tebuireng.co– Sebagai lembaga pendidikan dan keagamaan, pesantren mempunyai fungsi yang serba ganda. Sejarah pertumbuhannya yang berawal dari masyarakat sekitarnya, telah memberi warna kultural dan keagamaan yang berabad-abad, hal yang sulit dipisahkan dari fungsi pesantren dengan kondisi sosial kemasyrakatan yang terus berlangsung. Dengan demikian, pesantren sebagai dinamisator keagamaan, sekaligus kemasyrakatan, memang sangat potensial sebagai lembaga ‘tumpuan’ yang diharapkan mampu menjawab perubahan sosial, pergeseran nilai-nilai, dan transformasi keilmuan.
Figur kiai, santri serta segala perangkat fisik yang menandai sebuah pondok pesantren, senantiasa dikelilingi oleh sebuah kultur yang bersifat keamanan. Suatu sistem yang mengatur perilaku seseorang, pola-pola interaksi antar masyarakat, dan bahkan pola interaksi antar masyarakat dengan masyarakat yang lain. Dengan demikian, meskipun hingga kini (1986) tercatat kurang lebih sekitar 39.449 buah pondok pesantren dan madrasah, ia tampak lebih berfungsi sebagai faktor integratif (dari pada desintegratif) dalam masyarakat desa karena standart pola-pola hubungan yang telah dikembangkan itu.
Pondok pesantren bisa juga disebut sebagai lembaga non formal disebabkan oleh eksistensinya yang berada di dalam jalur kependidikan masyarakat, dan tidak berada dalam jalur pendidikan formal. Lulusan pesantren mayoritas memasuki dunia swasta, sebagai petani, pedagang, pengrajin, atau menjadi guru agama penuh atau sambilan, walaupun ada kemungkinan melanjutkan ke sekolah Negeri dan kemudian menjadi pegawai negeri. Hal yang menjadi penting di sini adalah pesantren memiliki program menyusun kurikulum sendiri.
Proses demikian mengandung proyeksi pendidikan formal, nonformal, maupun informal yang berjalan sendiri dalam suatu pemondokan atau asrama. Karena itu, pondok bukan saja sebagai lembaga proses belajar, namun juga lembaga proses hidup itu mandiri.
Menyadari pentingnya makna pesantren, beberapa tahun terakhir ini diadakan kajian-kajian dan pendekatan ke arah pengembangan pesantren yang baik dilakukan atas dasar swadaya pesantren sendiri, maupun karena kepentingan pihak luar yang turut berpartisipasi dalam proyek pengembangan pesantren. Hal ini dilakukan, karena besarnya fungsi pesantren sebagai agent of change dalam usaha modernisasi dan dinamisasi masyarakat desa.
Tentu saja, pengembangan pesantren tersebut bertolak dari fungsi dasarnya, sebagai: a) Pendidikan formal di bidang keagamaan dan kemasyarakatan melalui sistem sekolah dan kursus, b) Pelayanan masyarakat melalui kegiatan-kegiatan dan penyuluhan, c) Dakwah melalui pengajian umum dan khusus, d) Pengembangan pemikiran keagamaan dan kemasyarakatan melalui majelis-majelis tarbiyah watta’lim, bahtsul masail, dan penyebaran informasi, dan e) Pembentukan jaringan eksternal yang punya prospek jangka panjang.
Dalam konteks ini, Rabithah Ma’ahid, sebagai organisasi pesantren perlu membenahi diri dan menyadari adanya perubahan dan pergeseran nilai masyarakat Indonesia, terutama dengan derasnya arus modernisasi. Tantangan ini harus kita hadapi dengan pola Khithah yang lebih jelas wawasannya, di samping perencanaan yang matang dan efektif.
Karena selama ini fungsi Rabithah Ma’ahid, masih bersifat ‘Ukhuwah’ (solidaritas) belum sampai pada taraf ‘proyeksi’ kelembagaan yang profesional, sebagai organisasi pesantren. Hal demikian wajar, karena selama ini, ikatan-ikatan kultural, terutama adanya anggapan bahwa pesantren merupakan ‘kerajaan kecil’, menjadi hambatan tersendiri dalam merumuskan program dan mekanisme kerja Rabithah Ma’ahid ini.
