tebuireng.co – Pesantren: kontinuitas dan perubahan mencoba mendudukkan strategi pesantren bertahan dari perubahan zaman. Pesantren Mambaul Ulum Surakarta yang membuka diri untuk sistem modern kemudian diikuti beberapa pesantren lain di Indonesia.
Pesantren Tebuireng misalnya, pada tahun 1916 mendirikan sebuah “Madrasah Salafiyah” yang tidak hanya mengadopsi sistem pendidikan modern, tetapi juga memasukkan beberapa pelajaran umum, seperti berhitung, bahasa Melayu, ilmu bumi, dan menulis dengan huruf Latin ke dalam kurikulumnya.
Model ini kemudian diikuti banyak pesantren lainnya. Salah satu yang terpenting adalah Pesantren Rejoso di Jombang, yang mendirikan sebuah madrasah pada tahun 1927. Perubahan pesantren dalam menyikapi adalah seni bertahan pesantren lintas zaman.
Madrasah ini juga memperkenalkan mata-mata pelajaran non-keagamaan dalam kurikulumnya. Respon yang sama tetapi dalam nuansa yang sedikit berbeda terlihat dalam pengalaman Pondok Modern Gontor.
Berpijak pada basis sistem dan kelembagaan pesantren, pada tahun 1926 berdirilah Pondok Modern Gontor.
Pondok ini selain memasukkan sejumlah mata pelajaran umum ke dalam kurikulumnya, juga mendorong para santrinya untuk mempelajari bahasa Inggris, selain bahasa Arab dan melaksanakan sejumlah kegiatan ekstra-kurikuler seperti olahraga dan kesenian.
Bahkan sejumlah pesantren bergerak lebih maju lagi. Berkaitan dengan gagasan tentang “kemandirian” santri setelah menyelesaikan pendidikan mereka di pesantren.
Beberapa pesantren memperkenalkan semacam kegiatan atau latihan ketrampilan (vocational) dalam sistem pendidikan mereka.
Salah satu organisasi Islam yang memberi penekanan khusus pada aspek vocational ini adalah organisasi Persarekatan Ulama di Jawa Barat.
Organisasi ini mendirikan sebuah lembaga pada tahun 1932 atas basis kelembagaan pesantren yang kemudian disebutnya sebagai “Santi Asrama”.
Haji Abdul Halim yang merupakan pendiri Persarekatan Ulama memperkenalkan pemberian latihan ketrampilan bagi para santri.
Deskripsi singkat di atas sedikit banyak menjelaskan bagaimana respon pesantren dalam menghadapi berbagai perubahan di sekelilingnya.
Dalam menghadapi semua perubahan dan tantangan itu, para eksponen pesantren terlihat tidak tergesa-gesa mentransformasikan kelembagaan pesantren menjadi lembaga pendidikan modern Islam sepenuhnya, tetapi sebaliknya cenderung mempertahankan kebijaksanaan hati-hati (cautious policy).
Mereka menerima pembaruan (atau modernisasi) pendidikan Islam hanya dalam skala yang sangat terbatas, sebatas mampu menjamin pesantren bisa tetap survive.
Pengalaman pesantren dalam memberikan responnya pada masa pasca-proklamasi kemerdekaan lagi-lagi memperlihatkan kealotan pesantren.
Pada periode ini pesantren menghadapi tantangan lebih berat lagi. Khususnya disebabkan adanya ekspansi sistem pendidikan umum dan madrasah modern.
Kaum Muslim sekarang ini umumnya memiliki semakin banyak pilihan dalam mencarikan pendidikan buat anak-anak mereka, ada sekolah-sekolah umum, sekolah-sekolah Islam (seperti yang dikelola Muhammadiyah dan organisasi-organisasi Islam lainnya), ada pula madrasah-madrasah, dan tentu saja, pesantren itu sendiri.
Dampak yang paling jelas dari perkembangan ini adalah stagnasi, jika tidak kemerosotan jumlah para santri di pesantren-pesantren pada umumnya.
Namun, kesulitan ekonomi yang dihadapi Indonesia pada tahun 1950-an dan awal 1960-an, membuat pendidikan pesantren yang amat murah itu kelihatannya menjadi alternatif terbaik bagi banyak kalangan Muslim miskin di banyak wilayah pedesaan Jawa.
