tebuireng.co- Dalam pidato ilmiahnya, Ketua Umum Perkumpulan Manajer Pendidikan Islam (Perma pendis) Indonesia yang baru saja dikukuhkan, Dr. H. Badrudin, M.Ag, menegaskan selama ini pendidikan Islam diperlakukan diskriminatif dan dianaktirikan dalam konteks kebijakan pendidikan nasional. Sehingga tertinggal dari jenis pendidikan umum di Indonesia.
Badrudin sampaikan hal itu pada Kongres Pertama Permapendis di Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Sabtu (9/2/2019). Kongres yang berlangsung sejak Jumat hingga Ahad (8-10/2/2019) tersebut membahas anggaran dasar dan anggaran rumah tangga organisasi, program kerja, dan rekomendasi.
“Sangat tidak adil kalau ada yang mengatakan pendidikan Islam menjadi penyebab ketidakmajuan pendidikan nasional. Karena selama ini pendidikan Islam diperlakukan diskriminatif dan dianaktirikan dalam konteks kebijakan,” kata dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN SGD Bandung tu.
Menurutnya, ketidakadilan ini nyata menimpa pada pesantren-pesantren dan madrasah diniyah (sebagai lembaga pendidikan nonformal) di Indonesia. Meski sudah diakui dalam undang-undang nomor 20 Tahun 2003 pasal 30 dan PP 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan, namun praktiknya pesantren belum mendapat perhatian pemerintah secara memadai. Ini ditandai tidak adanya kepastian anggaran dari pemerintah untuk pesantren dan madrasah diniyah atau diniyah takmiliyah.
Di Indonesia, jumlah lembaga pendidikan keagamaan Islam seperti pesantren, madrasah, majelis taklim, madrasah diniyah atau diniyah takmiliyah, madrasah, surau sangat banyak. “Beradasarkan data statistik pendis.kemenag.go.id, pesantren di Indonesia berjumlah 27.218 ribu,” ungkapnya.
Badrudin merinci, jumlah pesantren salafiyah ada 13.446 lembaga (49.4%), pesantren khalafiyah 3.064 (11.3%) dan pesantren kombinasi 10.708 lembaga (13.3 %). Jumlah pendidikan diniyah di Indonesia ada 73.081 lembaga dengan rincian 60.834 diniyah ula, 9.759 diniyah wustha, dan 2.488 diniyah ulya.
Efek kurang perhatian dari pemerintah ini dan jumlah lembaga yang banyak tersebut membuat kualitas yang tidak baik. Hanya sebagian kecil lembaga pendidikan Islam yang bermutu. Demikian juga lembaga pendidikan formal seperti Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah yang umumnya belum bermutu.
Kesimpulan ini ditandai dengan output lembaga tersebut yang dapat melanjutkan ke lembaga pendidikan favorit pada jenjang di atasnya sangat terbatas. Walaupun terdapat juga madrasah unggulan tapi jumlahnya lebih sedikit dibandingkan jumlah madrasah secara keseluruhan.
Dr. H. Badrudin, M.Ag, (paling kiri) berfose bersama Solahudin Wahid alias Gus Solah (tengah) Rektor Universitas Hasym Asyari dan Pimpinan Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang. Foto: Ist
Terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan Islam, antara lain faktor politik yakni kebijakan pendidikan, ekonomi, sosial dan budaya. “Para ahli pendidikan Islam Indonesia mengakui pesantren merupakan lembaga yang indigeneous asli Indonesia tapi kurang dianggap penting,” beber Badrudin.
Sejak Indonesia merdeka pesantren pertama kali belum diakomodir dalam undang-undang pendidikan dan pengajaran yang pertama (undang-undang nomor 4 tahun 1950 Jo Nomor 12 tahun 1954). Pada Undang-undang Sisdiknas ke-2, masa UU Nomor 2 tahun 1989 (Sistem Pendidikan Nasional), pendidikan Islam baru menjadi subsistem dari pendidikan nasional.
Dan barulah pada masa undang-undang Sisdiknas ke-3 undang-undang nomor 20 tahun 2003 pendidikan Islam mendapat payung yang jelas baik pada jenjang formal ataupun nonformal. Namun masih setengah hati. Untuk madrasah jalur formal, pada tingkat propinsi dan kabupaten atau kota, madrasah yang formal dianggap termasuk bidang garapan agama.
Sehingga untuk mencukupkan pembiayaannya diambil dari anggaran agama yang berada di bawah Kementerian Agama. Dan tidak mendapat dana pendidikan yang wajar dari pemerintah provinsi atau kabupaten, kota. Karena dianggap harus didanai dari anggaran agama.
“Pasca tiga kebijakan berupa undang-undang pendidikan tersebut, pendidikan Islam belum dijadikan prioritas dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia,” tandasnya. Kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan lebih berpihak pada kepentingan pemerintah sehingga menyulitkan pelaksanaannya oleh masyarakat di tingkat lokal.
Lanjut Badrudin, rendahnya mutu pendidikan Islam harus dicarikan solusinya. Argumentasi rasional yang dapat disampaikan yaitu agar lembaga-lembaga pendidikan Islam bermutu, harus dikelola secara bermutu. Untuk itu diperlukan manajer (pengelola) lembaga pendidikan Islam yang mampu mengelola lembaga-lembaga pendidikan Islam secara bermutu.
Penyiapan calon manajer pendidikan Islam disiapkan dengan pembukaan Manajemen Pendidikan Islam (MPI). Sampai 2018, data pada Kementerian Agama terdapat 224 Prodi MPI yang sudah mendapat izin penyelenggaraan.
Perlu kerja sama antara asosiasi profesi manegemen pendidikan Islam dengan pemerintah, masyarakat, dan seluruh stakeholder untuk memajukan pendidikan Islam Indonesia. “Tanpa kesadaran ini, maka mustahil Islam maju. Kita berharap setelah kongres ini ada hasil yang baik,” tandasnya.(rls/IS)