tebuireng.co- Pertengahan Maret 2020, penulis menemani mahasantri Ma’had Aly Al-Ihsan Sumenep, mendiskusikan hal-hal terkait pandemi covid-19; mulai dari penerapan lockdown (karantina wilayah), Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), social distancing (pembatasan sosial), hingga hukum mudik dari zona merah menuju zona kuning/hijau. Tentu saja dipandang dari kacamata hukum Islam (fikih).
Diskusi yang dilaksanakan dalam 4 (empat) sesi tersebut, menemukan sejumlah fakta menarik. Di antaranya tentang penerapan lockdown dan social distancing di masa Rasulullah SAW, jenis-jenis wabah yang pernah menimpa umat Islam, hingga jenis-jenis pandemi yang menggugurkan kewajiban shalat Jumat berjamaah, dengan yang tidak.
Namun, karena keterbatasan halaman, di sini penulis hanya ingin mengurai beberapa ajaran Islam (fikih) yang bersifat antivirus. Maksudnya, ada beberapa elemen ajaran fikih yang menyimpan ”penangkal” virus dalam dirinya sendiri (inhern).
Makanan
Kita mulai dari makanan. Islam hanya membolehkan kita mengonsumsi makanan yang berkualitas dan halal (thayyibaat), terutama dari jenis binatang peliharaan dan unggas (QS. An-Nahl: 5-6). Sedangkan binatang liar yang boleh dikonsumsi hanyalah binatang yang dagingnya tidak mengandung virus/bakteri bawaan seperti anjing dan babi, tidak bertaring, tidak menjijikkan (khaba’its), tidak berbisa, bukan predator, dan hidup di satu alam saja.
Daging hewan/unggas yang hendak dikonsumsi pun, harus melalui proses penyembelihan, harus dicuci hingga bersih dan suci, kemudian sebelum dikonsumsi harus dimasak terlebih dahulu. Daging hewan yang tidak disembelih, apalagi dimakan hidup-hidup, dihukumi haram karena sama dengan memakan bangkai. Jika aturan-aturan ini kita pelihara, maka segala macam bakteri dan virus tidak akan hinggap di tubuh kita.
Bandingkan ajaran fiqh ath’imah (fikih makanan) ini, dengan kebiasaan mengonsumsi binatang liar di Pasar Tradisional Wuhan, episentrum pertama virus corona. Bahkan saking gragasnya, banyak warga sono yang konon makan ulat atau bayi tikus hidup-hidup. Sebuah perilaku yang berbanding 180 derajat dengan fikih Islam.
Selain jenis makanan, Islam juga mengajarkan etika makan. Mulai dari berdoa dan cuci tangan sebelum makan; makan sambil duduk (tidak berdiri atau berjalan), hingga cuci tangan dan berdoa setelah makan. Bandingkan dengan tradisi cuci tangan (entah itu pakai sabun atau hand sanitizer), yang tiba-tiba populer pada awal tahun 2020. Padahal, Islam sudah mengajarkannya sejak 15 abad yang lalu.
Pakaian
Beralih ke pakaian. Fikih mengajari kita menutup aurat, dan bahkan bagi laki-laki dianjurkan memakai surban, terutama saat melaksanakan shalat. Sedangkan wanita muslimah diajari memakai jilbab sejak dini. Nah, di saat masker langka di pasaran atau dijual di atas harga standar, maka umat Islam sebenarnya tidak perlu khawatir. Karena kita bisa menjadikan surban dan jilbab sebagai masker dadakan. Yakni dengan menyilangkan ujung surban atau jilbab yang menjulur ke bawah, tepat di depan hidung kita. Bahkan kaum muslimah bisa memakai niqab/cadar sebagai masker otomatis, walaupun yang terakhir ini sering diasosiasikan sebagai pakaian kaum ekstrimis Indonesia.
Kegiatan keagamaan yang bersifat massal, seperti pengajian, tahlilan, atau shalat Jumat berjamaah, sebenarnya tidak perlu dilarang, asalkan kaum muslimin-muslimat diwajibkan memakai surban dan jilbab sebagai masker. Kemudian sepulang dari masjid/majelis, mereka dianjurkan berwudu’ lagi (tajdid al-wudu’) dan shalat ba’diyah Jum’at di rumah. Setelah itu, surban/jilbabnya dicuci sesuai aturan fiqh thaharah (fikih bersuci). Hal ini juga berlaku dalam dua shalat Hari Raya (Idul Fitri dan Idul Adha). Sederhana sekali, bukan?
Ibadah
Umat Islam yang rajin mengaji kitab-kitab fikih ibadah, pasti mengenal tentang kewajiban-kewajiban (furudl) dan kesunahan-kesunahan (sunan) dalam wudu’. Di antara kewajibankewajiban wudu’ adalah membasuh tangan/lengan (ghasl al-yadaini), membasuh muka (ghasl al-wajhi), dan membasuh kaki (ghasl al-rijlaini). Kemudian kesunahan-kesunahan wudu’, di antaranya, membasuh kedua telapak tangan (ghasl al-kaffaini), berkumur (al-madmadlah), membasuh lubang hidung (istinsyaq), membasuh semua rambut (mash jami’ ar-ra’si), ditambah membasuh telinga (mash aludzunaini), membasuh jenggot (mash al-lihyati), dan membersihkan selasela jari tangan/kaki (takhlil ashabi’ alyadaini wa ar-rijlaini).
