tebuireng.co– Minggu 17 Oktober, berbarengan dengan detik-detik Indonesia meraih piala Thomas setelah cukup sabar menunggu selama sembilan belas tahun, forum apresiasi karya Pentas 17 menggelar diskusi tentang Sastra di Pesantren. So What? Meski berjudul Sastra di Pesantren pembahasan lebih terpusat pada sastra pesantren.
Baca juga: Rekonstruksi Ringkas Sastra di Pesantren Dulu dan Sekarang
Malkan Junaidi, penyair, selaku pembicara pertama, mempersoalkan sejumlah tulisan yang mengangkat definisi dan karya-karya tertentu di masa lalu yang diyakini sebagai contoh sastra pesantren. Sayup-sayup saya mendengar Malkan Junaidi menyebut nama penulis Ahmad Baso dan “Serat Cebolek.” Masalahnya, kata Malkan Junaidi menyuarakan ketidaksetujuannya dengan Ahmad Baso, “Serat Cebolek” penuh dengan kenyinyiran pada figur kiai. Apakah ini yang disebut sastra pesantren? Begitu kira-kira tanya Malkan Junaidi.
Hadir sebagai pembicara kedua, Sofyan RH Zaid menyuguhkan paparan lewat Powerpoint di mana salah satu simpulan yang sempat saya dengar adalah sastra pesantren sebagai istilah itu ada, ia “eksis.” Kedudukan sastra pesantren di pesantren, kata Sofyan RH Zaid, tak lain sebagai pengantar, barangkali semacam “prolegomena” atau “mukadimah” yang bisa berguna bagi para santri jika kelak ingin mewujudkan impian menjadi sastrawan jempolan.
Dari diskusi yang ditingkahi pembacaan puisi, musikalisasi sholawat hingga dangdutan ini, saya sendiri menangkap kesan amat kuat, komunitas pesantren sedang bersungguh-sungguh membangun imajinasinya sendiri tentang apa yang mereka sebut sebagai sastra. Komunitas pesantren sedang berusaha, meminjam istilah Jean Paul Sartre saat ia menulis kata pengantar untuk buku Franz Fanon, “menemukan dirinya sendiri dan berbicara untuk dirinya sendiri melalui suara mereka sendiri.”
Tak diragukan lagi, santri yang serius adalah mereka yang di salah satu tahap pendidikannya menekuni dan mempelajari dengan antusias berbagai perangkat dalam hal strategi pembacaan dan penyusunan teks secara tertib. Santri mengenal balaghah dengan berbagai varian turunannya, memelajari nahwu, shorof, mantiq, nazaman, dan lain-lain yang keseluruhannya berkaitan dengan hal ihwal kecakapan berbahasa dalam arti luas.
Betul bahwa berbagai strategi pembacaan dan penulisan yang diajarkan di pesantren adalah khas tradisi Arab, tapi apakah orang-orang Arab mempelajari tradisi literasinya dengan tingkat keseriusan seperti dilakukan para santri yang serius? Selain itu, apakah jika kita mempelajari tradisi suatu kaum dapat secara serta merta menjadikan kita bagian dari kaum yang kita pelajari? Akankah kita otomatis menjadi Robert Plant lengkap dengan “drama” (dalam istilah Erving Goffman) kehidupannya, hanya karena kita berambut gondrong dan mampu bernyanyi seperti Robert Plant?
Baca juga: Islam dan Seni di Mata Gusdur
Selain itu, Benedict Anderson dalam “The Idea of Power in Javanese Culture” menenggarai adanya tiga aspek penting pendidikan di pesantren, pertama, sorogan dan hafalan di mana melalui dua teknik tersebut santri dimungkinkan melakukan penjelajahan tekstual secara subtil hingga sampai pada pemahaman “sing ana, ora ana; sing ora ana, ana.” Ben Anderson menrujuk pada kata Jawa “longan.”
Kedua, pendidikan pesantren memungkinkan santri melakukan “decoding” atas nash-nash al Qur’an dan atau teka-teki serta paradoks yang terdapat dalam bahasa Jawa, seperti mengubah Kalimasada menjadi Kalimah Sahadat. Ketiga, pendidikan pesantren selalu memuat dimensi metafisis di mana para santri selalu mengalami penempaan spiritual, sebuah inisiasi ke dalam sesuatu yang bersifat esoteris dan mendalam.
Ben Anderson tampaknya memusatkan perhatian pada pesantren dalam bentuknya yang tradisional yakni ketika kemajuan pendidikan seorang santri dipahami sebagai sebuah pergerakan mendekati rahasia-rahasia ultimate dari jagat raya, yang pada akhirnya, kata Ben Anderson, dapat dicapai melalui iluminasi.
Selain itu, mengikuti alur berpikir Ben Anderson, tersirat kesan cukup kuat, pendidikan pesantren berada dalam medan tarik menarik antara dua tradisi besar Jawa dan Arab. Dari sini kita bisa berhipotesis kemunculan teknik penulisan dan pembacaan Arab Pegon seperti coba direkomendasikan penyair Binhad Nurrohmat, merupakan kreatifitas yang mencuat dari ketegangan tersebut.
Akhirnya, jika sastra pesantren diposisikan sebagai titik akhir sebuah tujuan, maka, para santri, menurut saya, telah dibekali dengan berbagai perangkat atau sarana untuk paham rute, mengetahui jenis-jenis kendaraan yang dinaiki, dan memiliki lensa untuk melihat secara jernih realitas obyektif kehidupan sosial yang melingkupinya, hingga mampu memaknai berbagai pengalaman dan pergulatannya sendiri. Pemaknaan ini penting karena dari pemaknaam atas diri inilah berbagai komunitas epistemik teridentifikasi, pandangan hidup terekspresikan, dan kebiasaan-kebiasaan tergambar sempurna. Wallahualam bishawab
Oleh: Khudori Husnan, peminat kajian-kajian budaya populer.
Baca juga: Mengarang Sastra Profetik Ala Kuntowijoyo
Baca Juga: Lintas Struktural Sastra Pesantren