tebuireng.co – Rahasia dimulai dan diakhirinya shahih bukhari dengan hadis gharib perlu diketahui sebagai sebuah wawasan. Oleh karenanya, tulisan ini akan membahas rahasia hadis gharib dari sudut pandang berbeda.
Dalam menilai hadis dari perspektif banyaknya jalur sanad, para ulama’ hadis membaginya menjadi dua macam, pertama hadis Mutawatir yaitu hadis yang memiliki jumlah rawi yang sangat banyak pada tiap thabaqohnya (tingkatan), hingga sampai pada titik jumlah yang tidak dimungkinkan terjadi kebohongan,
Kedua hadis Ahad, yaitu hadis yang tidak mencapai syarat hadis mutawatir, semisal pada salah satu thabaqahnya tidak mencapai jumlah yang banyak.
Hadis Ahad kembali dibagi menjadi, pertama hadis Ahad Masyhur, yaitu hadis yang diriwayatkan tiga orang atau lebih pada tiap thabaqahnya.
Kedua hadis Aziz, yaitu jika salah satu thabaqahnya hanya terdiri dari dari dua periwayat.
Ketiga hadis Gharib, yaitu jika salah satu thabaqahnya hanya terdapat satuorang yang meriwayatkan.
Muhammad bin Isma’il Al Bukhari (W. 870.H) dalam menyusun hadis pada kitab shahih bukari merupakan seorang yang terkenal selektif, hal ini karena ia memiliki kualifikasi yang amat ketat dalam memilih hadis.
Namun diantara hadis-hadis yang ia cantumkan dalam shahih bukhari terdapat beberapa hadis yang dinilai gharib oleh para ulama.
Syaikh Abdurrahman bin Ubaidillah as-Segaf dalam kitabnya balabilut taghrid menuturkan setidaknya terdapat dua hadis gharib dalam kitab shahih bukhari.
Pertama hadis tentang niat yang dijadikan pembuka kitab. Hal ini dikarenakan tidak ada seorangpun yang meriwayatkan hadis ini dari Nabi Muhammad kecuali Umar bin Khathab RA.
Begitupun Umar, tidak ada seorangpun yang meriwayatkan darinya kecuali al-Qamah bin Waqash, pun pada tingkatan rawi yang ketiga tidak ada yang meriwayatkan hadis ini dari al-Qamah kecuali Muhammad bin Ibrahim.
Kedua hadis tasbih sebagai pamungkas kitab. Hadis ini juga hanya diriwayatkan oleh Muhammad bin Fudhail bin Ghazwan dari Ammarah bin al-Qa’qa’ dari Abi Zur’ah dari Abi Hurairah.
Baca Juga: Kitab Shahih Bukhari Menurut Gus Qoyyum
Syaikh Abdurrahman bin Ubaidillah lantas menuturkan sebagaimana yang didapat dari guru-gurunya bahwa hak ini memang sengaja dilakukan oleh Imam Bukhari sebagai isyarat yang begitu halus untuk mengarahkan para pembaca kepada sebuah hadis yang berbunyi :
بدأ الإسلام غريباً وسيعود غريباً كما بدأ فطوبى للغرباء
“Agama ini dimulai dengan keadaan asing, dan diakhiri dengan keadaan asing, maka sungguh beruntung orang-orang asing tersebut.” (HR. Muslim)
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim tersebut, sebetulnya sangat dikagumi oleh al-Bukhari. Namun karena hadis tersebut tidak memenuhi kualifikasi yang ditetapkan oleh al-Bukhari agar bisa masuk ke dalam rentetan hadis-hadis shahih yang lain, maka ia hanya bisa memberikan isyarat dengan menyebutkan hadis gharib di awal dan di akhir kitab shahihnya.
Bahwa agama ini akan berakhir dengan keadaan asing, begitu juga shahih al-Bukhari yang menjadi bagian penting dari agama ini akan menjadi asing di akhir zaman, dan orang akan lebih senang dengan hadis-hadis palsu.
Lantas apakah hadis Gharib itu dhaif? Tidak juga. Hadis Gharib juga bisa dihukumi shahih, sebagaimana hadis niat dan hadis tasbih yang ada di al-Bukhari.
Bisa juga dihukumi hasan sebagaimana yang banyak terjadi di Sunan al-Tirmidzi. Bisa jadi dihukumi dhaif dan ini yang sering terjadi. Oleh karenanya ada ungkapan yang terkenal dari Imam Malik: Syarr-ul ilmi al-Gharib.
Sayyid Muhammad bin ‘Ali al-Jufri pernah bercerita, dulu banyak ulama sangat senang mencari sanad hadis yang gharib, ibarat barang langka yang begitu mewah.
Semisal al-Imam Abdul Razaq al-Shan’ani yang kemudian menyesal setelah banyak mencari hadis gharib, beliau berucap: “Dulu aku kira hadis gharib itu bagus, ternyata dalam hadis ini menyimpan bahaya.”
Bahaya yang dimaksud adalah kemungkinan salah dari orang yang meriwayatkan lumayan besar karena tidak ada riwayat lain yang mendukung. Dari sinilah terlihat betapa telitinya Imam al-Bukhari dalam meletakan tiap hadis pada kitabnya, sekalipun yang ditulis adalah hadis gharib, tapi ia tetap berada pada tingkatan shahih yang tinggi.
Wallahu A’lam
Muta’allim Kaslan
Pare, 9 Juni 2022