Dalam sehari, kita pasti berwudhu 5x sebelum shalat fardlu. Jika kewajiban-kewajiban ini kita laksakan secara sempurna (tasbigh al-wudlu’), berarti kita pasti akan mencuci muka, cuci tangan, cuci lengan, hingga cuci kaki 5x sehari. Apabila kita melengkapinya dengan kesunahan-kesunahan wudu’, maka kita bisa membersihkan selasela jari tangan/kaki, telinga, rambut, hingga lubang hidung dan mulut sebanyak 5x. Otomatis, virus-virus yang menempel di hidung dan mulut, tidak akan sempat melakukan inkubasi karena sudah tersembur keluar 5x.
Ini baru shalat fardhu. Jika kita melengkapinya dengan shalat sunnah (tahajjud, dhuha, hajat, tasbih, taubat, awwabin, istikharah, dan lain-lain), serta wudu’ sunnah (tajdid al-wudu’), maka dalam sehari-semalam, virusvirus tersebut akan bergelimpangan puluhan kali.
Jika kita hendak bepergian, Rasulullah SAW mengajarkan agar kita shalat sunnah safar sebelum dan sepulang dari perjalanan (dzihaban wa iyaban). Artinya, meskipun kita terpapar virus corona di tengah jalan, misalnya, maka sepulang kembali ke rumah, kita bisa memusnahkannya dengan mandi, berwudhu’ (secara tasbigh), lalu mendirikan shalat sunnah safar. Persoalannya, berapa persen di antara kita yang mau shalat sunnah safar?
Isolasi dan Karantina
Isolasi atau karantina mandiri merupakan istilah yang sangat popular selama pandemic covid-19. Padahal, ajaran fikih-sufi sudah mengenal istilah tirakat dan uzlah. Secara sederhana, uzlah adalah upaya seseorang untuk menyepi menghindari keramaian manusia, guna menyatukan jiwa dan raga dalam beribadah kepada Allah Swt. Berarti, tanpa disuruh pun, seorang sufi tidak akan suka keluyuran.
Hal yang sama berlaku bagi santri; karena pesantren merupakan tempat isolasi paling aman dan nyaman. Tanpa diisolasi pun, santri sudah terisolasi secara otomatis. Bahkan di-lockdown. Justru ketika pulang (atau dipulangkan), mereka justru rentan terpapar virus corona di rumah masing-masing. Apalagi rumahnya berada di zona merah (Jakarta, Bandung, Surabaya, dan seterusnya). Begitu pula ketika kembali ke pondok, mereka justru rentan membawa virus corona ke dalam pesantren.
Untungnya, di saat para santri pulang, bulan Ramadan segera tiba. Sehingga para santri (dan umat Islam secara keseluruhan), bisa lebih tenang tinggal di rumah. Sudah jamak kita ketahui. puasa Ramadan bukan hanya bertujuan menahan lapar dan dahaga, tapi juga upaya mengisolasi raga dan hati dari hal-hal yang tidak berguna. Artinya, anjuran untuk tinggal di rumah, bagi insan puasa adalah sebuah kewajiban agar puasanya sah secara lahir (fikih) dan batin (tasawuf)
Keluyuran selama Ramadan (pelesir hingga ngabuburit), bukanlah ajaran Islam. Islam justru mengajarkan insan puasa agar memperbanyak ibadah di rumah, baik dengan shalat, zikir, membaca Al Quran, bahkan tidur (tidur lebih baik dan bisa bernilai ibadah, dibandingkan keluyuran yang menyebabkan maksiat mata/hati).
Doa dan Attitude
Ajaran-ajaran fikih-tasawuf di muka, masih bisa dilengkapi dengan doa-doa penolak penyakit (mulai dari istighatsah, qunut nazilah, shalawat as-syifa’, hingga amalan-amalan tertentu) yang jumlahnya sangat banyak. Artinya, dalam fikih Islam, terdapat banyak sekali ajaran yang bila diamalkan, insya Allah dapat menghindarkan pengamalnya dari berbagai macam bencana (baik bencana alam atau nonalam seperti wabah). Itulah sebabnya, ajaran Islam disebut sempurna (alyauma akmaltu lakum diinakum), karena memadukan dimensi fisik (fikih), spiritualitas, dan psikis (tasawuf).
Contoh ajaran Islam yang bersifat psikis adalah husnudzan (positif thinking), tawakkal (pasrah diri kepada Allah), qona’ah (menerima takdir Allah), dan sabar. Ajaran-ajaran tersebut, ternyata dapat meningkatkan daya tahan tubuh (imunitas) yang merupakan salah satul penangkal virus corona. Hal ini sesuai penelitian pada awal April 2020, di mana warga Negara yang bahagia (sampelnya adalah negaranegara Skandinavia seperti Swedia, Norwegia, Denmark, dan lain-lain), ternyata mampu mengatasi pandemic Covid-19 dengan cepat dan minim korban jiwa. Imunitas mereka sangat baik dan kerjasama antar warga sangat kompak.
Jika hipotesa ini kita terima, berarti ajaran Islam secara inhern, sebenarnya sangat mendukung peningkatan daya tahan tubuh manusia. Sehingga, meski terpapar virus corona sekalipun, umat Islam bisa melawannya dengan antibodi yang timbul dari sikap-sikap positif di atas.
Persoalannya, tidak sedikit umat Islam yang kini mulai meninggalkan sikap husnudzan. Sebagian lagi bahkan menolak pemakaman jenazah korban covid-19. Padahal, jenazah yang sudah berada di perut bumi tidak akan menularkan penyakit. Ditambah lagi, orang Islam yang wafat disebabkan wabah penyakit, hukumnya adalah mati syahid. Berarti, mereka harus dihormati karena di akhirat kelak bias memberi syafaat. Sedangkan kerabat yang ditinggalkan, seharusnya bahagia karena punya keluarga mati syahid. Bukankah kita belum tentu mati syahid seperti mereka?
Oleh A. Mubarok Yasin, Mahasantri Ma’had Aly Tebuireng, 2006-2010.