Pramoedya Ananta Toer dikenal sebagai sastrawan legendaris yang sangat produktif. Pram, begitu panggilannya, memiliki nama asli Pramoedya Ananta Mastoer. Lahir di Blora pada 6 Februari 1925 dan wafat pada 30 April 2006. Semasa hidupnya, ia telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan bahkan diterjemahkan ke dalam lebih dari 42 bahasa asing.
Pada tahun 1940-1941, Pram mengenyam pendidikan di Sekolah Teknik Radio (Radiovakschool Surabaya) setelah menamatkan sekolah dasar di Instituut Boedi Oetomo. Lalu pada Mei 1942, Pram bekerja di Kantor Berita Domei di Jakarta sambil menempuh pendidikan di Taman Siswa (1942-1943), kursus di Sekolah Stenografi (1944-1945), dan Sekolah Tinggi Islam Jakarta untuk mata kuliah Filsafat, Sosiologi, dan Sejarah (1945).
Namun, perjalanan hidup Pram tidak serta merta mudah saja. Ia bahkan pernah mengalami penangkapan hingga pengasingan. Tahun 1946, Pram ikut menjadi prajurit resmi hingga mendapat pangkat Letnan II Tentara Keamanan Rakyat (TKR) namun ditangkap oleh marinir Belanda pada 1947 karena menyimpan dokumen gerakan bawah tanah menentang Belanda. Ia pun dipenjara tanpa diadili hingga tahun 1949 di penjara Bukit Duri.
Pada tahun 1958, Pram masuk sebagai anggota Pimpinan Pusat Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) yang berada di bawah naungan Partai Komunis. Keterlibatannya inilah yang menghadapkannya pada kenangan pahit dalam hidupnya. Tahun 1965, Pram ditangkap oleh gerombolan pemuda bertopeng dan mendapatkan penghinaan serta perlakuan yang kejam. Ia dipenjara di Tangerang, Salemba, Cilacap, dan selama sepuluh tahun di Pulau Buru.
Selama di pulau Buru itulah, Pram terus berkarya. Salah satu karya paling fenomenalnya adalah novel Tetralogi Pulau Buru, yaitu Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988). Buku-buku tersebut sempat dilarang beredar di Indonesia sedangkan di luar negeri beredar luas.
Sastrawan legendaris ini mendapatkan 16 penghargaan baik nasional mauapun internasional. Meski beberapa penghargaan yang didapatkannya menuai kontroversi, ia tetap dinilai sebagai pencerah dalam dunia sastra Indonesia mauapun dunia.
Penulis: Rindi Andriansah
Editor: Thowiroh
Baca juga: Ikranagara, Sosok Mbah Hasyim di Film Sang Kiai Meninggal Dunia