tebuireng.co– Ronggowarsito atau Raden Ngabehi Rangga Warsita adalah seorang pujangga tanah Jawa. Pujangga yang mendapat julukan Ronggowarsito III ini mempunyai nama asli Bagus Burhan. Dia adalah putra dari pasangan RM. Ng. Pajangsworo dan Nyai Ajeng Ronggowarsito. Lahir pada tahun 1802 M dan wafat pada tahun 1873 M (71 tahun). Ronggowarsito berasal dari keluarga bangsawan keraton Surakarta. Ia merupakan keturunan ke-10 dari Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir), pendiri Kerajaan Pajang melalui ayahnya. Sedangkan dari jalur ibu, dia adalah keturunan ke-13 dari Sultan Bintoro, Raja Demak ketiga.
Ronggowarsito kecil mempunyai sifat yang nakal. Ia sangat hobi berjudi, sabung ayam, dan hidup semaunya sendiri. Ketika beranjak remaja, ia dikirim ayahnya ke sebuah pesantren di Ponorogo dengan ditemani oleh pengawal sekaligus pengasuhnya, yaitu Ki Tanujaya.
Pesantren tempat ia merantau bernama Pesantren Gebang Tinatar, terletak di desa Tegalsari, Ponorogo yang diasuh oleh Kiai Hasan Besari. Beliau dikenal sebagai seorang ulama yang luas keilmuannya dan melahirkan kiai-kiai besar dari silsilah keturunannya. Salah satunya adalah pendiri Pesantren Darussalam Gontor. Selain Ronggowarsito, murid lain dari kiai Hasan Besari yang terkenal ialah H.O.S. Tjokroaminoto.
Diceritakan dalam Serat Babad, ketika Ronggowarsito di pesantren, ia tidak bisa meninggalkan kebiasaan buruk yang menjadi aktivitasnya di rumah. Dia tetap nakal, enggan mengikuti pengajian dan tidak taat pada aturan. Bahkan ia masih hobi berjudi. Karena kebiasaan jeleknya dan juga peraturan pesantren yang membuatnya tidak bisa leluasa untuk bersenang-senang, akhirnya dia kabur dari Pesantren Tegalsari.
Dia kabur menuju Madiun, dalam pelariannya dia kelaparan karena tidak punya bekal makanan, bahkan sampai berhutang agar bisa makan. Kemudian kiai Hasan Besari mimpi bahwa Madiun dan Ponorogo akan dilanda kelaparan jika muridnya ini tidak diselamatkan. Setelah itu dicarilah Ronggowarsito sampai ketemu.
Setelah ditemukan, Ronggowarsito dibawa lagi ke pesantren dan disuruh untuk belajar lagi. Tetapi Ronggowarsito tetap menjadi murid yang nakal dan pemalas. Akhirnya dia dimarahi dan dihardik oleh Kiai Hasan Besari. Hukuman secara terbuka ini nampaknya menimbulkan bekas tersendiri bagi Ronggowarsito. Ia merasa tersinggung oleh perlakuan yang dia terima di hadapan kawan-kawannya. Lantaran merasa malu kemudian dia sadar, dan merasa tertantang untuk menunjukkan bahwa dia bisa (baca: hijrah. Atau lebih tepatnya menggunakatan terma tobat?).
Dikisahkan dalam Babad Ronggowarsito, setelah sadar Ronggowarsito melakukan tirakatan di Kedung Watu, sebuah sumber air yang letaknya tidak jauh dari Pesantren Gerbang Tinatar. Dia berjaga di atas pohon bambu yang ia pasang di atas air. Sehingga ketika dia ngantuk akan tercebur ke dalam air. Hal itu dilakukan selama 40 hari. Dan selama itu pula dia hanya makan satu buah pisang setiap harinya.
Pada malam terakhir, Tanujaya menanak nasi, yang ia sediakan untuk berbuka Ronggowarsito. Tiba-tiba Tanujaya terkejut ketika melihat ada sebuah sinar yang masuk dalam periuk. Sesudah nasinya masak, ternyata di dalamnya terdapat ikan wader yang sudah masak.
Ikan itu dimakan oleh Ronggowarsito, sedangkan kepala dan ekornya disisakan untuk Tanujaya. Diyakini, sinar yang berubah wujud menjadi wader tersebut adalah sebuah anugerah dari Tuhan kepada Ronggowarsito. Yang bertanda, suatu saat Ronggowarsioto akan menjadi orang besar.
Sejalan dengan itu, ia juga mulai rajin mempelajari ilmu-ilmu yang diajarkan oleh Kiai Hasan Besari. Dengan kecerdasan di atas rata-rata, Ronggowarsito tidak sulit mengejar ketertinggalannya. Apalagi ia belajar dengan semangat (membalas dendam) kepada sejarah yang pernah menistakannya.
