tebuireng.co – Bulan Oktober merupakan bulan yang di dalamnya ada momen peringatan Hari Santri Nasional. Kita ketahui bersama, bahwa peringatan Hari Santri Nasional tadi berpatokan terhadap peristiwa besar dan bersejarah yang terjadi pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Lalu timbul pertanyaan, seperti apa sosok santri ideal?
Kita kenal kejadian tersebut dengan Resolusi Jihad. Saat itu, pada tanggal 22 Oktober tahun 1945 KH Hasyim Asy’ari memimpin perumusan fatwa Resolusi Jihad di kalangan kiai pesantren.
Kita juga tahu bahwa Resolusi Jihad inilah yang menjadi pemantik semangat gerakan perlawanan dari masyarakat Indonesia untuk mempertahankan tanah airnya.
Hal itu, baik diakui atau tidak pada hakikatnya merupakan salah satu sumbangan besar oleh komunitas pesantren bagi bangsa Indonesia secara umum dan agama Islam secara khusus. Kendati demikian, peran kelompok non pesantren pada sekelumit peristiwa tersebut juga tidaklah sedikit.
Bahkan, tidak ada angka yang begitu pas untuk menghitung jumlah mereka yang turun ke medan perang dan berjuang hingga titik darah penghabisan demi kemerdekaan negara Indonesia.
Maka, menafikan adanya peran kalangan non pesantren dalam sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa ini merupakan wujud dari kemunafikan.
Jauh sebelum terjadinya peristiwa Resolusi Jihad tersebut, para ulama, santri dan masyarakat pribumi telah banyak mengalokasikan waktu, tenaga dan hartanya untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Sejarah mencatat, bahwa Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari tidak hanya mengenalkan diri sebagai ulama yang mencukupkan perjuangannya dengan berbicara di mimbar-mimbar masjid, mengisi majelis ta’lim dan serangkaian kegiatan formal keagamaan lainnya.
Di balik sorban kebesarannya sebagai tanda bahwa dirinya ulama, ia juga sangat ringan tangan untuk berkorban bagi kejayaan agama dan bangsa.
Sangat banyak pengorbanan Kiai Hasyim terhadap masyarakat. Baik itu untuk kepentingan masyarakat yang bersifat individual maupun bersifat komunal. Begini kutipan dari catatan KH. Abdul Karim Hasyim terkait wujud pengorbanan yang dilakukan Kiai Hasyim pada masa hidupnya
“…entah banyak entah pula sedikit, entah berupa benda entah nasihat, tidak pernah beliau menolak orang yang datang kepadanya meminta pertolongan…”(Akarhanaf, 2021:46).
Sudah seharusnya, santri sebagai generasi penerus pendahulunya dalam mengisi peradaban yang terus mengalami perubahan dan berkembang, agar supaya lebih membuka diri terhadap perubahan dan perkembangan tadi. Ia perlu memahami jalannya perubahan.
Idealnya, dalam menghadapi perubahan dan perkembangan dalam kehidupan seorang santri ideal tidak boleh semata mengikuti, menerima, serta menikmati segala perkembangan yang pada akhirnya ia kehilangan jati diri sebagai santri sebab tidak mampu mempertahankan budaya dan identitasnya.
Al-muhafadzatu ‘ala qadim as-Sholih wa al-Akhdu bi al-Jadid al-Aslah sebagai kaidah fiqih jangan hanya menjadi penghias wacana dalam forum semata. Ia harus diamalkan dengan betul-betul sepenuh jiwa. Setelah menjaga tradisi, seorang santri juga harus menerima budaya yang terus bertransmisi.
Menghadapi era society 5.0 yang penuh dengan digitalisasi di segala ruang hidup manusia, maka sudah seharusnya bagi kita semua untuk memperbaharui tolok ukur mengenai santri yang ideal.
Ilmu yang luas dan mendalam saja dalam ranah agama ubudiyyah tidaklah cukup tanpa diimbangi penguasaan teknologi, dan literasi sosial politik.
Agar mampu mengisi peradaban dengan baik dan ideal, maka dibutuhkan sebuah penguatan minimal dua sisi terhadap diri santri maupun pesantren yang harus dipenuhi. Adalah pendidikan dan ekonomi yang kami maksud dari dua sisi penguatan yang perlu dinpenuhi tersebut.
Pendidikan dan ekonomi merupakan dua hal yang berbeda namun tidak bisa dipisahkan. Keduanya harus berjalan bersandingan agar tercapai sebuah kemaslahatan. Sebagaimana kita alami, bahwa untuk menyelenggarakan pendidikan itu butuh dana.
Demikian juga untuk mengelola dana dengan baik maka kita butuh terhadap pendidikan. Ketika keduanya terpisah, maka ketimpangan di berbagai sisi menjadi salah satu resiko yang sulit untuk dihindari.
Dalam proses penguatan pendidikan bagi santri ketika menghadapi era society 5.0, menarik kita mengenal dan memahami sebuah gagasan yang dikenalkan oleh Maman Imanul Haq.
Ia mengatakan, bahwa seorang santri untuk menyongsong perkembangan dan menyiapkan dirinya sebagai generasi pencipta perubahan yang Shalih harus mampu membaca tiga kitab dan mengambil pelajaran dari semua kitab itu sekaligus.
