tebuireng.co – Perempuan adalah kunci, dalam kehidupan sehari-hari jadi perdebatan di banyak kalangan. Namun, Nabi Muhammad punya cara terhormat memperlakukan perempuan.
Apakah Islam adalah agama yang mendiskreditkan perempuan? Di dataran Jazirah Arab sebelum kedatangan Islam, perempuan dianggap sebagai aib dalam tatanan kehidupan bermasyarakat.
Sehingga ketika lahir bayi perempuan maka ada dua pilihan: Ditimbun dalam tanah (ini berarti dibunuh) atau dibiarkan hidup dan dijadikan tawanan rumah dengan dipaksa melakukan pekerjaan berat dan dianggap tiada, juga tidak dihitung sebagai anggota keluarga.
Islam yang dibawa Nabi Muhammad kemudian menyentuh dataran Arab ini dan merevisi status perempuan yang dianggap aib menjadi makhluk yang sama di hadapan Tuhan. Dibiarkan hidup dan dibolehkan melakukan banyak peranan dalam kehidupan sosial, peran yang tidak pernah didapat sebelumnya.
Suatu ketika, Asma binti Zaid (duta sahabat perempuan) mendatangi Nabi Muhammad yang sedang bersama sahabat laki-laki. Asma mengatakan, “Kenapa kami perempuan tidak diberikan ruang gerak sebagaimana kaum lelaki dan dibatasi hanya mengurus anak dan kepentingan da-
lam rumah.
Sementara para lelaki diberi tugas yang mereka bisa bebas di luar rumah?” Asma melanjutkan, “Dan Anda adalah Nabi yang diutus untuk laki-laki dan perempuan, maka kami beriman kepada Anda.
Oleh karena itu, kami minta agar kami juga memperoleh pahala yang sama sebagaimana yang diperoleh laki-laki.” Nabi memuji protes Asma dan memuji kesadarannya dalam beragama untuk memperoleh pahala yang sama seperti laki-laki.
Nabi kemudian mengomentari, “Sesungguhnya apa yang kalian lakukan selama ini ketika kalian menjaga rumah, mendidik anak-anak, dan aktivitas-aktivitas yang kalian kerjakan itu pahalanya sama dengan apa yang dilakukan oleh para laki-laki.”
Begitu cara Nabi memuji perempuan, peran yang disebutkan Nabi Muhammad dilengkapi dengan informasi bahwa perempuan dinilai sama oleh Allah.
Kesadaran Asma binti Zaid yang mewakili para sahabat perempuan masa itu tidak didukani (dimarahi) oleh Nabi, justru sebaliknya, dipuji. Ini legitimasi Islam bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk yang rendah.
Apakah tak ada perempuan yang memiliki peran penting di zaman Nabi? Ada dan banyak. Khadijah binti Khuwailid, saudagar kaya raya yang menjadi back up Nabi dalam berdakwah.
Aisyah binti Abu Bakar, selepas Rasul wafat, berperan besar dalam mendakwahkan agama dan menjadi Top Four perawi Hadis dengan kurang lebih 2.210 Hadis yang diriwayatkan putri Abu Bakar ini. Aisyah adalah perempuan kunci dalam hadis.
Sebagai perempuan, Aisyah menjadi kunci utama hadis-hadis yang berkaitan dengan internal Nabi Muhammad Saw.
Kemudian Asma binti Abu Bakar yang menjadi kurir untuk mengantar makan dan minum Nabi saat bersembunyi di Gua Tsur selama tiga hari. Asma menempuh jarak tujuh kilometer dan dalam kondisi hamil tua.
Lokasi Gua Tsur berada di puncak gunung Tsur (memiliki ketinggian 458 meter). Ditambah kawasan sekitarnya yang panas dan gersang. Tanpa peran Asma, bisa jadi proses hijrah tak berjalan dengan baik.
Meminjam cerita Gus Baha’: ”Dalam kehidupan Nabi Muhammad, yang paling berjasa pada beliau adalah nasab dari Ibu. Dan justru nasab dari bapak Nabi banyak yang mengingkari kenabian. Seperti Abu Lahab dan Abu Jahal.
Setelah Nabi hijrah, beliau dirawat oleh keluarga dari ibu (Bani Najjar). Dan terakhir, nasab para habaib mau tidak mau harus lewat seorang perempuan, yaitu Fatimah Az Zahrah. Oleh sebab itu, Mbah Maimun Zubair pernah dawuh, ‘Jangan berani menyepelekan nasab dari Ibu.’”
Memang ada jabatan-jabatan penting yang tidak diberikan oleh Allah kepada kaum wanita seperti jabatan kenabian dan kerasulan. Akan tetapi, bukankah yang melahirkan para Nabi dan Rasul itu adalah kaum wanita?
Bisa dikatakan dalam banyak peristiwa, perempuan adalah kunci penting dalam peristiwa itu sendiri.
KH Abdul Hakim Mahfudz (Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng)