Rasio kewirausahaan menunjukkan tingkat partisipasi bisnis dalam ekonomi, sedangkan ekonomi gig mencakup pekerjaan lepas berbasis digital. Keduanya saling mendukung, mendorong inovasi dan pertumbuhan ekonomi, meski menghadirkan tantangan stabilitas kerja.
Tercantum dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres RI) No. 22 tentang Pengembangan Kewirausahaan Nasional tahun 2021-2024 membagi kategori wirausaha menjadi wirausaha pemula dan wirausaha mapan. Terbaru, di Februari 2024, terdata dalam BPS (Badan Pusat Statistik) disebutkan bahwa ada 56,5 juta orang wirausaha di Indonesia.
Ada sekitar 51,5 juta orang di antaranya merupakan wirausaha pemula, akumulasi dari 29,1 juta orang yang berusaha sendiri, serta 22,4 juta orang yang berusaha dengan dibantu buruh tak tetap/buruh tak dibayar. Sementara itu, wirausaha mapan ada sekitar 5 juta orang, yaitu yang berusaha dengan dibantu buruh tetap/buruh dibayar. Artinya, rasio wirausaha pemula per Februari 2024 di Indonesia mencapai 35,51% dari total angkatan kerja. Lalu, rasio wirausaha mapan per Februari 2024 mencapai 3,35% dari total angkatan kerja.
Realita di lapangan, banyak wirausaha yang dibangun atas keterpaksaaan karena didasari upaya untuk bertahan hidup. Masyarakat berpenghasilan rendah memulai usaha didorong faktor itu dan tidak jarang mengalami hambatan untuk berkembang. Mental pengusaha tidak tertanam sejak kecil dan terbatasnya pengetahuan soal ilmu kewirausahaan menjadi salah satu faktor penghambatnya. Strategi apa yang harus dilakukan agar masyarakat mau berwirausaha?
Pertama, secara fundamental penciptaan calon wirausaha mengalami rintangan jika melihat pola pendidikan yang dijalani selama ini. Kita lihat dalam data Perpres RI No. 22 dalam pengembangan kewirausahaan nasional, salah satunya bertujuan untuk menciptakan kurikulum pendidikan kewirausahaan untuk pendidikan formal, non-formal, dan informal. Maka penting menanamkan nilai-nilai kewirausahaan sejak dini, terutama di sekolah dasar (SD). Devecci dan Leino (2018) menyebutkan dalam penelitiannya, kurikulum kewirausahaan dalam pendidikan ialah penting agar mampu menghadapi tantangan ekonomi global di masa depan.
Maka tantangan ke depan ialah kolaborasi antara Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM) dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) untuk mewujudkan kurikulum kewirausahaan ini. Proyek ini merupakan investasi jangka panjang yang tentu berdampak positif bagi kemajuan perkembangan wirausaha di Indonesia.
Namun demikian, terlepas dari rekomendasi membuat kurikulum kewirausahaan ini, berdasarkan latar belakang pendidikan dalam BPS per Februari 2024, ternyata wirausaha lulusan SD berjumlah 16,9 juta wirausaha (16,1 juta wirausaha pemula dan 880 ribu wirausaha mapan), sedangkan untuk lulusan universitas sejumlah hanya 2,6 juta wirausaha (1,85 juta wirausaha pemula dan 743 ribu wirausaha mapan).
Artinya, wirausaha lulusan SD mencapai 11,37% dari angkatan kerja nasional, sedangkan wirausaha lulusan universitas hanya mencapai 1,74% dari angkatan kerja nasional. Disadari atau tidak, jika dibandingkan, inilah fakta bahwa lulusan SD lebih mendominasi daripada lulusan universitas dalam bidang kewirausahaan.
Hal yang juga penting, dalam data BPS per Februari 2024, ada total 149 juta orang angkatan kerja nasional, dengan rincian 142 juta masuk kategori bekerja, sedangkan ada 7,2 juta orang yang masuk kategori pengangguran (tidak bekerja/sedang mencari pekerjaan). Berarti ada 2,7% dari jumlah penduduk Indonesia, yang pengangguran.
Dari data itu, jika dirinci ada 871.860 orang lulusan universitas yang pengangguran. Mayoritas mereka dari Gen Z. Lulusan universitas memang diuntungkan dengan latar belakang pendidikan yang tinggi, tentu akan menunjang dan mempermudah dalam menemukan ide usaha dan peluang bisnis terutama yang berhubungan dengan teknologi. Namun, tidak jarang dari mereka enggan masuk dunia wirausaha yang menurut mereka tidak pasti dan berisiko.
Gen Z ini masih dalam masa produktif dan peluang menjadi wirausaha berbasis teknologi juga besar. Misalnya, menjual produk di marketplace, menjadi content creator, dan produk digital lainnya. Bahkan dalam data BPS juga disebutkan dalam bidang pekerjaan utama, rata-rata penghasilan bersih sebulan terbesar di Indonesia tahun 2023 ada di bidang jasa (sebesar Rp2.170.742), disusul bidang industri (sebesar Rp1.980.542), dan pertanian (sebesar Rp1.477.711). Sehingga, Gen Z yang menjadi wirausaha di bidang jasa pada gilirannya akan meningkatkan kualitas dan pertumbuhan usaha yang berkelanjutan karena ditopang faktor penghasilan yang tinggi pula.
