tebuireng.co- Bukanlah misteri kenapa karya kesusastraan terus ditulis, dan tak sedikit alasan dan “fungsi” yang bisa dikemukakan mengenai keberadaannya. Karya kesusastraan hadir seiring gerak manusia dan kenyataan hidupnya yang tak padam menjadi sumber utama penciptaan karya kesusastraan. Karya kesusastraan telah turut merawat dan menyimpan ruahan impian dan frustrasi manusia di suatu masa.
Sebagai bentuk kebudayaan artistik, karya kesusastraan melalui caranya yang khas mengisi suatu “ruang” ekspresi dan refleksi tentang manusia dan kenyataan hidupnya. Kebudayaan artistik yang mewujud melalui tradisi tulis ini menggairahkan makna melalui cetusan pencerahan pengertian tentang manusia dan dunianya serta penyegaran bahasa yang dipersembahkannya kepada masyarakat yang memberikan ruang bagi kehadirannya. Tak jarang, pembatasan atau pelarangan kerap diterabas oleh karya kesusastraan sehingga menjadikannya biang ketegangan sosial bagi masyarakat atau ancaman subversif bagi pemangku kekuasaan.
Baca juga: Rekonstruksi Ringkas Sastra di Pesantren, Dulu dan Sekarang
Karya kesusastraan berdiri di dalam dan sekaligus di luar masyarakatnya. Status fiksi yang disematkan kepada karya kesusastraan tak bisa mengasingkannya sama sekali dari tautannya dengan fakta dunia. Ambil contoh roman Pramoedya Ananta Toer Arus Balik yang mengisahkan dunia maritim Nusantara abad 16 yang narasinya menjangkar ke lautan fakta historis yang tak terbantahkan. Roman ini tak dibangun oleh serangkaian kreasi cerita hayali dari benak pengarang belaka. Status karya ini adalah fiksi, tapi banyak fakta di dalamnya tak terpungkiri.
“Posisi ganda” semacam itu memungkinkan karya kesusastraan tak kehabisan daya membentuk dunia di dalam dirinya dan tak kunjung lenyap daya rangsangnya terhadap dunia di luar dirinya. Dua sisi dunia ini merupakan sisi luar dan sisi dalam dinding bangunan karya kesusastraan yang dianggap agung. Dua sisi dunia ini membuat imajinasi dalam karya kesusastraan sanggup merintis atau meneguhkan kenyataan dan pengertian yang lain tentang manusia dan dunianya.
Alam imajinasi yang sejauh-jauhya pun tak bisa lolos dari gapaian pikiran manusia. Prosa Borges dan Kafka maupun puisi Paul Celan dan Afrizal Malna terendus dan terkejar oleh pikiran manusia karena pengembaraan imajinasi di dalamnya tak bisa memutus habis ikatannya dari dunia. Alam imajinasi niscaya bersumbukan kenyataan yang ada dan hendak menarik lebih jauh ujung garis kenyataan ke sejumlah arah dan bentuk yang kerap tak terduga. Kerja imajinasi bukanlah pelarian, melainkan pertarungan yang keras dan intens dengan kenyataan demi memperkaya atau mengembangbiakkan tafsir tentang manusia dan dunianya. Di sinilah peran radikal dan signifikan imajinasi.
Karya kesusastraan yang teguh menghidupkan peran imajinasi yang semacam itu melantari karya kesusastraan mampu setara dengan ilmu yang menyibak rahasia alam semesta, atau seperti teknologi yang membebaskan mata manusia dari keterbatasannya menyaksikan makhluk mikro organisme.
Bau Manusia dalam Kata
Manusia senantiasa menjadi “subjek” dalam karya kesusastraan. Inilah “isme” esensial karya kesusastraan. Kehadiran karya kesusastraan senantiasa dirangsang oleh dan sekaligus merangsang kenyataan manusia dan dunianya. Sisi pelik dan samar, atau yang sebaliknya, dalam diri manusia dan kenyataan hidupnya menjadi rangsangan yang tak reda geloranya bagi kehadiran karya kesusastraan. Dongeng kancil mencuri ketimun maupun kisah hewan-hewan dalam novel George Orwell Animal Farm sesungguhnya menyuarakan moral manusia dan kenyataan hidupnya. Tokoh-tokoh fauna itu memantulkan bayang manusia melalui cermin alegori sebagaimana dikenal dalam tradisi kesusastraan sejak lama.
Percekcokan antar-isme-isme yang terjadi dalam sejarah perjalanan kesusastraan merupakan bentuk kontestasi atau koreksi antar-ide kesusastraan yang di dalamnya tersimpan atau membonceng misi menjadikan karya kesusastraan makin besar dan penting perannya bagi kemanusiaan, bukan sebaliknya. Isme-isme itu beriktikad menjadikan karya kesusastraan tak tersekap kejumudan atau kemubaziran. Realisme misalnya, hadir mereaksi Romantisisme yang cenderung memuja kemolekan dan menyingkiri sisi bopeng manusia dan kenyataan hidupnya.
Pertarungan antar-isme kesusastraan tak lain merupakan bentuk kompetisi antar-ide memandang manusia dan kenyataan hidupnya. Isme-isme itu tak hendak merusak, melainkan memuliakan kesusastraan yang bervisi luhur terhadap manusia dan dunianya. Kehancuran kesusastraan bisa terjadi bukan lantaran isme tertentu, melainkan bila kesusastraan ditunggangi kepentingan yang korup terhadap kesusastraan itu sendiri misalnya pengebirian kebebasan kesusastraan menuliskan manusia dan kenyataan hidupnya demi melayani kepentingan moral kelompok ataupun agenda politik kekuasaan tertentu. Pengebirian ini serupa pelanggaran terhadap kebebasan manusia, sebab dalam karya kesusastraan juga tersematkan kebebasan manusia.
Kesadaran tentang manusia dan dunianya dalam karya kesusastraan merangsang kesadaran pembaca tentang manusia dan dunianya. Demikianlah, sehingga karya kesusastraan memungkinkan kesadaran manusia tentang dirinya dan dunianya terus berproses, tak membeku, tak surut, dan tak bangkrut di tengah perubahan dunia yang tak tertahankan. Dan, daya kata dalam karya kesusastraan memungkinkan makin berkilau dan perkasanya pesona bahasa memahatkan gairah kesadaran tentang manusia dan dunianya sehingga terukir kuat dalam ingatan. Di sinilah tugas artistik kesusastraan yang tak bisa dikorupsi oleh kepentingan segala isme yang hendak digelorakan atau dilenyapkan oleh kepentingan tertentu. Bahasa yang perkasa dalam karya kesusastraan tegak dan tak goyah oleh pemberangusan dan tak bisa terkatrol selamanya oleh segala pujian dusta.
Bau manusia dalam karya kesusastraan kerap tak terhindarkan melintasi sekat isme, pembatasan, dan pelarangan. Betapa menakjupkan, kata yang tampak selalu diam itu mampu menjelajah rumitnya manusia dan kenyataan hidupnya serta merangsang gerak dunia dari zaman ke zaman. Semua itu bukan karena semata keindahan bahasa atau kemahiran permainan kata, melainkan juga lantaran suara manusia dan dunianya yang tak henti digemakan melalui tempaan bahasa yang terus menguji diri menghadapi dan menekuni makna ihwal manusia dan kenyataan hidupnya yang terus berubah dan bergerak senantiasa.
Oleh: Binhad Nurrohmat, Penyair, mukim di Rejoso, Jombang
Baca juga: Islam, Seni dan Kehidupan Beragama