tebuireng.co– Santripreneur merupakan gabungan dari dua kata yakni ‘santri’ dan ‘entrepreneur’, istilah ini pertama kali digagas oleh KH. Ahmad Sugeng Utomo, dalam penganugerahan BSM Santripreneur Award 2015. Kegiatan itu bertujuan untuk memunculkan pengusaha santri maupun santri yang pengusaha. Sebuah terobosan baru yang mencoba mengeluarkan pradigma masyarakat terhadap santri, yang selama ini dikenal dengan sebutan kaum sarungan yang setiap hari berjibaku dengan pengajian-pengajian.
Baca juga: Gus Ipang: Santripreneur Berbisnis, Pasti Fantastis
Mengapa harus santripreneurs? Ada banyak alasan yang perlu dipaparkan dalam istilah ini. Namun yang pasti, laqob santripreneur merupakan bagian dari pertanggung jawaban sosial, sehingga denga laqob tersebut, diharapkan seorang santri yang memiliki jiwa entrepreneur atau yang sudah menjadi entrepreneur, mampu menjalankan dinamika bisnisnya dengan tetap teguh pendirian dalam koridor syariat Islam.
Selain itu, ada hal yang paling urgen dan mendesak yang harus diperhatikan, sebagaimana disinyalir dari majalah SWA edisi 18/2014 yang menjelaskan bahwa populasi umat islam sekitar 112 juta orang dengan nilai pasar Rp. 112 Triliun/bulan, angka itu sangat bombastis sekali, bila dikelola dan didistribusikan dengan baik, niscaya umat Islam akan makmur, jaya dan sejahtera. Namun realitasnya, umat Islam negeri ini masih belum maksimal dalam mengelola dan memamfaatkan potensi pasar tersebut.
Melihat dari data diatas, kehadiran santripreneurs merupakan suatu keharusan, yang tentu dengan pemahaman ilmu agama dan kewirausahawan yang mapan dan terintegritas. Bagaimana kemudian potensi pasar tersebut bisa diambil alih dan dikelola dengan baik oleh umat islam sendiri (santripreneur sebagai motor penggeraknya). Sebab berwirausaha itu, bukan usaha main-main tapi perlu ijtihad yang mantap dan kuat istilahnya Dahlan Iskan “bersungguh-sungguh sampai 24 karat”.
Solat Berjamaah; Strategi Nabi Menumbangkan Pengusaha Yahudi
Dalam sebuah sirah Nabi dijelaskan, bahwa setelah Nabi SAW hijrah dari Mekah ke Madina beserta para sahabat yang beriman pada beliau. Nabi dan para sahabat dihadapkan pada pengusaha rentenir yahudi, yang meminjamkan uang dengan bunga yang sangat besar, umat islam sangat tercekik dan terpuruk saat itu, daya saing umat islam kalah menghadapi pengusaha yahudi di pasar, sehingga kemudian nabi mengumpulkan para sahabat (ansor dan muhajiri) untuk solat berjamaah lima waktu di Masjid.
Walhasil, dari kegiatan berjamaah tersebut antara kaum ansor dan muhajirin saling mengenal satu sama lain, sehingga kemudian Nabi mempersaudarakan kaum ansor dan muhajirin. Sebab Nabi sudah paham dan mengetahui bahwa kaum muhajirin banyak yang pandai berniaga, sedangkan kaum ansor hanya punya modal kerja, singkat cerita setelah setahun kemudian muncullah konglomerat dari pengusaha muslim, dari kalangan sahabat seperti Abdurrahman bin Auf dan Ustman bin Affan.
Pada saat itu pengusaha-pengusaha yahudi banyak yang kolap dan gulung tikar, mereka takluk kepada pengusaha muslim, mereka tidak mampu lagi berperang menghadapi pengusaha muslim, daya saing mereka lumpuh, kekayaan mereka tergeruk habis, dan beralih pada pengusaha muslim, sebuah napak tilas yang perlu dijadikan cerminan dan di putar ulang disaat umat islam sangat terpuruk dalam bidang ekonomi.
