tebuireng.co – Resolusi jihad yang suarakan KH M Hasyim Asy’ari memiliki pengaruh besar dalam sejarah Indonesia. Sifat berani dan rela berkorban layak ditiru generasi muda Indonesia.
Pahlawan nasional yang berasal dari Pondok Pesantren Tebuireng hingga 2021 berjumlah dua orang yaitu KH M Hasyim Asyari dan KH Wahid Hasyim. Selain kedua pahlawan tersebut, dari Tebuireng juga ada Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Ketiga tokoh ini dikenal banyak kalangan memiliki intregitas tinggi kepada Indonesia. KH M Hasyim Asyari dikenal sebagai gurunya tokoh agama Islam Indonesia dan pencetus resolusi jihad 22 Oktober 1945.
Kiai Hasyim dan Nahdlatul Ulama saat itu menyerukan bahwa menolak dan melawan penjajah adalah fardlu ain (wajib bagi setiap individu). Dua hari kemudain pasukan sekutu mendarat di Surabaya.
Sementara itu, Kiai Wahid Hasyim adalah salah seorang anggota BPUPKI dan perumus Pancasila. Ia menjabat Menteri Agama di tiga kabinet (Kabinet Hatta, Kabinet Natsir dan Kabinet Sukiman).
Jasa ketiga tokoh ini diakui banyak kalangan, salah satunya Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) TNI, Komandan Komando Pembinaan Doktrin, Pendidikan dan Latihan TNI AL (Dankodiklatal) Laksamana Madya TNI Nurhidayat mengajak jajaran petinggi TNI ziarah ke makam KH Hasyim Asyari, Kiai Wahid Hasyim dan Gus Dur.
Kedatangan pria Kelahiran 7 Desember 1965 silam tersebut disambut oleh Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng KH Abdul Hakim Mahfudz (Gus Kikin), Bupati Jombang Hj Mundjidah Wahab dan Kapolres Jombang AKBP Agung Setyo Nugroho.
“Dengan kita ziarah ini untuk mengingat jasa beliau semua. Bagaimana beliau-beliau sudah melaksanakan perjuangan dengan baik. Kegiatan yang sama dilaksanakan di Jakarta, Yogyakarta, dan Blitar. Pelaksanaan ini untuk mengenang jasa para pahlawan dan mencontoh semangatnya,” jelas Nurhidayat, Senin (4/10/2021).
TNI dan Masyarakat Indonesia memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) TNI setiap tanggal 5 Oktober. Kepada awak media, Nurhidayat mengajak generasi muda mewarisi jiwa kepahlawanan tokoh pesantren seperti KH Hasyim Asyari, KH Wahid Hasyim dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Menurut catatan Kiai Agus Sunyoto pada 22 Oktober 1945, terjadi peristiwa penting yang merupakan rangkaian sejarah perjuangan Bangsa Indonesia melawan kolonialisme. Dikatakan penting, karena PBNU yang mengundang konsul-konsul NU di seluruh Jawa dan Madura yang hadir pada tanggal 21 Oktober 1945 di kantor PB ANO (Ansor Nahdlatul Oelama) di Jl. Bubutan VI/2 Surabaya.
PBNU memberikan amanat berupa pokok-pokok kaidah tentang kewajiban umat Islam dalam jihad mempertahankan tanah air dan bangsanya yang disampaikan Rais Akbar KH Hasyim Asy’ari.
Dalam rapat PBNU yang dipimpin Ketua Besar KH Abdul Wahab Hasbullah, menetapkan satu keputusan dalam bentuk resolusi yang diberi nama “Resolusi Jihad Fii Sabilillah”, yang isinya sebagai berikut:
“Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja)…”
Dalam tempo singkat, Surabaya guncang oleh kabar seruan jihad dari PBNU ini. Dari masjid ke masjid dan dari musala ke musala tersiar seruan jihad yang dengan sukacita disambut penduduk Surabaya yang sepanjang bulan September sampai Oktober telah meraih kemenangan dalam pertempuran melawan sisa-sisa tentara Jepang yang menolak tunduk kepada arek-arek Surabaya.
Demikianlah, sejak dimaklumkan tanggal 22 Oktober 1945, Resolusi Jihad membakar semangat seluruh lapisan rakyat hingga pemimpin di Jawa Timur terutama di Surabaya, sehingga dengan tegas mereka berani menolak kehadiran Sekutu yang sudah mendapat ijin dari pemerintah pusat di Jakarta.
