Dalam tradisi Islam “tradisionalis” atau kebanyakan Islam di desa, setelah kumandang azan didendangkan pujian, shalawat, atau panjatan doa sembari menunggu iqamah. Durasi antara azan dan iqamah adalah waktu mustajabah bila merujuk pada teks agama. Hanya saja, sebagian kalangan muslim tidak menggunakan pengeras suara, dilakukan secara personal, dan sirri (pelan tidak bersuara).
Namun, mayoritas pesantren menerapkan pilihan untuk menggunakan pengeras suara. Selain sebagai penanda shalat berjamaah belum berlangsung, sebagai notif pikiran yang masih berkeliaran dalam kesibukan dan mengajak untuk kembali hadir secara lahiriah maupun batiniah, juga sebagai panjatan doa mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Di Ma’had Jami’ah Universitas Hasyim Asy’ari (Unhasy), pesantren mahasiswa-mahasiswi dalam satu pagar beda gedung, shalat jamaah dilangsungkan secara bersama sebagaimana di mushalla atau masjid pedesaan, santriwati putra dan putri menyatu dalam aula yang difungsikan sebagai pusat kegiatan dengan pemisah satir. Berbeda dengan kebanyakan pesantren, yang memisahkan antara pesantren putra dan pesantren putri, sehingga otomatis shalat berjamaah juga dilaksanakan secara terpisah antara lelaki dan perempuan sebagaimana letak asrama masing-masing.
Seringkali yang menarik perhatian adalah pujian shalat subuh yang didendangkan oleh mahasantri putri. Sudah mafhum dalam kehidupan mahasiswa bahwa mahasantri putra seringkali begadang hingga menjelang subuh, baru tidur. Hanya beberapa mahasantri yang hidup teratur dan bisa mengumandangkan azan shubuh. Satu dua yang bangun ini, setelah mengumandangkan azan, mereka biasa membangunkan sahabat-sahabat yang masih tertidur. Otomatis, kendali pujian dilantunkan oleh mahasantri putri yang kebanyakan sudah hadir sembari menunggu jamaah.
Dalam perdebatan khazanah fikih yang tidak pernah tuntas, suara perempuan termasuk di antaranya. Bila menyaksikan realitas mahasantri Ma’had Jami’ah Unhasy dalam mengumandangkan pujian setelah azan, mereka menganut paham bahwa suara perempuan bukanlah aurat yang harus ditutup dan dijaga. Yang kedua, bahwa pujian bukanlah ibadah maḥḍah (pure worship) sebagaimana shalat, haji, dan puasa, sehingga menerima kemungkinan untuk modifikasi dan inovasi (bid’ah).
Pernah ada satu kasus di sekolahan Jombang yang menerapkan imam perempuan dalam shalat. Pasalnya, Imam Abu Dawud meriwayatkan hadis dalam Kitab Sunannya tentang diperbolehkannya imam perempuan. Di antara faktor yang dapat menjadi pertimbangan adalah status budak dan tuan, yang kalau hari ini bisa dikembangkan bahwa yang lelaki masih muallaf (awam) sedangkan si perempuan sudah ahli dalam bidang agama dan fasih dalam bacaan Alquran.
Fenomena yang terjadi waktu itu ternyata, para siswa lelaki bersorak-sorai menyikapi imam perempuan yang sudah ditunjuk oleh sang guru. Secara fisik, ternyata di sekolah tersebut belum siap menerima eksistensi perempuan sebagai sesama manusia di hadapan Allah SWT dan yang menjadi pembeda adalah nilai ketakwaan. Antara teori dan praktik di lapangan tidak selalu dapat diterapkan dengan baik.
Kembali ke kasus mahasantri Ma’had Al-Jami’ah, ternyata “pujian” setelah azan untuk menunggu iqamah tidak terjadi sorak sorai dari para mahasantri putra ketika mendengar suara pujian mahasantri putri. Sebagaimana yang biasa mereka dengar para perempuan bershalawat di atas panggung. Pun ketika program diba’ Kamis malam Jumat, pembaca diba’ juga terbagi secara berseling antara mahasantri putra dan putri di aula pertemuan yang multifungsi itu.
Fenomena kedewasaan bersikap ini menandakan kedewasaan interaksi antar mahasantri putra dan putri. Bahwa perempuan bukan objek seksual, tidak termarginalkan, dan bentuk emansipasi tidak lagi hanya dalam wacana, akan tetapi mewujud dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana interaksi dalam tubuh masyarakat. Pertengkeran intelektual telah terputus menjadi sikap sebagaimana yang diungkapkan Ibn Hajar, “ẓalika al-qaul, wa hadza al-‘amal”, pendapat bisa saja mengharamkan suara perempuan, memperbolehkan, memakruhkan, akan tetapi sikap yang diambil di lapangan adalah sebagaimana yang telah ditampilkan oleh mahasantri Ma’had Al-Jami’ah Unhasy.
Ma’had Al-Jami’ah, 16 Desember 2024
Penulis: Yayan Musthofa
Editor: Thowiroh
Baca juga: Ma’had Jami’ah, Pusat Mahasiswa Tebuireng