Baca juga: Hal-hal yang Penting dalam Memulai Bisnis
Ada banyak pelajaran yang dapat diambil dalam sirah Nabi tersebut, pertama adalah kegigihan baginda Nabi besar Muhammad SAW dalam mendorong dan mengumpulkan sahabatnya untuk solat berjamaah, dimana diceritakan dalam sebuah riwayah ada seorang sahabat yang buta meminta izin pada saat itu tapi Nabi tidak memberikan izin dan tetap menyuruh sahabat tersebut untuk mengikuti solat berjamaah, kedua meskipun urusan dunia (bisnis) Nabi tidak pernah mengajarkan pada sahabat untuk melepas yang namanya urusan akhirat (ibadah), semua dibangun berdasarkan aqidah yang kuat.
Namun realitasnya, belakangan ini kesadaran akan nilai-nilai solat berjamaah tersebut sudah mulai redup, sehingga berimplikasi pada gagalnya umat islam dalam segala sektor khususnya dalam bidang ekonomi. Padahal memakmurkan Masjid dengan solat berjamaah berarti meniupkan ruh dimensi sosial yang antara lain menghidupkan rasa kemerdekaan (freedom), persamaan (equality), dan persaudaraan (brotherhood) tentu ketiga dimensi sosial itu tidak akan diperoleh apabilah kualitas berjamaahnya kurang baik lebih-lebih dalam ihwal shaf-nya.
Banyak fadilah berjamaah tidak diperoleh akibat shaf-nya tidak lurus dan rapi, begitupun dengan ruh dimensi sosial, alpa dalam jati diri umat islam saat ini. Padahal Nabi sudah memerintahkan untuk meluruskan dan merapikan shaf sebagaimana dalam sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dan muslim: ‘hendaklah kamu benar-benar meluruskan shafmu, atau (kalau tidak; maka) Allah akan jadikan perselisihan diantaramu’ (Muttafaq ‘Alaihi). Umat islam terpecah belah, sering terjadi perselisihan sehingga akibatnya mereka gagal total dalam segala sektor lebih-lebih dalam bidang perekonomian.
Kiai dalam kontek masa kini, yang termaktub dalam hadis nabi sebagai pewaris para nabi setidaknya harus memiliki inovasi dan terobosan baru serta senantiasa memberikan motivasi entrepreneur pada santrinya, sehingga dari sana diharapkan nanti lahir sosok santripreneur handal seperti sosok Abdurrahman bin Auf, yang nantinya mampu membangkitkan dan mengambil alih potensi pasar umat islam yang saat ini, dikuasai oleh orang-orang asing.
Pada era globalisasi informasi, bukan suatu hal yang mustahil bagi seorang santri untuk menjadi entrepreneur tangguh, banyak sekali kitab dan buku digital yang bisa diunduh dengan gratis di internet, mamfaatkan youtube untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang bisnis syariah, ada banyak pakar ekonomi syariah Indonesia disana, seperti Dr. Muhammad Syafi’i Antonio, Dr. Adiwarman Azwar Karim dan Dr. Muhammad Arifin Badri serta langsung bisa bergabung dengan Himpunan Pengusaha Santri Indonesia (HIPSI).
Santri sebagai mundirul qoum, tentu mempunyai peran yang vital sekali, untuk meluruskan aktivitas ekonomi masyarakat yang bertentangan dengan syariah islam, selain disatu sisi dituntut juga mampu memberdayakan ekonomi umat. Semua ini merupakan tantangan sekaligus peluang besar bagi seorang santri, untuk membuktikan kemandirian yang sudah terlatih sejak pertama kali muqim di dalam pesantren.
Hadirnya santripreneur ketengah-tengah masyarakat, diharapkan menjadi penghubung kesuksesan dan kebangkitan ekonomi umat, pangsa pasar yang besar itu menunggu para santripreneur yang tangguh, handal serta gigih dalam berjihad melawan bangsa dan pengusaha asing. Wallahu a’lam bimuradihi.
Oleh: Umar Faruk Fazhay. Alumni Ma’had Aly Pon Pes Nurul Jadid Paiton Probolonggo.
Baca juga: Santri Ideal di Era 5.0 Itu Seperti Apa?