tebuireng.co– Pertama, sejak dikenal dan massif-nya aksara Arab-pego, perlahan tradisi kawi (tradisi babad dan serat berbahasa Jawa dan beraksara Jawa) di lingkungan pesantren tersisih dan bahkan tak dikenal lagi. Entah kapan persisnya hal ini mulai terjadi.
Kaum santri — pemeluk dan pengamal teguh ajaran Islam — kemudian menulis memakai bahasa Jawa beraksara Arab-pego maupun bahasa Arab beraksara Arab (hijaiyah). Sementara itu pujangga kraton yang menjadi santri semisal Rongga Warsito masih tetap menulis karya berbahasa Jawa beraksara Jawa.
Baca juga Ronggowarsito: Kisah Hijrah Sang Pujangga Tanah Jawa
Pada abad ke-19, seorang pemimpin pesantren di dataran tinggi Batang, Pekalongan, Kiai Ahmad Rifai, menulis puluhan kitab berisi ajaran-ajaran Islam dalam bentuk tembang berbahasa Jawa beraksara Arab-pego. Di Payaman, Magelang di pedalaman Jawa, Kiai Muhammad Siraj di awal abad ke-20 menulis kitab tembang berjudul Erang-Erang Sekar Panjang berbahasa Jawa beraksara Arab-pego mengenai doktrin ajaran Islam.
Dua nama di atas itu dan karyanya tentu hanya sedikit contoh nama dan karya berbahasa Jawa dari kaum santri dan orang pesantren di Jawa. Masih banyak yang lain. Apalagi jika melingkupi karya berbahasa Arab.
Kaum santri dan orang pesantren di wilayah kultur Sunda dan Madura juga menulis karya yang menggunakan sarana berbentuk nadzaman atau syi’iran berbahasa Sunda dan Madura untuk tujuan didaktik keislaman.
Bentuk tembang dikenal sebagai nadzaman atau syi’iran di kalangan orang pesantren dan masih dibaca kaum santri dan diajarkan di pondok pesantren hingga sekarang. Tembang sebenarnya khazanah sastra Jawa yang digunakan oleh orang pesantren sebagai sarana menyampaikan ajaran-ajaran Islam, bukan untuk menyampaikan ide atau imajinasi personal-individual sang pengarang.
Di pesantren tak diajarkan pelajaran bahasa dan sastra Jawa. Yang dikenal dan diajarkan di pesantren adalah kitab-kitab tata bahasa Arab dan ilmu sastra Arab hingga sekarang yang utamanya dipakai untuk bisa membaca dan memaknai kitab-kitab klasik berbahasa Arab yang umum dikenal sebagai kitab kuning.
Kedua, setelah masa Proklamasi Kemerdekaan, kaum santri dan orang pesantren mulai mengenal madrasah dan sekolah. Bahasa Indonesia dan aksara Latin kemudian juga mulai mereka kenal. Bahasa Arab dan aksara Arab bertahan, bahasa Jawa dan Arab-pego pun demikian. Namun kaum santri dan orang pesantren mulai beralih menulis berbahasa Indonesia dan beraksara Latin.
Kaum santri dan orang pesantren yang dikenal sebagai sastrawan menulis karya sastra Indonesia, disebut demikian karena karyanya berbahasa Indonesia. Genre puisi, cerpen dan novel mereka tulis dalam bahasa Indonesia yang memuat ide dan imajinasi personal-individual mereka.
Mereka belajar menulis sastra Indonesia dari pelajaran di sekolah dan terbitan sastra Indonesia. Juga mereka belajar dari sastra asing maupun terjemahannya. Bukan hanya kaum santri, kaum abangan dan priyayi yang menjadi sastrawan pun melakukan hal yang serupa.
Djamil Suherman, D Zawawi Imron, Ahmad Tohari, Acep Zamzam Noor maupun A. Mustofa Bisri adalah kaum santri dan orang pesantren yang dikenal sebagai penulis sastra Indonesia, mereka menulis karya sastra berbahasa Indonesia beraksara Latin. Karya sastra Indonesia mereka bertema pesantren, religius, sosial, etnik, politik maupun erotika.
Lalu apa gerangan “sastra pesantren”? Ini hanya label.
Ketiga, pengertian “sastra” dalam istilah “sastra pesantren” yang digunakan oleh para filolog (pengkaji naskah kuno) adalah teks jenis apa pun yang dijadikan sarana pengajaran misalnya kitab kuning yang memuat ajaran fikih, tasawuf, dll. di pesantren. Dari sini jelas bahwa istilah “sastra pesantren” yang dipakai oleh para filolog tak merujuk ke teks puisi, cerpen dan novel dalam pengertian modern. Dari sini pula jelas bahwa karya-karya sastra masa kini yang berupa puisi, cerpen dan novel yang selama ini diklaim atau dilabeli sebagai “sastra pesantren” sebenarnya salah identifikasi.
Oleh: Binhad Nurrohmat, penyair tinggal di Rejoso, Jombang
Baca juga: Raja Ali Haji dan Gurindam Dua Belasnya