Namun, penting dikemukakan, bahwa di sisi lain, jumlah santri di pesantren-pesantren besar terus mengalami pertambahan yang konstan.
Pesantren-pesantren besar ini semakin banyak menarik santri, tidak hanya dari sekitar wilayah mereka, tetapi juga dari luar Jawa.
Termasuk di antara pesantren yang mengalami perkembangan semacam ini adalah Pesantren Tebuireng, Pesantren Lirboyo, Pesantren Tambakberas, dan Pondok Modern Gontor.
Dalam penelitiannya pada tahun 1955, Departemen Agama mencatat terdapat 30.368 pesantren, dengan santri sejumlah 1.392.159 orang.
Sebagai perbandingan saja, pada tahun 1972 diperkirakan jumlah pesantren adalah sekitar 32.000 buah dengan sekitar 2 juta santri.
Angka-angka ini menunjukkan bahwa pendidikan pesantren mengalami ekspansi, meski berada di bawah sistem dan kelembagaan pendidikan lainnya.
Mirip dengan pesantren pada masa kolonial, pesantren di masa kemerdekaan juga memberikan respon terhadap ekspansi sistem pendidikan umum yang disebarkan pemerintah dengan memperluas cakupan pendidikan mereka.
Sedikitnya terdapat dua cara yang dilakukan pesantren dalam hal ini: pertama, merevisi kurikulumnya dengan memasukkan semakin banyak mata pelajaran dan ketrampilan umum.
Kedua, membuka kelembagaan dan fasilitas-fasilitas pendidikannya bagi kepentingan pendidikan umum. Cara pertama, seperti telah dikemukakan di atas, telah dimulai kalangan pesantren sejak masa Belanda, meski dengan skala yang sangat terbatas.
Namun, dalam masa kemerdekaan, pembaruan kurikulum itu terus menemukan momentumnya. Perlu ditegaskan, bahwa pembaruan kurikulum ini tidak berjalan merata di seluruh pesantren.
Bahkan pesantren-pesantren yang menerima pembaruan tersebut hanya menerapkannya secara terbatas.
Tambahan lagi, terdapat banyak pesantren yang dipimpin oleh kiai lebih konservatif yang umumnya cenderung sangat resistan terhadap pembaruan kurikulum atau substansi pendidikan pesantren.
Dalam masa-masa kesulitan ekonomi yang dihadapi Indonesia pada dekade 1950-an dan awal 1960-an pembaruan pesantren banyak berkenaan dengan pemberian ketrampilan, khususnya dalam bidang pertanian, yang tentu saja diharapkan bisa menjadi bekal bagi para santri, selain untuk menunjang ekonomi pesantren itu sendiri.
Penekanan pada bidang ketrampilan ini dengan mudah bisa dipahami; dalam rnasa-masa sulit seperti itu, pesantren semakin dituntut untuk self supporting dan self financing.
Karena itu, banyak pesantren di pedesaan seperti di Tebuireng dan Rejoso mengarahkan para santrinya untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan vocational di bidang pertanian, seperti penanaman padi, kelapa, tembakau, dan kopi. Hasil penjualan dari usaha pertanian seperti itu selanjutnya digunakan untuk membiayai pesantren.
Pada waktu yang bersamaan, pesantren-pesantren besar, seperti Gontor, Tebuireng, Denanyar, Tambakberas, dan Tegalrejo mulai pula mendirikan dan mengembangkan koperasi.
Melalui koperasi ini, minat kewirausahaan para santri dibangkitkan, untuk kemudian diarahkan menuju pengembangan dan pengelolaan usaha-usaha ekonomi yang sangat diperlukan bila sang santri kembali ke masyarakat.
Begitu juga cara kedua, yang sebenarnva telah mulai dikembangkan beberapa pesantren sejak masa Belanda, seperti dikemukakan di atas. Namun, dalam masa kemerdekaan, cara kedua ini semakin menemukan momentumnya.
Khususnya karena persaingan pesantren dengan sistem kelembagaan madrasah modern yang ditempatkan di bawah tanggung jawab dan pengawasan Departemen Agama – yang sejak 1950-an melancarkan pembaruan madrasah setelah sebelumnya ”menegerikan” banyak madrasah swasta.
