tebuireng.co – Pesantren dalam pandangan Kiai Said Aqil Siradj yakni sebuah lembaga pendidikan yang memiliki keunikan tersendiri. Sebab, pesantren hadir untuk merespons situasi dan kondisi suatu masyarakat yang dihadapkan pada runtuhnya sendi-sendi moral.
Pesantren merupakan salah satu bentuk institusi pendidikan berbasis agama Islam tertua di Indonesia. Hal itu tentu membuat pesantren memiliki peranan penting dalam perjalanan pendidikan, terutama pendidikan Islam.
Bahkan, bisa dibilang, pesantren adalah sebuah institusi yang pada dasarnya merupakan tempat bagi masyarakat Islam untuk memperdalam ilmu agama. Oleh karena itu, tak menutup kemungkinan bahwa pesantren menjadi salah satu penentu arus kehidupan beragama di Indonesia.
Di samping itu, pesantren juga hadir sebagai bentuk penyebarluasan universalitas Islam ke seluruh pelosok Nusantara. Maka, pesantren kemudian dinilai sebagai pemegang peran sentral dalam perkembangan kehidupan beragama di Indonesia.
Karena peran tersebutlah, moderasi beragama juga dianggap bermula dari pendidikan di pesantren ini. Bahkan, dalam catatan sejarah membuktikan, pesantren di Indonesia memang memainkan peran penting dalam mengarusutamakan moderasi beragama di tengah masyarakat.
Pesantren dalam pandangan Kiai Said Aqil adalah paket lengkap yang mengajar ilmu agama beserta moderasi beragama hingga kaum pesantren tidak bertentangan dengan negara.
Corak moderasi beragama di lingkungan pesantren sendiri terbagi ke dalam beberapa kategori. Di antaranya adalah corak moderasi dalam aspek teologis, syariah, politik kenegaraan, dan relasi terhadap liyan.
Adapun dalam sebuah penelitian Indonesian Journal of Multidiciplinary mengenai moderasi beragama dalam pesantren di Indonesia, menunjukkan bahwa moderasi beragama dalam aspek teologis dimanifestasikan dengan akidah Ahlussunnah Wal-Jamaah.
Di mana pandangan ini berkeyakninan bahwa manusia dapat menentukan hidupnya dalam bentuk ikhtiar, sebelum semuanya berada dalam koridor probabilitas takdir Tuhan.
Sementara itu, moderasi beragama dalam aspek fikih yang diajarkan di pesantren ditengarai dari penyikapan terhadap universalitas hukum Islam dan lokalitas implementasinya. Artinya, menurut pandangan Aswaja ini, fikih moderat dipahami dengan mengintegrasikan khazanah keislaman klasik, sebagai bentuk inspirasi historis, dengan budaya Indonesia pada saat ini.
Dengan begitu, maka syariah dapat terus beradaptasi dengan berbagai perubahan ruang dan waktu. Sehingga, secara dinamis, agama Islam mampu memberikan jawaban terhadap berbagai problematika kehidupan manusia.
Selanjutnya corak moderasi dalam aspek politik kenegaraan. Pandangan ini meyakini bahwa agama Islam memang tidak memiliki sistem kenegaraan. Namun, Islam memiliki seperangkat nilai etik bagi kehidupan bernegara.
Adapun fakta mengenai sistem politik yang dipraktikkan Nabi Muhammad hingga Khalifah Islamiyah, merupakan uapaya penerjemahan etika dalam realitas sejarah kala itu. Tokoh-tokoh yang memiliki pandangan ini adalah Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, dan Mahmud Syaltut.
Dari sejumlah pandangan yang ada di lingkungan pesantren terkait masalah politik dan kenegaraan, maka tampak relasi agama dengan nasionalisme, agama dan Pancasila, dan NKRI.
Pandangan ini pada faktanya sejalan dengan realitas dakwah Rasulullah selalu mengedepankan penghormatan terhadap budaya dan kearifan lokal yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam asasi.
Terakhir, corak moderasi dalam aspek relasi terhadap liyan dalam pandangan ini memahami Islam sebagai agama Rahmatan lil alamin. Artinya dalam hal ini seharusnya mengedepankan keterbukaan, kesediaan untuk mengenal, komunikasi positif.
Selain itu juga kesediaan bermitra membangun common platform dengan semua manusia dalam membangun kedamaian, memartabatkan manusia, dan memakmurkan bumi. Inilah corak moderasi Pesantren di Indonesia.
Oleh: Dinna