Tetapi hambatan kultural dan psikologis ini tidak bisa kita biarkan berlarut-larut dan saling tunggu menunggu. Hal ini yang menyebabkan sulitnya gerak kita dalam memasuki posisi tengah, di antara sekian lembaga yang beragam dan macam-macam aliran golongan.
Tentu saja untuk menerobos hambatan kultural dan psikologis tersebut membutuhkan keberanian dan kesatriaan; minimal keterbukaan kita berdialog dengan dunia luar; dan kepedulian kita menanggapi perubahan sosial, secara efektif.
Selain pembenahan wawasan, barangkali pembenahan organisatoris tidak kalah pentingnya. Struktur keorganisasian di Rabithah ini, turut menentukan lancarnya dan macetnya program-program yang akan dilakukan.
Di samping kehadiran figur pemimpin yang potensial dan energik. Pembenahan organisasi ini akan berlanjut dengan sikap profesional dalam menuntun arah kerjanya nanti. Tentunya faktor dana dan sekretariatan menjadi amat penting. Karena dua hal atau poin terakhir ini sangat disepelekan. Apalagi kesekretariatan (tempat dan mekanisme kantornya) sangat dibutuhkan perannya sebagai media administratif yang nantinya bisa dipertanggung jawabkan secara terbuka dan konsekuen.
Dalam menyusun perencanaan kerja, Rabithah harus punya sasaran dan kriteria yang jelas, yang diharapkan nantinya didukung oleh warga pesantren. Di samping adanya evaluasi program periodik.
Selama ini aspek perencanaan yang matang kebiasaan organisasi yang anggotanya kaum santri kurang diperhatikan. Hal-hal yang sering direncanakan saja, sering gagal apalagi yang tidak direncanakan. Sedangkan tindakan yang insidentil kadang-kadang juga menumbuhkan suatu proses yang kurang wajar dan tidak sehat. Hal demikian perlu dihindarkan jauh-jauh, agar nantinya, dunia pesantren yang punya ragam permasalahan tidak terkecoh oleh arus perubahan dan pergeseran, bahkan mampu mandiri dan menjadi tipe ideal dari suatu sistem lembaga pendidikan di Indonesia.
Barangkali yang terakhir ini bisa dianggap mimpi, tetapi secara ‘potensial’ pesantren punya indikasi kuat akan munculnya lembaga alternatif di bidang pengembangan sumber daya manusia; baik moril maupun materiil; di samping sebagai Lembaga pendidikan yang kualitatif. Tinggal bagaimana mewujudkan potensi yang berlimpah ruah ini secara aktual atau nyata.
Untuk lebih jelasnya, arah pengembangan Rabithah Ma’ahid ini berorientasi pada gerakan-gerakan bersama secara fungsional dan institusional. Terutama fungsinya sebagai lembaga pendidikan agama, hendaknya selalu merespon perkembangan ilmu pengetahuan, dan merangsang dinamika para santri untuk eksis dalam tantangan pemikiran dan dunia luar, di samping fungsi sosialnya sendiri yang lebih banyak dituntut untuk terjun (Da’wah bi-Haal) dalam berbagai santunan dan pengembangan kaum dhu’afa. Kami yakin bahwa partisipasi pesantren dalam pengembangan swadaya masyarakat (dalam artian yang lebih luas) akan menambah fungsinya sebagai Lembaga dakwah, diniyah, dan tarbiyah. Di samping hal yang cukup penting – sebagai lembaga perjuangan umat Islam.
Oleh: KH. M. Yusuf Hasyim, disampaikan Almarhum KH M Yusuf Hasyim, pada Musyawarah Rabithah al-Ma’ahid al-Islami, tanggal 19-20 Sepetember 1986, di Ponogoro dan pernah diterbitkan di Majalah Tebuireng edisi VI pada bulan Oktober1986.
Baca juga: Pondok Pesantren Titik Terang Pendidikan Indonesia