Ekonomi Gig: Dinamika Pekerjaan Modern
Ekonomi gig merupakan fenomena seorang individu bekerja sebagai freelancer untuk menyelesaikan satu proyek tertentu dan cukup berkembang di era digital sekarang ini. Dengan didukung oleh kemajuan teknologi dan akses ke platform online, ekonomi gig memberikan peluang baru bagi siapa saja yang berkompetensi dan melek akan peluang ini.
Jika dibandingkan dengan bekerja penuh waktu di kantor, di antara kelebihan ekonomi gig ialah fleksibilitas waktu dan tempat. Pekerja gig memiliki kebebasan untuk menentukan kapan dan di mana mereka bekerja. Ini memungkinkan mereka menyesuaikan pekerjaan dengan kehidupan pribadi. Menurut laporan McKinsey, sekitar 25% pekerja di Indonesia terlibat dalam ekonomi gig, dengan banyak dari mereka menggunakan platform digital seperti Gojek, Grab, dan Fiverr. Selain itu, demografi pekerja dalam data dari Statista menunjukkan bahwa mayoritas pekerja gig di Indonesia adalah milenial dan Gen Z, dengan rentang usia 18-34 tahun mendominasi.
Selanjutnya, soal peluang diversifikasi pendapatan, pekerja gig dapat mengambil beberapa proyek sekaligus, memberikan peluang untuk meningkatkan pendapatan dan mengurangi ketergantungan pada satu sumber. Survei yang dilakukan oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menunjukkan bahwa pendapatan pekerja gig dapat bervariasi, dengan beberapa freelancer mengklaim penghasilan bulanan hingga 10 juta, tergantung pada jenis pekerjaan dan jam kerja. Hal ini menjadi harapan baru yang bisa dimanfaatkan siapa pun sebagai penunjang pertumbuhan ekonomi di masyarakat.
Tak hanya itu, ekonomi gig juga membuka akses ke berbagai peluang, misalnya melalui platform digital, pekerja gig dapat menjangkau klien dari seluruh dunia, memperluas jaringan dan potensi pekerjaan. Beberapa platform yang banyak digunakan oleh freelancer di Indonesia termasuk Sribulancer, Projects.co.id, KreasiHub, Upwork, Fiverr, dan Workana, yang menawarkan beragam pekerjaan. Karena itu, bekerja pada berbagai proyek memungkinkan freelancer untuk mengembangkan keterampilan baru dan memperluas portofolio mereka.
Namun demikian, ekonomi gig tidaklah lepas dari tantangan di dalamnya. Pekerja gig sering kali menghadapi fluktuasi pendapatan, yang dapat membuat perencanaan keuangan menjadi sulit. Survei oleh Ipsos menemukan bahwa sekitar 60% pekerja gig di Indonesia mengeluhkan ketidakpastian pendapatan dan kurangnya perlindungan sosial, seperti asuransi kesehatan. Sehingga tidak ada istilah dana pensiun atau cuti, yang biasanya diberikan kepada karyawan tetap. Tidak itu saja, tantangan lain ialah persaingan yang ketat. Dengan banyaknya freelancer di pasar, menemukan klien dan proyek yang baik bisa menjadi tantangan.
Hal yang tak kalah penting, tantangan pekerja gig ialah manajemen waktu. Tanpa struktur yang jelas, manajemen waktu bisa menjadi sulit, mengharuskan pekerja untuk memiliki disiplin yang kuat. Aspek ini menjadi pertimbangan pekerja gig, karena tanpa jam kerja tetap, freelancer harus bisa menentukan kapan harus bekerja dan kapan harus istirahat. Selain itu, pertimbangan lainnya ialah manajemen proyek, diperlukan jika proyek sudah bertumpuk, dengan mengambil banyak proyek sekaligus bisa membuat pekerja merasa sulit untuk menyelesaikan tugas tepat waktu.
Terlepas dari itu, ekonomi gig sangatlah berdampak pada pasar kerja. Transformasi model kerja ini akan menciptakan lebih banyak peluang banyak orang untuk bekerja. Inovasi dalam bisnis dan pergeseran keterampilan dalam bekerja di dunia digital menjadi suatu keniscayaan. Kominfo menyebutkan, menurut riset teranyar yang dirilis Google, Temasek, dan Bain & Company. Dalam studi berjudul eConomy SEA 2022 tersebut, nilai ekonomi digital di Indonesia diprediksi akan mencapai USD77 miliar atau setara dengan Rp1.197,8 triliun (kurs Rp15.557 per USD) pada 2022.
Angka itu merefleksikan pertumbuhan 22 persen secara tahunan. Dari total nilai sebesar itu, sumbangan e-commerce Indonesia memberikan kontribusi senilai USD59 miliar dan membesar menjadi USD95 miliar pada 2025. Ekonomi gig akan menjadi bagian penting dari pertumbuhan ini dan meningkatkan rasio kewirausahaan nasional. Tentu laporan tersebut akan terus diperbarui dengan melihat pekembangan yang mutakhir. Pada akhirnya, ke depan semoga ada kolaborasi antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat, untuk menciptakan ekosistem yang mendukung pertumbuhan ekonomi gig sambil melindungi hak dan kesejahteraan pekerja.
Penulis: M Sutan Alambudi
Editor: Ikhsan Nur Ramadhan
Baca Juga: Lowongan Kerja di Indonesia Masih Sedikit? Ini Alasannya