Pesan Kiai Hasyim Asy’ari tentang maulid Nabi Muhammad Saw perlu dijadikan standar operasional perayaan maulid agar tidak melenceng. Hal ini disampaikan Mudir Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng KH Achmad Roziqi saat kajian rutinan di Pesantren Tebuireng, Rabu (27/1/2023).
“Harusnya catatan KH M Hasyim Asy’ari di kitab At-Tanbihat jadi standar operasional perayaan maulid nabi. Biar kegiatan mulia tersebut tidak bercampur dengan maksiat kepada Allah,” jelasnya.
Alumnus Al-Azhar Kairo ini menambahkan, kitab At-Tanbihat ditulis pada tahun 1355 H oleh Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari ketika melihat ada sebuah perayaan maulid nabi yang diisikan dengan hal yang munkar.
Selesai menulis, kitab tersebut dikirim ke Universitas Al-Azhar Kairo untuk diteliti dan diuji secara akademik oleh guru besarnya. Salah satunya yaitu Syaikh Yusuf. Catatan dari ulama Al-Azhar tersebut diletakkan di awal kitab.
Pesan Kiai Hasyim tentang maulid terdapat bagian awal kitab At-Tanbihat:
“Pada Senin malam tanggal 25 Robi’ul Awwal 1355 Hijriyah, sungguh aku telah melihat sebagian dari kalangan para penuntut ilmu di sebagian pondok telah melakukan perkumpulan dengan nama perayaan maulid. Mereka telah menghadirkan alat-alat musik lalu mereka membaca sedikit dari Al-Qur’an dan riwayat-riwayat yang datang tentang awal sirah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tentang tanda-tanda kebesaran Allah yang terjadi ketika maulid (kelahiran) nabi, demikian juga sejarah beliau yang penuh keberkahan setelah itu. Setelah itu merekapun mulai melakukan kemungkaran-kemungkaran seperti saling berkelahi dan saling mendorong yang mereka namakan dengan pencak silat atau box, dan memukul-mukul rebana. Semua itu mereka lakukan di hadapan para wanita ajnabiah (bukan mahram mereka-pen) yang dekat posisinya dengan mereka sambil menonton mereka. Dan juga musik dan sandiwara cara kuno, dan juga permainan yang mirip dengan judi, serta bercampurnya (ikhtilatnya) para lelaki dan wanita. Juga nari-nari dan tenggelam dalam permainan dan tertawa, suara yang keras dan teriakan-teriakan di dalam mesjid dan sekitarnya. Maka akupun melarang mereka dan mengingkari perbuatan kemungkaran-kemungkaran tersebut, lalu mereka pun buyar dan pergi.
Setelah itu Kiai Muhammad Hasyim berkata:
“Dan tatkala perkaranya sebagaimana yang aku sifatkan dan aku takut perbuatan yang menghinakan ini akan tersebar di banyak tempat, sehingga menjerumuskan orang-orang awam kepada kemaksiatan yang bermacam-macam, dan bisa jadi mengantarkan mereka kepada keluar dari agama Islam, maka aku menulis peringatan-peringatan ini sebagai bentuk nasehat untuk agama dan memberi pengarahan kepada kaum mulsimin. Aku berharap agar Allah menjadikan amalanku ini murni ikhlas untuk wajah-Nya yang mulia, sesungguhnya Ia adalah pemilik karunia yang besar.” (At-Tanbiihaat Al-Waajibaat hal 10)
“Kitab Kiai Hasyim ini secara kelas diakui ulama besar Al-Azhar. Saat disayangkan kalau tidak dibaca secara utuh. Saya membaca secara utuh hingga Khatam,” kata anggota Dewan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur ini.
KH Achmad Roziqi juga berpesan bahwa seorang khatib, dai, dan daiyah harus memiliki sikap jujur. Menyampaikan sesuai dengan keadaan dan tidak memanipulasi sesuatu untuk kepentingan pribadi. Seorang ustaz atau khatib harus jadi contoh dalam memegang amanah.
KH Roziqi menyampaikan ini karena ada seorang khatib bernama Ustaz Yazir Hasan asal Pamekasan saat khutbah menyampaikan bahwa KH Hasyim Asy’ari mengingkari perayaan maulid nabi.
Padahal, yang diingkari KH Hasyim Asy’ari yaitu perayaan maulid nabi yang disertai perbuatan-perbuatan maksiat.
Namun, ia memberikan catatan, perbuatan yang menyertai pendapat ulama dalam pidato adalah hal baik dan penuh berkah. Namun, jadi tidak baik ketika pembicaranya tidak jujur atau gagal paham.
“Orang yang sudah mengeluarkan statement keliru (mengatakan Kiai Hasyim mengingkari maulid) maka akan sulit menarik kembali. Apalagi di era media sosial. Maka menjaga lisan penting sekali. Semangat menjadi ustaz harus diiringi dengan baca dan belajar,” tandas KH Roziqi