Buku Generasi kembali ke akar ini sangat layak untuk didiskusikan, karena diskusi tentang generasi terus berkembang bagaikan bola salju yang bergulir liar. Generasi milenial dimulai dari 1981 hingga 2000 an. Konon mereka memiliki karakteristik kreatif dan inovatif, rasa sosial yang tinggi, menyukai nilai-nilai kebebasan, dan senang dengan suatu hal yang instan.
Benarkah demikian?
Istilah generasi milenial sudah akrab terdengar di Indonesia sejak lama. Bahkan kata milenial sendiri sudah terserap ke dalam bahasa Indonesia yang awalnya dari kata millennial. Sehingga saya sangat tertarik ketika ada seorang yang meneliti tentang milenial, yang memikirkan bagaimana baiknya generasi milenial untuk melangkah ke masa depan. Beliau adalah Dr. Muhammad Faisal.
Setidaknya hampir 10 tahun Faisal meneliti untuk melengkapi data dalam judul buku generasi milenial kembali ke akarnya, dan sebelum itu pernah menerbitkan buku berjudul Generasi Phi. Penelitian dalam buku ini menggunakan metode interaksi langsung dengan mode demografi, dan mengumulkan cerita hingga dijadikan satu.
Salah satu premis atau pesan pada buku ialah generasi itu belum tentu arahnya linear. Artinya semakin digital, sekarang makin banyak teknologi. Akan tetapi pada kenyataannya, anak muda tidak serta-merta berteknologi saja, tapi juga bisa kembali ke akar dengan menggali nilai-nilai jati diri kebangsaan, kemanusiaan, sejarah, dan sebagainya.
Ada fenomena unik yang ditemukan faisal saat bertemu dengan kawannya yang bertempat tinggal di jepang, menceritakan tentang perbedaan pola penggunaan media sosial. Jika di indonesia masih sering kita temukan seorang yang mengganti foto profil 2 hingga 3 kali dalam satu waktu. Dan tentu hal itu tidak ditemukan pada pemuda jepang. Namun, sisi baiknya jika anak jepang tengah fokus dalam medsos pasti menjadi sosok yang individualis, berbeda jika di indonesia. Yang menjadika medsos sebagai ruang diskusi atau mrngmbangkan jaringan. Hingga sifatnya kolektifis.
Kita harus terus menaruh harapan dan optimisme terhadap anak muda karena dari periode ke periode, pada dasarnya republik ini dibangun oleh anak muda yang bersatu dari berbagai komunitas, seperti Jong Sumatera.
Saat ini, Indonesia sedang berada pada era bonus demografi. Yang menarik saat melihat proporsi demografi dunia ialah, seperti Amerika Serikat, Eropa, dan China akan menjadi negara yang tua karena anak mudanya sedikit di sana. Berangkat dari hal tersebut, sebenarnya Indonesia bisa mengejar ketertinggalan dari negara maju dengan anak muda yang jauh lebih banyak.
Saya melihat lima tahun ke depan, anak muda bisa jadi kompetitif baru bagi Indonesia agar lebih maju. Bisa menjadikan bangsa indonesia menjadi bangsa yg besar. Seperti kalimat dalam buku Generasi Kembali Ke Akar, belajarlah dari alam. Ketika sebuah benih ditanamkan di tanah, benih itu akan memanjangkan akarnya ke bawah sebelum menjulang secara vertikal ke atas.
Baca Juga : Resensi Buku: Teologi Muslim Puritan dan Salafi Karya Arrazy Hasyim
Maka, sebelum anak muda menghasilkan sebuah karya, masuk ke ruang publik, masuk ke masyarakat, berkreasi, dan menjadi pemimpin, generasi muda haruslah memiliki akar yang kuat ke bawah dengan harapan akan menjadi generasi yang menguatkan dirinya dan Indonesia.
Data Buku
Judul : GENERASI KEMBALI KE AKAR: Upaya Generasi Muda Meneruskan Imajinasi Indonesia
Penulis : Dr. Muham Faisal
Penerbit : Kompas
Tebal: 286 halaman
Peresesi: Denta Fatahillah