Belakangan ini lanskap sosial dan religius di Indonesia, terutama di area pedesaan, fenomena kecenderungan masyarakat yang lebih memilih menghadiri majelis shalawat daripada majelis ilmu menjadi sebuah realita yang tidak bisa dipungkiri. Di lapangan-lapangan besar, panggung-panggung megah didirikan, lengkap dengan sistem suara yang canggih dan dekorasi yang memikat mata, juga pencahayaan yang menyilaukan. Majelis shalawat ini seringkali mengundang tokoh-tokoh yang sudah dikenal luas, yang kemunculannya di sebuah acara dijamin mampu menarik massa dalam jumlah besar. Sementara itu, majelis ilmu yang biasanya diadakan di rumah-rumah kyai atau di langgar dan mushola setempat, kini mulai terlihat sepi, terlupakan di tengah gemerlapnya majelis shalawat yang lebih menarik perhatian umum.
Hal ini tidak hanya mencerminkan preferensi masyarakat terhadap bentuk hiburan religius, tetapi juga menunjukkan pergeseran dalam nilai dan prioritas keagamaan masyarakat. Di satu sisi, majelis shalawat memang menawarkan suasana spiritual yang meriah dan inklusif, seringkali diiringi dengan iringan hadroh dan nasyid yang menggugah, membuat acara tersebut terasa lebih dekat dan menarik bagi khalayak, khususnya generasi muda. Di sisi lain, majelis ilmu yang lebih fokus pada pembelajaran ilmu agama dan diskusi kitab-kitab kuning serta penekanan pada pemahaman mendalam tentang ajaran Islam, mulai ditinggalkan. Kurangnya daya tarik visual dan format yang lebih formal mungkin menjadi sebagian alasan mengapa kehadiran jamaah di majelis ilmu tidak sebesar majelis shalawat.
Kontras ini mengundang tanya, apa yang sebenarnya dicari masyarakat dalam praktik keagamaan? Apakah esensi dari berkumpul dan beribadah bersama telah bergeser dari pencarian ilmu menuju pengalaman sosial yang lebih menyenangkan? Ini merupakan pertanyaan yang mendalam dan penting untuk direnungkan bersama, terutama bagi para pemimpin agama dan masyarakat yang peduli terhadap keberlangsungan pendidikan Islam tradisional yang autentik.
Peringatan Maulid Nabi di Langgar Tidak Seksi
Di saat bulan Maulud tiba, peringatan Maulid Nabi di langgar dan mushola telah kehilangan daya tariknya di mata banyak masyarakat, terutama di kalangan generasi muda. Bukan tanpa alasan, namun lebih karena bagaimana peringatan ini disajikan. Seperti yang telah dituliskan di atas, peringatan Maulid Nabi yang mengundang tokoh-tokoh terkenal dan diadakan di lokasi-lokasi strategis seperti lapangan kota atau auditorium besar, jauh lebih diminati. Acara-acara ini tidak hanya sekedar memperingati, tetapi juga diwarnai dengan kehadiran selebriti rohani, pengajian massal yang meriah, dan seringkali dilengkapi dengan konser musik religi yang menarik banyak peminat.
Di sisi lain, peringatan Maulid Nabi yang diadakan di langgar atau mushola lokal, meskipun lebih berfokus dalam aspek pengajaran dan refleksi spiritual, seringkali terlihat kurang menarik. Ustadz dan kyai setempat yang memimpin acara ini mungkin tidak memiliki magnet yang sama seperti tokoh-tokoh yang bisa menarik ribuan orang. Format acara yang lebih tradisional dan kurangnya elemen hiburan tambahan mungkin juga berkontribusi pada kurangnya minat, terutama dari kaum muda yang cenderung mengikuti trend dan keseruan dalam kegiatan keagamaan yang mereka hadiri.
Ini menimbulkan dilema antara mempertahankan nilai-nilai tradisional dalam peringatan keagamaan dengan kebutuhan untuk beradaptasi dengan preferensi generasi yang lebih baru. Ketidakseimbangan ini memerlukan pemikiran yang serius dari para pemuka agama dan komunitas lokal untuk menemukan cara yang relevan guna mempertahankan esensi spiritual sekaligus membuat acara tersebut tetap menarik dan relevan bagi masyarakat luas, khususnya generasi muda.
Peran Langgar di Nusantara
Dalam kerangka pendidikan Islam di Nusantara, khususnya di wilayah Jawa-Madura, langgar telah dikenal sebagai salah satu bentuk lembaga pendidikan Islam yang tradisional dan memegang peran penting dalam pewarisan nilai-nilai keagamaan antar generasi. Struktur bangunan yang sederhana dan metode pengajaran yang informal membuat langgar menjadi tempat yang akrab dan mudah diakses oleh masyarakat, terutama di daerah pedesaan. Langgar sering menjadi pilihan pertama bagi orang tua yang ingin mengenalkan anak-anak mereka pada pendidikan agama sejak dini, sebelum mereka melanjutkan ke jenjang yang lebih formal seperti madrasah atau pesantren.
