Dalam sebuah kesempatan Emha Ainun Najib, budayawan asal Jombang yang lebih akrab disapa Cak Nun itu memberikan wejangan di Radio Delta FM. Menurutnya, ada banyak kemungkinan kenapa sikap permisivisme atau pemakluman terhadap pelunturan norma terjadi sampai ketingkat yang tidak pernah terbayangkan.
Ada banyak faktor kenapa sikap permisivisme atau sikap serba membolehkan dianggap sebagai gejala norma biasa, diantaranya menurut Cak Nun, karena adanya proses sosial, proses-proses sejarah di mana manusia terlibat di dalamnya dengan seluruh unsur-unsur psikologinya, intelektualitasnya, hati nuraninya perasaanya dan lain sebagainya. Sehingga permisivisme moral bisa hanya menjadi gejala minimal, menjadi gejala pelunturan moral biasa karena ada proses reduksi dari sosialitas.
Baca juga : Dari Maiyah Hingga Teori ‘Big Bang’
Cak Nun menggambarkan kehidupan masyarakat desa atau di kampung-kampung saat masih kuat kontrol sosialnya. “Kalau di desa atau di kampung-kampung, masyarakatnya masih usil satu sama lain, artinya antar orang masih saling bertanya tetangga itu punya tamu siapa, cewek itu didatangi cowok sampai jam berapa. Di satu pihak hal tersebut merupakan bentuk keusilan dan campur tangan budaya yang melanggar demokrasi tapi di sisi lain sisi, hal itu bisa dilihat sebagai kontrol sosial, kontrol budaya dan kontrol moral, tinggal kita melihatnya dari sisi mana.”
“Semakin kehidupan menjadi modern, semakin kehidupan menjadi industrial dan materialistik maka dia berlaku berbanding terbalik dengan kekentalan sosial, manusia menjadi lebih individual sehingga semakin luntur pula kontrol-kontrol di antara manusia, cuek satu sama lain. Orang bisa tinggal satu RT tanpa kenal satu sama lain, orang bisa tinggal di kos, di satu rumah yang sama dua tahun berturut-turut tapi tidak pernah benar-benar kenal orang yang berada di kamar di sampingnya.”
“Kelunturan moral dan permisivisme bisa menjadi sangat normal terjadi karena memang tidak ada penghubung diantara manusia. Artinya sudah ada pemisahan-pemisahan diantara manusia dan tidak memiliki kohesi sosial lagi, sehingga dianggap tidak perlu kontrol apa-apa.”
Di akhir renungannya itu, Cak Nun berpesan seraya berharap “kalau kita berada dalam situasi masyarakat yang sudah berkeping-keping seperti itu, kita harus tidak boleh heran bahwa ada pelanggaran moral yang tidak mengagetkan, ada kehancuran kemanusiaan yang tidak lagi mengejutkan dan bahkan ada maksiat-maksiat basar di banyak bidang yang dilakukan oleh anggota masyarakat tanpa anggota masyarakat lain melakukan daya kontrol, kritik atau protes atau apapun, bahkan gelisahpun sudah tidak. Mudah mudahan di tengah kepingan-kepingan sosial seperti ini anda, istri, suami, anak-anak, teman-teman masih bisa menciptakan satu lingkaran masyarakat kecil yang masih memiliki kontrol satu sama lain tanpa kehilangan privasi, tanpa kehilangan demokrasi.