tebuireng.co – Kisah tentang Perang Fijar di kota Mekah dan Hilful-Fudhul yang terjadi saat Nabi Muhammad SAW menginjak dewasa pada saat umur 20 tahun. Perang ini terjadi di antara Kabilah Quraisy yang bersekutu dengan Bani Kinanah dengan Kabilah Qois yang bersekutu dengan A’ylan.
Pada saat itu bangsa arab jahiliyah masih kuat memegang tradisi mengagungkan dan menjaga kesucian tanah dan bulan haram; Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharam dan Rajab. Di bulan-bulan tersebut orang-orang melakukan pembunuhan, peperangan atau perbuatan keji lainya sebagai bentuk atau simbol penghormatan mereka terhadap bulan haram. Oleh karena perang ini terjadi di bulan haram maka disebut Perang Fijar karena telah menodai kemulian dan kesucian bulan-bulan haram (Asy-Syahrul Haram).
Sebab Terjadinya Perang
Pemicu perang ini (Perang Fijar) bermula ketika itu Gubernur Ghiroh yang berada di bawah Kekaisaran Persia yang bernama Nu’man bin Mundzir ingin melakukan ekspedisi dagang yang akan dikirim ke Pasar Ukaz (pasar tahunan di bangsa arab saat itu) disekitaraan Thaif. Sudah menjadi lazimnya pada saat itu ketika akan mengirim satu ekspedisi dagang akan meminta seorang yang akan menjamin rombongan tersebut, biasanya akan di ambil seorang dari kabilah-kabilah yang dekat dengan tujuan ekspedisi, yang mana bertugas mengamankan rombongan sampai tiba dan selesai berdagang di Pasar Ukaz.
Ketika itu Al Barrad bin qois dari kabilah kinanah menawarkan diri untuk menjadi penjamin. Tetapi ia hanya mampu menjamin keamanan rombongan dagang milik Nu’man Bin Mundzir hanya sampai melewati daerah kabilahnya saja. Sementara itu, ada seseorang yang bernama Urwah bin Utbah dari Kabilah Qois yang menyanggupi permintaan dari Nu’man bin Mundzir untuk menjamin rombongan dagang hingga sampai di Pasar Ukaz. Akhirnya Urwah lah yang memimpin rombongan dagang tersebut.
Rupanya Al Barrad bin Qois merasa jengkel ketika Urwah lah yang menjadi penjamin rombongan dagang tersebut, diam-diam ia merencanakan makar terhadap Urwah. Tatkala ia keluar di tengah perjalanan, Al Barrad membunuhnya. Padahal saat itu adalah bulan haram, bulan suci yang mana tidak boleh ada pertumpahan darah di bulan tersebut. Tak lama kabar terbunuhnya Urwah sampai di tengah kaumnya yaitu Kabilah Qois. Di masyarakat arab kala itu, sudah terbiasa antar suku maupun kabilah mengikat perjanjian antar suku untuk saling menolong dan ikut serta berperang bersama sekutu yang membutuhkan, pada saat itu suku Quraisy bersekutu dengan Bani Kinanah maka dari itu Suku Quraisy juga menjadi pihak yang bertanggung jawab atas terbunuhnya Urwah.
Peran Nabi Muhammad SAW saat Perang Fijar
Akhirnya dua suku ini bertemu di daerah bernama nahlah, perang pun akhirnya berkecamuk di antara kedua belah pihak. Tidak ada kabar yang shohih mengenai keikutsertaan Nabi di perang ini, kecuali apa yang di sebutkan Ibnu Hisyam dalam sirrahnya bahwa Rasullulah SAW bersabda “ketika itu (perang fijar) aku memanah melindungi paman-pamanku.
Setelah beberapa tahun sejak kenabian, Nabi Muhammad SAW tetang Perang Fijar dan berkata “aku mengikutinya bersama paman-paman ku, juga ikut melemparkan anak panah dalam perang itu…”
Perang ini selesai ketika diadakan perundingan di Pasar Ukaz setahun kemudian, dengan membayar ganti rugi di kedua belah pihak.
Hilful-Fudhul
Pengaruh dari peperangan ini, diadakan Hilful-Fudhul pada bulan Dzulqa’dah, pada bulan suci yang melibatkan beberapa kabilah Quraisy, yaitu Bani Hasyim, Bani Al-Muthalib, As’ad bin Abdul Uzza, Zuhroh bin Kilab, dan Taimi bin Murrah. Mereka semua berkumpul di rumah Abdullah bin Ju’dan At-Taimi karena umur dan kedudukannya yang terhormat. Mereka mengkukuhkan perjanjian dan kesepakatan, bahwa tak seorang pun dari penduduk Makkah dan juga yang lainya yang dibiarkan teraniaya. Siapa yang teraniaya, maka mereka sepakat untuk berdiri dipihaknya. Sedangakan terhadap siapa yang berbuat zhalim, maka kezhalimanya harus dibalaskan, kala itu perjanjian ini juga dihadiri oleh Rasullulah SAW.
Setelah diangkat menjadi Nabi, beliau bersabda “aku pernah mengikuti perjanjian yang dikukuhkan dirumah Abdullah bin Ju’dan, suatu perjanjian yang lebih disukai dari pada keledai yang terbagus. Andaikata aku diundang untuk perjanjian itu dimasa Islam, tentu aku akan memenuhinya.”
Poin dari perjanjian Hilful-Fudhul ini adalah mengenyahkan keberanian model jahiliyah yang biasanya dibangkitkan atas dasar fanatisme antar bani yang berhubungan darah menjadi persatuan dan kesatuan yang solid tidak memandang hanya dari iktan hubungan darah semata.