanya milik NU, apalagi hanya PBNU. Hadratussyaikh Hasyim lebih dari NU, perannya begitu luas hingga mancanegara, sebagaimana peran komite hijaz kala itu. Sama halnya dengan cucunya, Gus Dur. Tentu tidak hanya NU saja yang meradang, Tionghoa hingga Jayapura. Sekali lagi, beliau bukan sekadar NU semata. Pecinta KH Hasyim Asy’ari datang dari berbagai organisasi Islam Indonesia dan Internasional.
Seandainya saya menjadi Nadiem Makarim, saya akan segera melakukan pendekatan dengan cara-cara yang sering dilakukan oleh tokoh dan warga NU, apa itu? Pendekatan secara kultural. Budaya kultural NU sangat ampuh dalam menyelesaikan berbagai permasalahan. Setajam apapun perbedaaan pendapat dikalangan NU pasti dapat diakhiri ger-geran. Kata Gus Dur, Gitu aja koq repot..
Oleh karenanya, demi menyelesaikan persoalan tersebut secara tuntas, Mas Nadiem dan jajarannya ada baiknya datang ke Pondok Pesantren Tebuireng dan berkunjung ke makam KH Muhammad Hasyim Asy’ari. Bertemu kepada dzuriyah, santri dan menaburkan bunga di makam Kiai Hasyim. Sekalian mengunjungi Museum Keislaman Hasyim Asyari yang hingga kini belum terselesaikan pembangunannya.
KH. M. Hasyim Asy’ari itu jauh diatas PBNU. Beliau adalah bapak Umat Islam Indonesia. Istilahnya As’ad Syihab, Jurnalis Asing, beliau adalah Peletak Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam banyak hal kita juga mendengar bahwa Mantan Presiden RI pertama, Ir. Soekarno tak jarang meminta fatwa kepada beliau.
Tanpa KH. M. Hasyim Asy’ari, takkan ada Hari Pahlawan, dan bisa jadi takkan ada kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Tanpa KH. M. Hasyim Asy’ari, takkan ada NU. Takkan ada yang membentengi NKRI hingga ketitik hingga saat ini.
Kalau saya jadi Nadiem, mungkin itu yang saya lakukan. Masalahnya, saya kan bukan Nadiem, yang melihat permasalahan ini dari kacamata berbeda. Namun, banyak tokoh-tokoh Indonesia yang melakukan hal yang sama, berkunjung ke Tebuireng untuk meredam emosi warga Nahdliyin dan pecinta KH Hasyim Asy’ari serta Gus Dur.
Dalam rangka menciptakan sejarah yang berubah menunju ihdinas shiratol mustaqim, memerlukan petunjuk. Oleh karena itu, diperintahkan wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghad (perhatikan sejarahmu, untuk masa depanmu) (Qs:59:18). Sejarah memberikan pelajaran berharga yang membuat umat Islam sadar sebagai aktor sejarah untuk menciptakan sejarah yang benar.(QS 11:120.)
Selamat berpuasa dan beribadah Ramadhan.
Penulis: Kang Ahmad