tebuireng.co- Nama pondok pesantren Mamba’ul Ma’arif, yang lebih dikenal dengan sebutan Pondok Denanyar. Desa Denanyar, semula sangat dikenal sebagai pusatnya Mo Limo. Berbagai bentuk kemaksiatan, sudah menjadi irama rutin masyarakatnya. Lebih-lebih dengan begal, perampasan secara paksa terhadap orang yang berani melintasi tempat tersebut.
Namun justru itulah yang membulatkan tekad KH. Bisri Syansuri, untuk mendirikan pondok pesantren di tempat yang berjarak 2 Km arah Barat kota Jombang. Dengan dorongan istrinya Nyai Hj. Noor Khodijah dan mertuanya KH. Hasbullah serta gurunya KH. Hasyim Asy’ari, pada tahun 1917 diwujudkanlah keinginan itu.
Baca juga: Kiai Bisri Syansuri Melawan Penjajah Sampai Orde Baru
Berangkat dari sebuah surau kecil dan empat orang santri, dimulailah kegiatan pondok pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar oleh Kiai Bisri Syansuri. Di samping itu, Kiai kelahiran 18 September 1886 di Tayu Pati ini juga kerap melakukan dakwah di luar pesantren, keliling dari satu desa ke desa lainnya.
Awalnya Kiai Bisri mendapat tindakan keras dari masyarakat, namun tindak kekerasan semacam itu tak pernah menyurutkan Kiai Bisri dalam melakukan tugas-tugas dakwahnya. Dia hadapi semua tantangan tersebut dengan pendekatan yang lentur, namun tetap tegas dalam sikap dan pendiriannya.
Dalam waktu yang cukup singkat, cara-cara tersebut membuahkan hasil yang cukup menggembirakan. Pola pikir masyarakat sedikit demi sedikit mulai berubah. Mereka pun akhirnya mulai memahami dengan sepak terjang yang dilakukannya selama ini. Lambat laun datanglah santri-santri dari daerah sekitar, lalu meluas ke masyarakat desa lainnya, kemudian terus berkembang hingga banyak santri yang datang dari lain kecamatan.
Bahkan berselang dua tahun, dibukalah kelas khusus untuk santri-santri perempuan – satu hal yang belum lazim kala itu. Gadis-gadis desa pun mulai dibuka wawasan dan pandangan hidupnya. Kepada kaum hawa itu ditunjukkan betapa mulianya perempuan dalam pandangan kacamata agama. Harga diri mereka pun dibangkitkan. Sebuah emansipasi wanita yang mungkin pertama kali dilakukan di Indonesia.
Wanita-wanita berkerudung mulai tampil menampakkan wajahnya di kancah kehidupan sosial. Keindahan agama pun memancar dan bersinar dengan akhlakul karimah yang mereka sandang.
Pada masa-masa perjuangan fisik menjelang kemerdekaan, Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif terpaksa melakukan rangkap tugas belajar dan berjuang. Dentuman meriam yang setiap saat membahana, tak pernah menyurutkan niat para santri untuk belajar dan terus saja belajar. Keluarga besar pondok pun turut ambil bagian secara aktif, untuk terlibat langsung dalam kancah perjuangan merebut kemerdekaan.
Pasca kemerdekaan, bendera Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif kian kencang berkibar. Pada tahun 1962, didirikanlah Yayasan Mamba’ul Ma’arif sebagai badan tertinggi organisasi. Kini yayasan ini membawahi 11 asrama dan 10 lembaga pendidikan.
Baca juga: Profil Singkat Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras
Asrama-asrama itu meliputi asrama Sunan Ampel, asrama putra-putri Induk, asrama ar-Risalah, asrama Noor Khodijah I, II dan III, asrama al-Bisri, asrama an-Najah, asrama al-Ziyadah, asrama putra al-Hikam dan asrama MAKN (Madrasah Aliyah Keagamaan Negeri).
Sedangkan lembaga pendidikannya meliputi Taman Pendidikan al-Qur’an (TPQ), MI dan MTs serta MA Mamba’ul Ma’arif, MTsN dan MAN Denanyar, SMEA/SMK Bisri Syansuri, Madrasah Diniyah Mamba’ul Ma’arif dan Lembaga Bahasa Arab-Inggris (LBAI).
Saat ini jumlah santri PP Mamba’ul Ma’arif mencapai 2000 santri. Jika ditambah dengan yang ada di lembaga pendidikan formal, jumlahnya berkisar pada 3500 santri. Karena yang menjadi ciri khas pondok itu adalah kitab kuning dan juga roh diniyahnya maka semua siswa di madrasah wajib mengikuti materi pelajaran di Madrasah Diniyah yang dilakukan sore hingga malam hari.
Hingga sekarang Pondok Denanyar masih menjadi kiblat masyarakat sekitar. Respon mereka cukup baik pada pengajian keliling kampung dan desa, yang merupakan program rutin Pondok Mamba’ul Ma’arif. Peran serta masyarakat sangat besar terhadap keberadaan pondok pesantren ini. Itulah sebabnya kenapa pengelolaan masjid, seluruh takmirnya secara murni diserahkan kepada masyarakat. Keluarga ndalem hanya sebagai pengisi saja.
Memang sejak mula pendiriannya Mbah Bisri selalu akrab dengan masyarakat. Dalam setiap perjuangannya, masyarakat selalu dilibatkan secara penuh – meskipun waktu itu belum dalam bentuk formal. Begitu pun sebaliknya, apa pun urusan masyarakat selalu melibatkan Mbah Bisri, mulai soal kelahiran anak, sunatan, pencarian jodoh hingga menuju pelaminan, soal penyakit, pengamanan lingkungan dan sebagainya. Dengan jalinan komunikasi semacam itu bentuk hubungan dengan masyarakat kian harmonis sampai sekarang. (Mujib)
Baca juga: Profil Singkat Pondok Pesantren Tebuireng
Baca juga: Profil Singkat Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso