tebuireng.co – Sanad keilmuan Anies bila ditinjau lebih jauh maka mengakar dari Pabelan hingga Tebuireng. Bulan Agustus 2023, Anies Baswedan melakukan silaturahmi ke beberapa pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Di Jawa Timur, Anies mengunjungi Pondok Pesantren Islam At-Tauhid Sidoresmo, Pondok dan Pesantren Walisongo Situbondo. Sementara di Jawa Tengah, Anies mengunjungi Pondok Pesantren Pabelan di Magelang.
Kunjungan ke Pondok Pesantren Pabelan, Magelang ini terasa istimewa bagi Anies Baswedan. Sebab, Anies pernah belajar di pondok pesantren ini saat duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dari sinilah sanad keilmuan Anies bersambung ke dunia pesantren.
Saat acara ngobrol bareng santri Pabelan, Anies bernostalgia dan menceritakan pengalamannya belajar di pesantren tersebut. Selain itu, Anies juga menyampaikan materi dialog wawasan kebangsaan.
Menjadi santri yang pintar agama sekaligus cinta tanah air adalah satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Itulah salah satu ciri dari santri Ahlussunnah wal Jamaah.
Ada beberapa alasan mengapa orang tua Anies memilih Pondok Pesantren Pabelan sebagai tempat belajar agama bagi Anies Baswedan.
Pertama, lokasi Pabelan di Mungkid, Magelang tidak terlalu jauh dari tempat tinggal Anies Baswedan di Yogyakarta. Dari rumah Anies Baswedan di Yogyakarta ke Pabelan jaraknya sekitar 30 kilometer yang bisa ditempuh dalam waktu kurang dari satu jam.
Alasan berikutnya yang tak kalah penting adalah mengenai sanad atau jalur keilmuan Pondok Pesantren Pabelan yang bila dirunut akan sampai pada Pesantren Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) ternama di Indonesia.
Agar memahami sanad atau lacak jalur keilmuan Pesantren Pabelan, maka kita harus memahami awal berdirinya pesantren ini.
Pesantren Pabelan sebenarnya adalah salah satu lembaga tertua di Jawa Tengah. Hanya saja, pondok pesantren ini mengalami beberapa kali pasang surut.
Cikal bakal Pondok Pesantren Pabelan dimulai pada tahun 1800-an, ditandai dengan kegiatan mengaji yang dirintis oleh Kiai Raden Muhammad Ali.
Namun, ketika pecah Perang Diponegoro (1825-1830), pesantren ini berhenti dalam waktu panjang. Berhentinya waktu itu disebabkan Kiai Raden Muhammad Ali ikut berjuang bersama Pangeran Diponegoro.
Kiai Raden Ali memang salah satu pengikut Pangeran Diponegoro dan Pesantren Pabelan menjadi salah satu markas utama pendukung perjuangan Pangeran Diponegoro membuat Pesantren Pabelan berhenti dalam waktu panjang.
Pada tahun 1900-an, Pesantren Pabelan sempat bangkit di bawah asuhan Kiai Anwar dan dilanjutkan oleh Kiai Anshor. Namun kemudian Pondok Pabelan kembali mengalami kevakuman lagi.
Baru pada periode ketiga, yaitu pada 28 Agustus 1965, Pesantren Pabelan beroperasi lagi di bawah asuhan Kiai Hamam Dja’far.
Perjalanan Kiai Hamam Dja’far dalam menghidupkan lagi Pesantren Pabelan ini terbilang menarik. Cerita menarik tersebut termasuk usaha Kiai Hamam dalam menuntut ilmu sebagai bekal untuk menghidupkan dan mengembangkan pondok pesantren.
Setelah menyelesaikan Sekolah Menengah Islam di Muntilan pada 1952, Hamam Dja’far muda melanjutkan belajar ke Pondok Pesantren Tebuireng yang didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari, Pendiri Nahdlatul Ulama.
Setelah belajar di Pondok Pesantren Tebuireng, Hamam Dja’far muda lalu melanjutkan kuliah di Pondok Modern Darussalam.
Hamam muda belajar langsung di bawah asuhan “Trimurti” pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor: KH Ahmad Sahal, KH Zainudin Fananie, dan KH Imam Zarkasyi.
Setelah menimba ilmu di Pesantren Tebuireng dan Pesantren Darussalam Gontor, Kiai Hamam kembali ke Muntilan lalu mendirikan Pondok Pesantren Pabelan pada tahun 1965.
Bila melihat sanad keilmuan Kiai Hamam Dja’far sebagai pendiri Pondok Pesantren Pabelan, tak salah bila sanad keilmuan Anies Baswedan terhubung langsung dengan Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari, sang pendiri Nahdlatul Ulama.
Sebab, guru dari Anies Baswedan pernah belajar langsung kepada KH Hasyim Asy’ari. Jadi tepat bila Anies Baswedan masuk sebagai seorang dengan Amaliyah Ahlusunnah wal Jamaah atau aswaja. Sebab, bila dirunut sanadnya, kakek gurunya adalah Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari.
Oleh: M Chozin Amirullah, alumnus Pondok Pesantren Tebuireng Jombang