Sesungguhnya, saat Resolusi Jihad dikumandangkan oleh PBNU, Perang Dunia II sudah selesai karena Jepang sudah takluk sejak 15 Agustus 1945. Kedatangan balatentara Inggris ke Jakarta, Semarang, Surabaya adalah dalam rangka penyelesaian masalah interniran dan tawanan perang Jepang, yang di dalam prosesnya ditandai oleh maraknya isu kembalinya pemerintah Kolonial Belanda ke Indonesia dengan membonceng balatentara Inggris.
Sementara pada pekan kedua Oktober 1945, Presiden Soekarno mengirim utusan khusus ke Pesantren Tebuireng, menemui KH Hasyim Asy’ari, untuk meminta petunjuk dan arahan guna memecahkan kegundahan hati presiden.
Pasalnya, sampai bulan Oktober ini, belum ada satu pun Negara di dunia yang mengakui kemerdekaan Indonesia dan mengakui Negara Indonesia, akibat usaha-usaha pemerintah Belanda yang menyebarkan berita provokatif ke seluruh dunia bahwa Republik Indonesia yang dipimpin Soekarno dan Hatta, adalah Negara boneka bikinan Fasisme Jepang.
Bagaimana meyakinkan dunia bahwa Republik Indonesia bukan negara boneka bikinan Fasisme Jepang, melainkan Negara Kebangsaan (Nation State) yang didukung rakyat seluruhnya.
Seruan Resolusi jihad yang dikumandangkan PBNU dalam keadaan perang sudah berakhir lebih sebulan silam, dinilai sebagian elit pemimpin Negara di Jakarta sebagai mengada-ada. Namun, sikap ini berbeda dengan masyarakat di bawah.
Bahkan sehari sesudah Resolusi Jihad diserukan, sepanjang hari sejak pagi tanggal 24 Oktober 1945, Bung Tomo melalui pidatonya menyampaikan pesan kepada arek-arek Surabaya agar jangan gampang
Bung Tomo melalui pidatonya menyampaikan pesan kepada arek-arek Surabaya agar jangan gampang berkompromi dengan Sekutu yang akan mendarat di Surabaya.
Sebagai wartawan Bung Tomo sudah mendapat informasi bahwa pasukan Sekutu akan mendarat di Surabaya tanggal 25 Oktober 1945, sehingga tanggal 24 Oktober 1945 pagi, Bung Tomo sudah berpidato mengobarkan semangat rakyat Surabaya.
Suasana panas yang membakar semangat penduduk Kota Surabaya akibat pengaruh Resolusi Jihad dan pidato yang disampaikan Bung Tomo, makin memuncak sewaktu kapal perang Inggris HMS Wavenley menurunkan pasukan di dermaga Modderlust Surabaya pada 25 Oktober 1945.
Karena tokoh-tokoh Surabaya menolak penurunan pasukan Inggris ke Surabaya, maka pihak Inggris mengirim Captain Mac Donald dan Pembantu Letnan Gordon Smith untuk menemui Gubernur.
Bersandarnya HMS Wavenley sendiri pada dasarnya merupakan hasil perundingan yang sulit, karena sehari sebelumnya, tanggal 24 Oktober 1945, sewaktu diadakan perundingan di Modderlust antara utusan Sekutu yang diwakili Colonel Carwood dan pihak TKRL yang diwakili Oemar Said, J.Soelamet, Hermawan, dan Nizam Zachman terjadi jalan buntu. Semua permintaan Sekutu ditolak.
Tanggal 25 Oktober 1945 itulah HMS Wavenley bersandar di dermaga Modderlust dan mengirim Captain Mac Donald dan Pembantu Letnan Gordon Smith untuk menemui Gubernur.
Kolonel Jono Sewojo selaku kepala staf TKR Jawa Timur yang marah terhadap tindakan Sekutu yang di luar kesepakatan dengan pihak RI telah membangun pos-pos pertahanan , arek-arek Surabaya terutama para pemuda Islam yang terbakar seruan jihad fi sabilillah sangat marah.
Tanpa ada yang mengomando, sejak sore hari ratusan santri keluar pondok bersama pemuda-pemuda kampung di kawasan utara Surabaya keluar ke jalanan menuju pos-pos pertahanan Sekutu.
