tebuireng.co – Perbedaan hukum agama dan hukum negara adalah tulisan Pengasuh Pesantren Tebuireng (2006-2020) KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah) yang dimuat oleh Pelita Hati
Heboh terjadi saat masyarakat luas mengetahui Syaikh Puji, 43 tahun, menikahi seorang gadis 12 tahun. Pernikahan itu adalah pernikahan kedua Syaikh Puji. Ulfa adalah hasil pilihan dari tim yang dibentuk oleh Syaikh Puji. Tidak dijelaskan mengapa mereka memilih gadis di bawah umur.
Langsung saja kecaman datang ke arah Puji. Ada yang mengatakan bahwa Puji harus dituntut ke pengadilan karena melanggar UU Perkawinan, UU Perlindungan Anak
Puji kontan menjawab dengan percaya diri bahwa pernikahannya itu sah menurut hukum agama Islam dengan alasan bahwa Rasulullah menikahi Siti Aisyah yang masih berumur 9 tahun. Dia tidak tahu bahwa Aisyah masih tinggal lama bersama orang tuanya sebelum pindah ke rumah Rasulullah SAW.
Puji tidak paham bahwa dalam Undang-Undang (UU) Perkawinan ditentukan bahwa perempuan boleh menikah setelah usia 16 tahun. Dia juga tidak tahu bahwa perkawinannya itu melanggar Undang-undang (UU) Perlindungan Anak.
Tampaknya banyak warga negara tidak memahami bahwa yang berlaku di wilayah RI ialah hukum Negara RI yang diatur di dalam Undang-Undang (UU), bukan hukum Islam.
Banyak lelaki warga Negara RI yang paham bahwa untuk menikah yang tidak kedua atau ketiga kalinya, dia harus mempunyai alasan yang kuat, yaitu memenuhi satu dari tiga syarat yaitu istri tidak menghasilkan keturunan, sakit permanen, atau tidak bisa melayani suami dalam hubungan seks.
Setelah memenuhi syarat itu barulah dia harus meminta izin dari istri pertama. Kita lihat bahwa banyak sekali suami yang nikah lagi tanpa alasan yang kuat dan tidak mendapat izin istri.
Biasanya pernikahan semacam itu tidak terdaftar di Kantor Urusan Agama (KUA), karena itu akan merugikan pihak istri. Bahkan anggota DPR yang menguasai isi UU Perkawinan juga melanggarnya.
Mengapa? Karena larangan itu tidak disertai sanksi berupa hukuman dalam bentuk apapun. Apakah pernikahan Puji dan Ulfa dapat dibatalkan?
Secara hukum negara, pernikahan itu tidak pernah ada sehingga tidak perlu dibatalkan. Syukur belum menghasilkan anak, sehingga tidak menimbulkan masalah hukum dan sosial.
Apakah Puji akan diadili?
Karena ini bukan delik aduan, maka seyogyanya dia diadili, apalagi melanggar lebih dari satu UU. Majelis Ulama Indonesia (MUI) memfatwakan bahwa Ahmadiyah sudah keluar dari ajaran Islam.
Namun, MUI tidak (mau) memahami bahwa hak hidup Ahmadiyah bukanlah wilayah hukum agama, melainkan wilayah hukum negara.
Sejumlah ulama berkampanye bahwa perempuan tidak boleh menjadi gubernur atau Presiden, tetapi ulama lain membolehkan. Yang jelas UUD dan UU tidak melarangnya.
Perlu dipahami bahwa mereka yang mengharamkannya tidak melanggar hukum negara sehingga tidak bisa dituntut. Perlu dilakukan sosialisasi tentang perbedaan hukum agama dan hukum negara dengan beberapa contoh di atas dan sejumlah contoh lain seperti kawin beda agama.
Ada yang dibolehkan oleh hukum agama tetapi dilarang oleh hukum negara. Ada yang dilarang oleh hukum agama tetapi dibolehkan oleh hukum negara. Ada yang dilarang oleh hukum agama dan hukum negara.