Dalam sebuah pengajian Gus Baha‘ bercerita, suatu ketika di bulan Ramadan, KH Nur Salim (ayah Gus Baha‘) didatangi seseorang yang miskin. Si miskin saat itu mengeluh atas keadaannya yang kurang beruntung dalam hal harta.
Si miskin mengatakan jika jadi orang miskin itu tidak enak, sudah puasa, masih jadi buruh, tidak boleh tidur karena menanggung pekerjaan. Karena tidak punya uang banyak, setiap hari harus kerja keras agar mendapatkan uang untuk membeli beras dan kebutuhan hidup lainnya. Sementara jadi orang kaya enak, bisa tidur-tiduran di rumah, santai dan lain-lain tanpa harus memikirkan uang. Sebab sudah punya simpanan banyak dan penghasilan tetap setiap bulannya. Tanpa kerja keras pun, uang akan tetap ada.
Setelah mendengar itu, Kiai Nursalim menjawab kebalikan dari pernyataan si miskin. Menurutnya, justru orang kaya kalau puasa lebih berat dan sulit.
Mendengar jawaban itu, si miskin kaget dan heran. Ia pun bertanya balik, “kok bisa Kiai puasa orang kaya lebih berat dan sulit dari pada orang miskin?” tanya ia heran.
Dengan tenang, Kiai Nursalim menjelaskan kepada si miskin, “begini orang kaya itu pada hari-hari biasa (selain Ramadan) punya menu makan yang berbeda-beda tiap hari. Sehingga tubuh mereka terbiasa dengan hal itu, makan yang enak dan enak. Bisa jadi mereka pagi makan pecel, siang makan rawon, agak sore menunya sate. Dari sini dapat diketahui bahwa orang kaya harus meninggalkan kebiasaannya lebih banyak dari pada orang miskin. Hal ini tentu tidak mudah bagi tubuh orang kaya. Sementara si miskin, kan sudah terbiasa meninggalkan menu makan yang bermacam-macam dan enak-enak. Setiap hari menu makanannya hampir sama, ya itu itu aja. justru ini lebih mudah to….
Dari penjelasan Kiai Nursalim ini barulah si penanya tersebut paham dan berujar.
“Oh iya, kalau begitu sama-sama berat.
Di akhir kata, Gus Baha‘ menyimpulkan bahwa inilah pentingnya ilmu. Sehingga bisa memberikan pemahaman dan tidak menghilangkan sifat hasud dari sang penanya.
Baca juga : Biografi Lengkap Gus Baha