Sabrang Mowo Damar Panuluh atau akrab disapa Sabrang membicarakan soal artificial intelligence (AI) dan ChatGPT.
Di momen acara Mocopat Syafaat edisi Mei 2023 “Menata Hati, Menjernihkan AI (Artificial Intelligence)”, Sabrang Mowo Damar Panuluh membandingkan antara Natural Intelligence dan Artificial Intelligence. Misalnya, yang terjadi dalam ChatGPT (Generative Pre-training Transformer).
“Otak manusia ada sekitar 3 triliun neuron. Large Language Model (LLM) Model Bahasa Besar[1] dalam ChatGPT-3.5 itu sekitar 178 miliar. Sedangkan, GPT-4 sekitar 1 triliun. Dia tidak dilatih khusus untuk logika, some rise (naik). Tidak dilatih khusus untuk menjawab pertanyaan. Pokoknya, teknologi ini disuruh belajarlah (melalui deep learning) seperti ini. Tetapi ketika titik (node value)-nya itu semakin banyak, dia muncul beberapa ability (kemampuan) dengan sendirinya yang membuat (teknologi AI) pun tidak tahu kenapa. Ini disebut fenomena emergence.” Narasi yang dijelaskan oleh Sabrang.
Ia menjelaskan, “Emergence adalah sesuatu yang secara kuantitatif berubahnya tidak banyak. Bisa kita hitung, tetapi secara kuantitatif dia berubah dengan lompatan. Artinya, AI yang sekarang tidaklah seratus persen didesain oleh kesadaran manusia. Dia muncul dengan sendirinya dan kita juga sedang menelitinya, kok bisa seperti itu?”
Baca Juga: Mengenal Arti, Cara Kerja, dan Jenis AI
Menurutnya, emergence adalah sesuatu yang kita tidak tahu sebabnya, tapi dia muncul. Saya memberikan contoh pada organisasi semut. Semut ini seolah-olah pengorganisasiannya sangat rapi, tanpa satu semut pun tahu apa yang terjadi. Itu kan emergence.
“Dan otak manusia pun di bidang biologi kedokteran itu masih dalam kategori strong emergence. Kita tidak bisa menjelaskan kok bisa sampai terjadi conciseness. Itu kan merupakan strong emergence beserta semua skill yang ada di dalamnya,” katanya mengibaratkan.
Ia bercerita, bahkan kemampuan bahasa pun menurutnya itu emergence. Ketika kapasitas otak mencapai titik tertentu dengan melemahnya otot lidah, sehingga lidahnya lebih lincah. Kemudian, otaknya sudah cukup lebar untuk menghasilkan representasi bahasa. Emergence, kita sendiri tidak tahu sebabnya. Ketika GPT mempunyai kemampuan merangkum, misalnya ada video 2 jam dirangkum jadi setengah halaman. Itu muncul dengan sendirinya (melalui deep learning). Itu emergence.
“Jadi, kita agak sulit untuk membandingkan apakah intelegensianya seperti apa? Karena keduanya (Artificial Intelligence dan Natural Intelligent) datang dari emergence,” katanya membandingkan.
“Otak manusia itu kebanyakan ujug-ujug. Jadi, kalau kita melihat sebuah benda itu kan ada dua properti. Satu, kuantitatif, bisa dihitung. Satunya kualitatif. Kuantitatif seperti jumlah neuron ada berapa? Umur berapa? Dari kualitatif, kemampuan skill-mu apa? kemampuan bicaramu seperti apa? Nah, itu ketika pertumbuhan kuantatifnya linier, tapi kualitatifnya loncat. Maka, itu terjadi emergence, kita tidak tahu sebabnya di mana. Itu yang sangat perlu diperhatikan,” ucap pria kelahiran Yogyakarta ini.
Menyikapi Hadirnya AI
Guna menghadapi hal ini, Sabrang mengatakan, “Saya cuma mengajak, bahwa kita harus aware. Waspada pada sesuatu yang baru, jangan ketinggalan”.
“Kalau ada kalimat bahwa AI akan menggantikan manusia, saya tidak setuju. Tapi manusia akan digantikan oleh manusia lain yang ditemani oleh AI,” ucapnya.
Ia memberikan narasi tentang ChatGPT bahwa ada seorang dari Inggris ngobrol dengan GPT menantang disuruh buatlah al-Quran. GPT mengaku secara terbuka bahwa ia bisa membuat, ia coba, tapi reachness-nya kurang karena al-Quran itu mengandung multi interpretasi dan bahasa yang agung. Ia bisa menirukan tapi berbeda sama sekali dengan al-Quran.