Tidak lama bagi Ronggowarsito dalam menguasai segala ajaran yang diberikan. Tidak heran jika beberapa waktu kemudian ia diangkat menjadi tangan kanan Kiai Hasan Besari, dan dipercaya menjadi badal dakwah di luar pesantren.
Nama Ronggowarsito mulai terkenal di masyarakat. Dengan ciri khasnya dalam ceramah, bersuara lantang dan penjelasan yang mudah diterima. Dalam kurun waktu singkat, Ronggowarsito banyak berkeliling ke berbagai pelosok untuk berdakwah.
Perjalanan dakwah yang selama ini Ronggowarsito jajaki, memberinya inspirasi, dari keindahan alam dan keanekaragaman kondisi masyarakat. Masa-masa tersebut merupakan dasar awal perhatiannya pada nasib rakyat kecil yang sedikit banyak mempengaruhi karya-karyanya.
Sesudah berguru dari Kiai Hasan Besari, Ronggowarsito sempat mengembara sampai ke Bali. Selain memperluas dan memperdalam ilmunya, ia juga mencoba mendiskusikan pengetahuannya di berbagai tempat dengan para tokoh yang ditemui. Sebelum ia pulang ke Kesultanan Surakarta.
Sesampainya di Kesultanan Surakarta, Ronggowarsito mulai diajari oleh sang kakek Sastronagoro (YasadipuraII) Ilmu Sastra. Sebuah tradisi keilmuan yang berkembang di keluarga Ronggowarsito. Dari kakeknya, dia mempelajari Ilmu Sastra, Bahasa Jawa Kuno/Kawi, dan Ilmu Sejarah.
Sastronagoro, kakek Ronggowarsito merupakan ahli sastra. Ronggowarsito juga belajar dari Gusti Pangeran Harya Buminata tentang ilmu jaya-kawijayan, kesaktian, dan kanuragan. Setelah melalui berbagai proses inilah akan terbentuk pribadi Ronggowarsito yang siap menghadapi segala macam cobaan dan dinamika kehidupan. Setelah melalui berbagai gemblengan intelektual dan spiritual, pada 1819 Ronggowarsito memulai karirnya sebagai abdi dalem Keraton Surakarta.
Di awal karirnya, Ronggowarsito mendapatkan gelar ‘Ronggo Panjanganom’ yang berarti penulis muda. Bersamaan dengan itu, ia menikah dengan Ayu Gombak di usia 20 tahun. Tidak lama kemudian, Ronggowarsito naik jabatan menjadi mantri carik (carik: juru tulis) dengan gelar Mas Ngabehi Sarantaka pada 1822. Setelah itu menggantikan ayahnya (Ronggowarsito II) sebagai kliwon carik dengan gelar Raden Ngabehi Ronggowarsito pada 1830.
Ketika kakeknya (Yasadipura II) wafat pada tahun 1845, Ronggowarsito dinobatkan menjadi pujangga istana Surakarta oleh Paku Buwono IIV dan bergelar Kliwon Kadipaten Anom. Pada saat Paku Buwono IIV berkuasa inilah puncak kejayaan dari Ronggowarsito, sehingga, banyak sekali sekali murid-muridnya yang terdiri dari orang asing, seperti C.F Winter, Jonas Portier, CH Dowing dll.
Ronggowarsito terbilang penulis produktif. Tak kurang dari 60 karya yang telah ditulisnya dalam rentang tahun 1826-1837. Karya-karyanya telah terbit, dan di antarannya beberapa kali dicetak ulang lagi, dan ada pula yang masih bertebaran di berbagai tempat.
Beberapa buku yang terkenal karya Ronggowarsito ialah Serat Jayabaya, Serat Kalatidha, Suluk Saloka Jiwa, Serat Paramayoga, Serat Wirid Hidayat Jati, Suluk Sukma Lelana,dan Serat Sabdatama.
Salah satu bait terkenal dalam Serat Kalatidha yang sarat dengan pesan moral bagi generasi zaman now adalah
Amenangi jaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Milu edan ora tahan
Yen tan anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliran wekasanipun
Ndilalah karsane Allah
Begja-begjane wong kang lali
Luwih begja kang eling lawan waspada
Artinya:
Menyaksikan jaman edan
Memang serba repot
Ikut edan tidak tahan
Kalau tidak mengikuti (gila)
Tidak mendapat bagian apapun juga
Kelaparan pada akhirnya
Namun sudah menjadi kehendak Allah
Bagaimanapun beruntung orang yang lalai,
Akan lebih beruntung orang yang senantiasa ingat dan waspada. (MT)
Oleh: Abdillah Afabih, redaktur Majalah Tebuireng.
Baca juga: Raja Ali Haji dan Gurindam Dua Belas-nya