tebuireng.co– Pada Oktober 1945 tentara Sekutu mendarat di Jawa dengan tujuan mengambil alih kekuasaan dari tentara Jepang yang kalah menghadapi Sekutu. Sebagai pihak pemenang, Sekutu beranggapan bahwa kekuasaan harus diserahkan oleh tentara Jepang kepada tentara Sekutu. Padahal telah ada kekuasaan yang baru diproklamirkan yaitu Republik Indonesia. Pihak Belanda membonceng pada organisasi NICA (the Nethedands Indische Civil Administration) yang dibentuk oleh pihak Sekutu.
Kekuatan militer TKR yang dibentuk pada 5 Oktober 1945, tentu jauh dari memadai untuk bisa menghadapi kekuatan militer Sekutu, baik dari segi persenjataan, peralatan, SDM, dan pengalaman. Pemerintah dan pimpinan TKR amat galau dan khawatir terhadap masa depan negara yang baru beberapa minggu. Presiden Soekarno dan Jenderal Mallaby menyetujui gencatan senjata pada 29 Oktober 1945.
Ada informasi yang baru saya dengar dari Utomo Darmadi, usia lebih dari 80 tahun, yaitu adik dari Supriyadi pendiri Peta.
Menurut Pak Utomo, Bung Karno dengan diantar oleh Residen Sudirman berkunjung ke Tebuireng untuk rnemohon nasihat kepada Rais Akbar Syuriah PBNU KH M Hasyim Asy’ari dalam menghadapi situasi yang amat rumit itu. Informasi ini masih perlu diklarifikasi kepada pihak lain. KH M Hasyim Asy’ari menyatakan bahwa rakyat harus didorong untuk berjuang bersama tentara dalam menghadapi kekuatan militer Sekutu.
Maka Pengurus Besar Nahdlatul Ulama mengadakan pertemuan para ulama NU di Surabaya pada 21-22 Oktober di Gedung Ansor Nahdlatul Ulama, Jalan BubutanVI/2 Surabaya. Pertemuan itu diadakan untuk menyikapi ancaman yang dihadapi Republik Indonesia itu. Hasil pertemuan itu adalah sebuah fatwa yang dikeluarkan oleh PBNU yang dikenal sebagai Resolusi Jihad.
Resolusi Jihad mewajibkan umat Islam dalam radius sekitar 90 km dari Surabaya untuk membantu tentara dalam perang melawan tentara Belanda dan kawan-kawan, dan fatwa yang gugur dalam perang itu akan mati syahid. Fatwa yang dikumandangkan oleh Bung Tomo itu amat kuat pengaruhnya dalam menggugah kesadaran dan menumbuhkan keberanian umat Islam di Surabaya dan sekitarnya.
Hasilnya bisa kita lihat dalam perjuangan pemuda pada 10 November 1945, yang lalu dinyatakan sebagai Hari Pahlawan.
Saat saya belajar sejarah Indonesia di SD, SMP, dan SMA, saya tidak pernah mendengar guru sejarah berbicara tentang Resolusi Jihad itu. Berbagai buku sejarah juga tidak mengungkap fakta itu. yang mengungkap fakta itu hanya buku Api Sejarah (jilid 2) karya sejarawan Mansur Suryanegara.
Saya tidak mengerti mengapa fakta sejarah itu tidak ditulis oleh kebanyakan buku sejarah Indonesia. Seorang sutradara film telah menyampaikan kepada saya niatnya untuk membuat film tentang Resolusi Jihad. Resolusi Jihad adalah salah satu bukti bahwa para ulama Indonesia adalah nasionalis sejati yang selalu membela bangsa dan negara. Memang pernah terjadi perbedaan pandangan tentang dasar negara dengan kelompok yang disebut nasionalis. Perbedaan itu telah dihilangkan saat NU menerima Pancasila sebagai dasar negara yang lalu diikuti oleh banyak ormas lain.
Berkaca pada Resolusi Jihad 1945, ada baiknya kalau kini para ulama menyerukan semacam resolusi jihad yang kontekstual dengan perjuangan bangsa dan negara Indonesia saat ini. Perjuangan kita pada saat ini adalah memerangi korupsi dan kemiskinan, menghilangkan ketidakadilan sosial dan hukum, memperbaiki akhlak/karakter bangsa, mencerdaskan bangsa, dan melindungi lingkungan.
Tentunya tidak cukup kalau ulama hanya mengeluarkan fatwa. Para ulama harus memberi keteladanan dalam perjuangan. Tanpa keteladanan, maka seruan memerangi sejumlah penyakit bangsa seperti di atas, hanya akan menjadi seruan kosong tanpa makna. Kita memahami bahwa tidak mudah untuk memberi keteladanan seperti itu, hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang selama ini konsisten dalam tindakan yang disesuaikan dengan ucapan.
Kalau ulama masa kini tidak berhasil dalam perjuangan seperti ditulis di atas, praktis sulit bagi kita untuk mengisi kemerdekaan yang merupakan warisan para pejuang termasuk para ulama masa lalu. Menurut saya, perjuangan ulama masa kini lebih berat dibanding ulama masa lalu karena lawan kita adalah diri kita sendiri: nafsu kita, keserakahan kita, dan kepentingan kita.
Oleh: KH. Salahuddin Wahid
Baca juga: Resolusi Jihad, Obor Semangat Ulama-Santri