Di antara kitab tersebut, yang pertama adalah kitab kuning (turats). Selain kitab tersebut merupakan warisan para ulama’ Salaf as-Salih, ia berasumsi sebagaimana orang kebanyakan bahwa mampu membaca sekaligus memahami dengan baik dan benar dari kitab kuning merupakan identitas kaum pesantren.
Sehingga, karena identitas fungsinya sebagai pengenal dan pembeda dari yang lainnya, maka mau tidak mau para santri harus memiliki kemampuan menelaah ilmu pengetahuan yang dimuat dari kitab dimaksud.
Kitab kuning yang banyak ditemukan di dunia pesantren biasanya lekat dengan ilmu pengetahuan keislaman baik berupa hukum formal maupun ajaran moral.
Kedua adalah kitab putih. Menurutnya, kitab putih ialah buku-buku yang tidak berbahasa Arab. Buku tersebut bisa berupa karya para ilmuwan, filsuf dan akademisi yang membahas keilmuan dan wacana di luar keilmuan pesantren secara umum.
Kitab putih ini,-tanpa menafikan bahwa juga ada di kitab kuning-cenderung memuat paradigma berfikir baru serta revolusioner dalam upaya membangun dan merespon perkembangan yang terjadi.
Sehingga, untuk mengimbangi pemahaman yang dimiliki, santri juga harus mampu melahap wacana yang tersaji di kitab putih tersebut. Pengetahuan sains dan teknologi dominan menjadi isi dari kitab putih yang dimaksud.
Yang terakhir adalah kitab abu-abu. Pria yang akrab disapa kang Maman ini mengartikan kitab abu-abu sebagai peristiwa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan terus mengalami perubahan.
Keabstrakan yang sulit ditebak dan ditafsiri maknanya dalam tiap peristiwa menjadi alasan mengapa ia dinamai dengan kitab abu-abu. Terkadang, tidak sedikit peristiwa itu melahirkan problem yang demikian kompleks.
Sehingga mutu pendidikan yang berkualitas menjadi urgen dimiliki untuk bisa mengatasinya dengan benar, bijak dan terarah.
Kitab abu-abu seperti yang telah dijelaskan di atas cenderung memuat persoalan sosial dan budaya. Karena di samping sebagai makhluk sosial, manusia juga merupakan makhluk yang tidak bisa dipisahkan dengan apa yang dinamai budaya.
Sedangkan sosial dan budaya terus bertransformasi sesuai kondisi tiap individu dan kelompok. Maka dari itu, sudah menjadi keharusan bagi setiap santri untuk mampu menguasai tiga kitab tersebut.
Supaya, kehadirannya di tengah masyarakat tidak hanya membawa jasad, akan tetapi keberadaannya selalu menjadi solusi dan jawaban bagi setiap persoalan.
Tidak jauh berbeda hal di atas dengan apa yang sempat diwacanakan oleh Irfan Asy’ari Sudirman Wahid (Gus Ipang). Ia merupakan putra dari KH Salahuddin Wahid atau Gus Sholah.
Menurut Gus Ipang, penguasaan seorang santri terhadap keilmuan Islam yang meliputi ilmu tauhid, fikih dan tasawuf merupakan hal yang biasa saja.
Hal biasa saja yang dimaksud di sini berarti bahwa hal tersebut sebenarnya tidak perlu diapresiasi berlebih. Sebab semuanya itu memang menjadi hal yang sudah seharusnya dan sewajarnya dimiliki oleh seorang santri.
Roychan Fajar menyebut tiga cabang keilmuan tadi dengan istilah trilogi aswaja. Karena secara realita, mulai dari gaya hidup hingga wacana yang sering muncul di lingkungan pesantren sangat jarang terlepas dari nilai-nilai keagamaan.
Sehingga, mengapa kita harus kagum terhadap hal yang memang seharusnya terjadi itu?
Berangkat dari cara pandang demikian, maka merupakan hal tersebut menjadi wajar bagi pria yang akrab dipanggil Gus Ipang ini.
Menurut Gus Ipang, yang perlu diapresiasi dan menjadi nilai lebih dari kaum pesantren adalah ketika lulusan pesantren tersebut mampu mengimbangi peradaban keilmuan modern dan mampu bersaing baik dalam ranah pendidikan maupun ekonomi.
Gus Ipang memberikan contoh bagaimana orang pesantren mengelola ekonomi kreatif lewat beberapa bidang usahanya.
Sehingga nanti, para santri tidak hanya mampu memberdayakan masyarakat umum dengan keilmuan yang dimilikinya. Ketika ia paham agama, maka ia juga perlu paham teknologi untuk mempermudah gerakan dakwahnya.
Di samping itu, ia juga harus kuat secara ekonomi karena dengan kekuatan ekonomi yang baik, kebutuhan primer dan skunder mudah untuk dipenuhi. Baik bagi dirinya sendiri, atau bagi masyarakat secara luas.
Dan pada akhirnya, yang perlu menjadi catatan bersama bahwa, perubahan terhadap hal yang lebih baik bisa dilakukan minimal dengan mempunyai dua kekuatan besar. Yakni kekuatan pendidikan yang maju dan kekuatan ekonomi yang terus tumbuh. Seperti usulan Gus Ipang. Wallahu A’lam.
A Fikri