Untuk meresponi perkembangan ini, semakin banyak pesantren yang mendirikan madrasah di dalam kormpleks pesantren masing-masing.
Dengan cara ini, pesantren tetap berfungsi sebagai pesantren dalam pengertian aslinya, yakni tempat pendidikan dan pengajaran bagi para santri (umumnya mukim) yang ingin memperoleh pengetahuan Islam secara mendalam dan sekaligus merupakan madrasah bagi anak-anak di lingkungan pesantren.
Boleh jadi, sebagian murid-murid madrasah ini juga menjadi santri mukim di pesantren yang bersangkutan. Namun, setidaknya dengan terdaftar sebagai murid madrasah, mereka kemudian mendapat pengakuan dari Dapartemen Agama.
Dengan memiliki akses lebih besar tidak hanya dalam melanjutkan pendidikan, tetapi juga dalam lapangan kerja. Dalam perkembangan selanjutnya, tidak jarang ditemukan pesantren yang memiliki lebih banvak murid madrasah daripada santri yang betul-betul melakukan tafaqquh fi ‘l-dîn.
Lebih jauh lagi, beberapa pesantren tidak berhenti dengan eksperimen madrasahnya. Beberapa pesantren bahkan mendirikan lembaga-iembaga pendidikan umum yang berada di bawah sistem Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, bukan sistem pendidikan agama yang berada di bawah Departemen Agama.
Dengan kata lain, pesantren bukan hanya mendirikan madrasah, tetapi juga sekolah-sekolah umum, yang mengikuti sistem dan kurikulum Departemen P & K.
Di antara pesantren-pesantren yang dapat dipandang sebagai perintis dalam eksperimen ini adalah Pesantren Darul Ulum, Rejoso, Peterongan, Jombang, yang pada September 1965 mendirikan Universitas Darul Ulum, yang terdatar pada Departemen P & K. Universitas ini terdiri dari 5 fakultas dan hanya 1 fakultas yang merupakan fakultas agama Islam.
Pesantren lain yang juga menempuh cara ini adalah Pesantren Miftahul Mu’allimin di Babakan Ciwaringin, Jawa Barat, yang mendirikan sebuah STM.
Dalam masa-masa lebih belakangan, eksperimen seperti ini dilakukan oleh semakin banyak pesantren, sehingga menimbulkan kekhawatiran banyak kalangan yang ingin mempertahankan identitas pesantren sebagai lembaga pendidikan untuk tafaqquh fiddîn, atau mempersiapkan calon-calon ulama, bukan untuk kepentingan-kepentingan lain, khususnya pengisian lapangan kerja.
Pada saat yang sama terdapat kecenderungan kuat pesantren untuk melakukan konsolidasi organisasi kelembagaan, khususnya pada aspek kepemimpinan dan manajemen.
Secara tradisional, kepemimpinan pesantren dipimpin oleh satu orang atau dua orang kiai, yang biasanya merupakan pendiri pesantren yang bersangkutan. Namun, perkembangan kelembagaan pesantren ini, terutama disebabkan adanya diversifikasi pendidikan yang diselenggarakannya, yang juga mencakup madrasah dan sekolah umum, maka kepemimpinan tunggal kiai tidak memadai lagi.
Banyak pesantren kemudian mengembangkan kelembagaan yayasan, yang pada dasarnya merupakan kepemimpinan kolektif. Salah satu contoh dalam hal transisi kepemimpinan pesantren adalah Pesantren Maskumambang di Gresik, yang sejak didirikan pada tahun 1859 dipimpin oleh keturunan pendirinya, KH Abdul Jabbar.
Pada tahun 1958 kepemimpinan pesantren ini deserahkan kepada Yayasan Kebangkitan Umat Islam. Dengan perubahan pola kepemimpinan dan manajemen ini, maka ketergantungan kepada seorang kiai seperti pada pesantren-pesantren jaman dulu jarang terjadi lagi.
Kenyataan ini merupakan salah satu faktor penting yang membuat pesantren semakin lebih mungkin untuk bertahan dalam menghadapi perubahan dan tantangan zaman.