Langgar tidak hanya berfungsi sebagai tempat untuk salat bersama, tetapi juga sebagai pusat komunitas lokal dimana modin atau Kiai Langgar berperan sebagai pemimpin spiritual. Modin, yang berasal dari kata ‘imam ad-din’ (pemimpin agama), adalah tokoh yang tidak hanya mengajar ngaji, tetapi juga memimpin salat dan menjadi figur sepuh yang dihormati dalam masyarakat. Pada masa pertumbuhannya, banyak langgar yang didirikan oleh individu yang kemudian menjadi cikal bakal pesantren-pesantren besar, seperti Pesantren Tebuireng di Jombang yang didirikan oleh Kiai Hasyim.
Kualitas pribadi dan kharisma sang kiai sangat menentukan dalam pengaruhnya terhadap jamaah. Kiai langgar dengan karakter yang kuat dan pengaruh yang mendalam sering kali menjadi panutan dan bisa mempengaruhi perkembangan pendidikan Islam di area tersebut. Faktanya, beberapa kiai langgar dengan reputasi yang baik berhasil mengembangkan langgarnya menjadi pusat pendidikan yang lebih besar seperti pesantren, yang kini menjadi institusi pendidikan Islam yang fundamental di Indonesia.
Melihat ke belakang pada sejarah ini, ada urgensi untuk kembali memperhatikan dan menghargai peran langgar sebagai lembaga pendidikan Islam yang fundamental. Dalam gemerlapnya acara-acara besar yang menampilkan tokoh-tokoh terkenal, tidak boleh dilupakan bahwa langgar dan kiai langgarnya tetap memegang peranan penting dalam mendidik dan membentuk karakter umat Islam yang taat serta berakhlak mulia. Kita perlu tidak hanya meramaikan majelis shalawat yang megah, tetapi juga merawat dan mengisi langgar, mushola, dan surau serta mensejahterakan kiai langgar yang hidupnya kadang jauh dari kata sejahtera.
Disparitas Penghargaan: Realitas Kyai Langgar dan Tokoh Ternama
Di tengah pesona dan gemerlap panggung shalawat yang megah, yang kerap dihiasi dengan kehadiran tokoh-tokoh ternama dan dihadiri oleh ribuan jamaah, ada kecenderungan untuk melupakan pentingnya keberadaan langgar, mushola, dan surau yang lebih sederhana dan tradisional. Peristiwa ini bukan hanya sekadar fenomena keagamaan, tetapi juga refleksi dari nilai-nilai yang kita junjung dalam praktik keagamaan kita.
Langgar, yang selama ini berdiri sebagai pusat pendidikan dan kegiatan spiritual di pedesaan, sering kali hanya dihadiri oleh segelintir jamaah setia. Sedangkan sang kyai langgar, yang dengan sabar dan tekun mengajar, membimbing, dan memimpin komunitasnya, kadang kala hidup dalam kesederhanaan yang jauh dari kata sejahtera. Sementara itu, tokoh-tokoh yang diundang ke majelis akbar seringkali menerima honorarium yang besar, kontras dengan kenyataan yang dihadapi oleh kyai langgar dalam kesehariannya.
Adalah penting untuk memperhatikan dan merenungkan kembali peran serta nilai dari langgar dan kyai langgar dalam kehidupan keagamaan kita. Mereka adalah pilar-pilar yang menopang keberlangsungan ajaran Islam yang autentik, yang mengajarkan kita tidak hanya tentang keindahan dalam beribadah, tetapi juga tentang kesederhanaan, ketekunan, dan keikhlasan.
Oleh karena itu, sebagai umat yang peduli, kita dihimbau untuk tidak hanya tergiur oleh kemegahan dan kepopuleran majelis-majelis besar, tetapi juga untuk kembali mengisi dan merawat langgar dan mushola di sekitar kita. Dukung dan sejahterakan kyai langgar, yang seringkali mengabdikan hidupnya untuk masyarakat tanpa banyak mengharapkan imbalan. Dengan demikian, kita tidak hanya mempertahankan warisan leluhur dalam menjaga keilmuan dan spiritualitas, tetapi juga memperkuat fondasi dalam nilai-nilai keagamaan yang mendalam dan substansial. Wallahua’lam.
Oleh: Zainuddin El Zamid
Baca juga: Menghadapi Kehidupan dengan Total Surrender
Baca juga: Menjaga Vibrasi dan Energi Positif Ala Nabi