Pesantren sebagai basis edukasi memang bisa dikatakan hal yang benar. Banyak literasi yang menyebutkan bahwa upaya edukasi ini juga terlahir dari kalangan ulama atau pesantren. Namun, bagaimana posisi pesantren saat ini di tengah adanya potensi “penjajahan”?
Indonesia adalah sebuah negara maritim yang terlanjur kaya raya. Sudah barang tentu beraneka ragam adat dan budayanya. Tidak banyak negara yang memiliki kekayaan seperti Indonesia. Dengan kemaritiman ini pula maka Indonesia sangat banyak potensi yang bisa dieksplorasi, bahkan dieksploitasi.
Selain memiliki sumber daya yang melimpah, Indonesia sangat menjunjung tinggi adat ketimuran, sopan santun menjadi prioritas, ahlak menjadi utama. Dalam perjalanannya, sebelum negara ini terbentuk atau dibentuk, para tokoh terpelajar cendekiawan menjadi tonggak perjuangan. Bukan hanya dari kalangan umara maupun nasionalis saja, akan tetapi dari kalangan ulama.
Tidak mudah mempersatukan kedaulatan sebuah negara dengan keanekaragaman. Belum lagi terdapat force majeure bayang-bayang penjajahan, setidaknya 2,5 abad lamanya, hal ini menjadi satu kerepotan tersendiri. Namun, bisa jadi karena faktor penjajahan ini lah yang menjadikan masyarakat menjadi solid. Hanya saja perlu kesadaran yang mendalam, sadar untuk merdeka. Karenanya, ada gerakan-gerakan nonkooperatif dari berbagai daerah. Tentu, gerakan nonkooperarif berbeda dengan pemberontakan.
Disadari atau tidak, yang terjadi adalah pola-pola yang sama dimana penjajah adalah kaum yang terpelajar dan sebaliknya, yang terjajah adalah kaum yang kurang atau bahkan tidak terpelajar. Lazimnya sebuah gerakan, pembodohan adalah sarat untuk menjajah. Maka, satu kerepotan lagi bagi para cendekiawan bangsa kita untuk mengedukasi. Dalam banyak literasi disebutkan upaya edukasi ini juga terlahir dari kalangan ulama atau pesantren.
Menurut laporan pemerintah Hindia Belanda, pada 1885 M jumlah pesantren di Jawa (kecuali kesultanan Yogyakarta) mencapai 14.929. Namun, kita tidak perlu sibuk memikirkan siapa yang paling berjasa, yang jelas dengan bahasa Indonesia keberagaman dipersatukan dan dicerdaskan. Jikalau pun ini hanya menjadi bahan perdebatan belaka, maka semakin tidak penting. Sebab, usai berdebat biasanya hanya didapati badan yang getas, loyo, dan berujung ketiduran, lupa dengan PR yang perlu dirampungkan. Allahu a’lam.
Maka, pesantren adalah basis penyadaran (edukasi) tentang betapa perlunya merdeka. Sudah barang tentu, lembaga-lembaga kecil memiliki aturan main tersendiri. Aturan main tak teradmistrasi ini dengan bahasa sederhana ada penggerak (pemimpin), ada bagian konsep (manajer), logistik dan pendanaan (bendahara dan perlengkapan), dan penanggung jawab yang lain. Memang tidak sedetail organisasi yang terstruktur hari ini. Dari pesantren atau lembaga yang ala kadar di masanya ini menjadi organisasi perlawanan terhadap penjajahan yang monumental.
Hari ini kita mengenal Nahdatul Ulama, organisasi yang lahir dari embrio Nahdatut-Tujjar. Para ulama, khususnya pendiri NU sadar betul, bahwa untuk terlepas dari penjajahan masyarakat harus mendapat pendidikan terlebih dahulu. Setidaknya sadar kalau sedang di jajah, meminjam istilah tabib, “orang sakit harus menyadari bahwa dirinya sakit”. Selain menggugah dan menyadarkan, juga berupaya menumbuhkembangkan nasionalisme.
Tidak cukup hanya memiliki rasa nasionalisme. Sebab, pertempuran tidak cukup hanya semangat saja atau hanya sekadar riuh ria. Entah sumpah serapah, teriakan “merdeka!” atau pekikan takbir belaka. Ada upaya penerapan strategi, yang tak kalah penting kudu diimbangi ketersediaan logistik yang mumpuni, kemandirian kebutuhan ekonomi.
Hari ini, penjajahan oleh kaum terpelajar atau yang lebih maju sudah tidak sevulgar kala itu, tidak dengan fisik, bisa dengan isu politik, isu kesehatan, isu ekonomi, dan masih banyak lagi isu-isu yang dengan bantuan teknologi lebih mudah untuk mentrigger dan mendistraksi, -like, share and comment, yang tidak kalah mengerikan adalah grup WhatsApp, khususnya grup keluarga-. Maka, yang terjadi adalah perlawanan atau pertempuran tidak dengan genjatan senjata. Karenanya, diversifikasi inovasi pendidikan sangatlah relevan.
Menyoal masalah ekonomi, bisa dengan cara membuat bangsa yang terjajah memiliki rasa ketergantungan dari sektor apapun oleh si penjajah. Misalkan, dari sisi permodalan atau ketersediaan barang dan jasa. Dengan kondisi yang kurang siap, maka mudah saja bagi penjajah untuk melancarkan serangan. Anda butuh, kami jual. Lebih tepatnya, “anda butuh, hanya kami yang jual.”
Sialnya, pasar potensial ada di beberapa lembaga pendidikan, sebagian besar tak lain adalah pesantren. Sebagai penegas, apa yang tidak laku dijual di pesantren? Mulai bangun dari tidur hingga tidur lagi penduduk pesantren tidak lepas dari pundi-pundi cuan. Dari perlengkapan mandi, kebutuhan pokok hingga jajanan nirgizi seperti ciki. Jika saja pesantren tidak segera sadar tentang “kemerdekaan”. Tunggu saja waktunya untuk dilibas, zaman adalah sebuah keniscayaan, namun penjajahan selalu di luar dugaan.
Baca Juga: Seratus Tahun Nahldatul Ulama, lalu Apa?