Sekitar jam 16.00 tanggal 26 Oktober 1945, tanpa ada yang mengomando, dengan didahului teriakan Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! beratus-ratus santri tua dan muda beserta pemuda-pemuda dari kampung-kampung di Surabaya utara seperti Ampel, Sukadana, Boto Putih, Pekulen, Pegirikan, Sawah Pulo dipimpin Ahyat Cholil, kader Anshoru Nahdlatul Oelama (ANO) yang aktif di Hisbullah, beramai-ramai menyerang pos pertahanan Sekutu di Benteng Miring di sebelah utara gedung sekolah Al-Irsyad.
Ketika iring-iringan santri dan pemuda dari berbagai kampung itu sudah berada di lapangan sekolah al-Irsyad yang membentang di depan gedung sekolah al-Irsyad, pasukan Sekutu melepas tembakan. Puluhan orang tumbang dengan tubuh bersimbah darah.
Namun diselingi teriakan Allahu Akbar! yang sambung-menyambung, beratus-ratus santri dan pemuda kampung itu terus menyerbu sambil mengacungkan bambu runcing, clurit, keris, tombak, samurai, dan senapan rampasan.
Lalu seiring berhembusnya kabar tentang gugurnya sejumlah santri dan pemuda akibat ditembaki Sekutu, penduduk kampung beramai-ramai keluar dengan membawa aneka macam senjata.
Pertempuran besar di Surabaya pada 10 November 1945, yang menurut William H. Frederick (1989) sebagai pertempuran paling nekat dan destruktif — yang tiga minggu di antaranya – sangat mengerikan jauh di luar yang dibayangkan pihak Sekutu maupun Indonesia.
Dugaan Mayor Jenderal E.C.Mansergh bahwa kota Surabaya bakal jatuh dalam tiga hari meleset, karena arek-arek Surabaya baru mundur ke luar kota setelah bertempur 100 hari.
Sementara ditinjau dari kronologi kesejarahan, Pertempuran Surabaya pada dasarnya adalah kelanjutan dari peristiwa Perang Rakyat Empat Hari pada 26-29 Oktober 1945, yaitu sebuah Perang Kota antara Brigade ke-49 Mahratta di bawah komando Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby dengan arek-arek Surabaya.
Perang ini berlangsung sangat brutal dan ganas, dengan kesudahan sekitar 2300 orang tewas dan 2000 orang di antaranya pasukan Brigade ke-49 termasuk Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby yang terbunuh pada tanggal 30 Oktober 1945 – tewas dalam pertempuran man to man itu.
Perang Rakyat Empat hari itu terjadi akibat adanya seruan Resolusi Jihad PBNU yang dikumandangkan pada tanggal 22 Oktober 1945.
“Kita ingin mewarisi, bagaimana mereka (tokoh Pesantren Tebuireng) memperjuangkan Indonesia ini dengan keringatnya dan darahnya, yang harus kita contoh sebagai generasi muda. Mereka menjadi pahlawan yang berjasa pada negeri ini. Perlu kita untuk mengikutinya,” jelasnya.
Selain itu, Nurhidayat mengatakan bahwa mantan ketua PBNU KH Abdurrahman Wahid adalah sosok yang sangat layak ditiru. Hal tersebut dikarenakan pria akrab disapa Gus Dur itu bisa diterima diberbagai kalangan tanpa memperhatikan agama dan suku.
“Kita tahu bagaimana Presiden Abdurrahman Wahid bisa mempersatukan seluruh umat, apapun agamanya, apapun golongannya, dijadikan satu. Itu kita kenang bersama,” imbuhnya.
Oleh karenanya, Nurhidayat dan TNI sengaja melakukan ziarah ke Pesantren Tebuireng untuk menyerap semangat kecintaan toko-tokoh Tebuireng kepada bangsa Indonesia. Di komplek makam Tebuireng terdapat dua pahlawan nasional yaitu KH M Hasyim Asy’ari dan KH Wahid Hasyim.
Nurhidayat juga meminta generasi muda Indonesia mempersiapkan diri untuk meneruskan perjuangan para pahlawan seperti KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan KH Hasyim Asyari. Hal tersebut sebagai wujud rasa syukur dan menghargai jasa para pahlawan dan tokoh bangsa.
“Kita ingin mewarisi. Kita harus mempersiapakan diri melanjutkan perjuangan beliau. Kita ingin generasi muda bersama-sama membuat Indonesia bersatu. Makanya tema HUT ke-76 TNI tahun ini bersatu, berjuang, kita pasti menang,” tandasnya.
Kontributor: Fikri dan Badar