Misalnya lagi tokoh William Shakespeare, kamu menulis sepertinya (menyuruh ChatGPT), nanti kamu jawab seperti bahasanya Shakespeare, dia bisa. Karena literasi dari Shakespeare sudah ia pelajari, sudah paham. Tokoh-tokoh kuno juga hampir sama, “Ngomonglah seperti Imam Ghazali, Imam Hambali”. Kata-kata yang dipilih GPT adalah kalimat yang sering keluar, karena dia menghitung probabilitas kosakata mana yang sering dipakai, urutan kosakata yang sering dipakai di mana, probabilitas itu yang ia ambil. Bisa dikatakan sama? Ya bagaimana. Kita tidak ada matriks untuk mengukur kuantifikasinya.
Mas Sabrang memberikan ulasan jenis tingkatan AI, “AI ada beberapa tingkatan, ANI (Artificial Narrow Intellegence) yang pintar dalam satu hal saja. AGI (Artificial General Intelligence) itu yang dikejar sekarang, artinya dia bisa segala macam. Itu yang sedang dikejar dunia. Dengan Baby AGI, Auto GPT, banyak usaha menuju ke AGI. Setelah itu, langkahnya kemudian menjadi ASI (Artificial Super Intelligence)”.
Untuk mengukur kecerdasan, ia mengatakan, bahwa kita mendefinisikan intelegensia itu tidak bisa. “Fungsinya buat kita, kalau kita bisa ngobrol dengan dia, bisa memberi feedback, punya makna, saya anggap punya intelligence. Entah itu mesin atau sebagainya. Nabi sulaiman itu bisa menganggap pohon itu intelligence, karena dia bisa memberikan informasi dan bisa tek tok (komunikasi timbal balik),” ungkap volakis band Letto ini.
Lulusan Universitas Alberta Kanada ini melanjutkan tentang perkataan dari Imam Ghazali bahwa, “Kalau saya (Al-Ghazali) tidak jadi ahli agama ya ahli tabib, karena pohon-pohon ini ngomong dengan saya. Aku (pohon) ini obat penyakit a, b, dan c. Bagi kita, pohon itu tidak intelligence karena tidak bisa beri informasi. Sedangkan, bagi Imam Ghazali, dia (pohon) punya intelligence karena bisa beri informasi dan tanya jawab. Memang, tidak sederhana untuk mendefinisikan intelligence karena kita tidak tahu bagaimana munculnya intelligence itu. Sehingga kita tidak bisa memberi kriteria”.
“Yang bisa kita lakukan adalah melihat tanda-tanda di luarnya. Tanda manusia adalah melihat output-nya. Tulisannya bagaimana? Omongannya bagaimana? Sehingga, universitas sekarang mendekati modar (tamat) semua, karena untuk mengukur kemampuan siswa yang dilihat adalah esai atau paper-nya. Andai itu bisa dikerjakan AI, dikerjakan ChatGPT,” ungkap anak sulung Emha Ainun Nadjib ini.
Ia membuat contoh yang lain, “Ketika kita ingin perjanjian utang yang sebelumnya belum tahu. Kita tanya ChatGPT, ia memberi feedback yang berguna, dan kita bisa interaksi. ‘Oh ini kurang pas, ditambahi komponen ini, dan sebagainya’. Artinya, kita bisa menganggap bahwa AI dalam Chat GPT punya intelligence”.
Berdasar pengalaman, terkadang ketika bertanya ke ChatGPT diberikan jawaban yang berbeda, dan dianggap kekurangan dari AI. Sabrang menjawab, “AI itu belajar dari semua kalimat-kalimat yang pernah dikeluarkan oleh manusia. Sehingga, dia tahu pola. Namanya completion, bagaimana ia mengkompletkan kalimat itu. Dari AI, kita mendapat fakta bahwa dari 1 pertanyaan bisa menghasilkan 1000 perspektif yang berbeda. Sehingga, jawabannya bisa macam-macam”.
Menurutnya, bukan berarti itu salah. Artinya, manusia itu punya sudut pandang yang sangat banyak untuk melihat jawaban dari sebuah pertanyaan. Ketika kita menjawab, kita punya asumsi di belakang kita yang tidak kita sadari. Sehingga, kita mengharapkan satu jawaban tertentu. Kalau tidak sesuai dengan asumsi kita, kita anggap jawabannya salah. Padahal, semua jawaban punya perspektif dan asumsi di belakang yang berbeda. Justru jawaban yang berbeda itu menunjukkan bahwa manusia itu kaya, luar biasa untuk melihat suatu masalah.
Keobjektifan AI dalam Chat GPT (karena sudah belajar dari banyak orang), patut untuk kita pertimbangkan, bukan untuk diikuti secara buta. Ia membuka akses untuk pengetahuan yang segitu banyak, tidak harus kamu patuhi, minimal kamu bisa mendapat perspektif yang berbeda. AI ChatGPT menjadi jalan yang efektif untuk cari perspektif.
[1] Yang berarti diprogram untuk memahami bahasa manusia dan menghasilkan respons berdasarkan kumpulan data yang besar.
Pewarta: Sutan Alam Budi
Editor: Ikhsan Nur Ramadhan