Kota Kelahiran & Pengembaraan Mencari Ilmu
Abu Nawas alias al-Hasan bin Hani’, lahir di Bastan, salah satu wilayah di Khuziztan, Persia, pada tahun 141 H. Di sebagian referensi menyebutkan bahwa ia lahir pada tahun 145 H. Ia termasuk di antara jajaran penyair besar pada masa Dinasti Abbasiyah, tepatnya di kepemimpinan khalifah Harun al-Rasyid. Sang bibit pujangga ini kemudian berpindah ke Basrah dan tumbuh berkembang di sana. Di kota ini Abu Nawas diperkenalkan dengan bahasa dan kesusasteraan.
Abu Nawas sering menghadiri pertemuan-pertemuan yang membicarakan masalah bahasa dan sastra. Ia bertemu dengan seorang penyair amoral dari Kufah, Walibah bin Habab al-Asadi dan banyak belajar darinya. Perlahan ia memperhalus gaya bahasanya dan membawanya ke puncak kesustraan Arab. Kemudian berpindah ke Kufah untuk mendalami ilmu kesusasteraannya kepada Walibah. Di Kufah, bakat Abu Nawas digembleng oleh Walibah. Ia diperintahkan untuk hidup bersama orang-orang Arab Badui serta memperdalam dan memperhalus bahasanya.
Tidak berselang lama, kemudian Ia pergi ke Baghdad untuk menemui penguasa pemerintahan waktu itu yaitu khalifah Harun al-Rasyid (memerintah tahun 786 – 809 M/ 170-193 H). Disinilah ia kemudian menemukan dunianya yakni dunia kesusasteraan, atau lebih tepatnya dunia kepenyairan.
Ketenaran sebagai Seorang Penyair Ketokohan figur Abu Nawas ternyata tidak hanya diakui umat Islam, orang-orang Barat pun juga mengakuinya. Mereka memandang karya-karya Abu Nawas adalah sebuah kekayaan peradaban dunia dari abad pertengahan yang begitu berharga. Salah satu karyanya adalah Alfu Lailah wa Lailah yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Thousand and One Night. Karya lain yang tidak kalah populer adalah syair/puisi dengan judul al-I’tiraf (pengakuan). Berikut adalah syair yang dimaksud:
Pengakuan
Wahai Tuhanku! Aku bukanlah ahli surga
Aku pun tak kuasa berada di dalam neraka jahim
Maka limpahkanlah taubat (ampunan) kepadaku
Sungguh, Engkaulah Dzat yang mampu mengampuni dosa, betapapun besarnya dosa itu
Dosa-dosaku teramat banyak bagaikan butir-butir pasir
Maka berilah aku taubat wahai Dzat yang memiliki keagungan
Semakin hari umurku terus berkurang
Sementara dosa-dosaku semakin hari semakin bertambah
Wahai Tuhanku! Hamba-Mu sang pelaku dosa telah datang kepadaMu
Mengakui segala dosa dan memohon ampunan kepada-Mu
Jika Engkau mengampuni, maka Engkau yang berhak mengampuni
Jika Engkau menolak, kepada siapa lagi aku berharap selain kepada Engkau?
Syair tersebut sudah sangat masyhur di berbagai kalangan. Mulai kaum muda, orang tua, ilmuan, tokoh agama, hingga masyarakat bawah, semuanya mengenal dan membaca syair ini. Abu Nawas juga terkenal sebagai seorang penyair yang sangat mengagungkan khamr (minuman keras). Salah satu syair karyanya tentang khamr yang dikarang menjelang wafat adalah khamriyyat.
Ya Tuhan, jika dosa dalam diriku terlampau banyak
Aku tahu, bahwa ampunan-Mu pasti lebih banyak
Jika tak ada orang yang berharap pada-Mu kecuali orang-orang baik
Lantas kepada siapa si pendosa akan memohon perlindungan?
Aku telah memohon kepadaMu dengan penuh hormat sebagaimana Engkau perintahkan
Jika Engkau menolak gapaian tanganku ini, siapa lagi yang dapat mengasihaniku?
Tak ada bagiku tali penyambung antara aku dan Engkau kecuali harapan
Dan demi keagungan ampunan-Mu aku pun berserah diri kepada-Mu
Meskipun kedua syair di atas penyampaiannya dengan bahasa yang berbeda, keduanya mengandung maksud yang sama, yakni permohonan ampunan kepada Tuhan atas dosa yang telah dilakukan si Penyair. Di sisi lain, penyair juga sedang menggambarkan bahwa ia mengakui dosa-dosa yang pernah ia perbuat.
Tokoh Sufi Jenaka
Sebagai rakyat yang hidup di bawah kekuasaan khalifah, Abu Nawas sering menyelipkan kritiknya lewat humor-humor jenaka. Uniknya, setiap humornya selalu mengena dan membuat khalifah tidak bisa marah dan berbuat apa-apa.
Dalam sebuah kisah diceritakan, suasana keramaian di pasar Baghdad dihebohkan dengan celotehan Abu Nawas. Ia menyeru kepada orang-orang seraya berkata “Aku lebih kaya dari Allah, dan aku adalah orang yang paling benci dengan barang haq (kebenaran) dan paling suka dengan barang batil.” Tak ayal, pernyataan Abu Nawas membuat geger seisi pasar, yang memang penduduk muslim taat. Ia memberi tantangan kepada semua orang yang mendengar ungkapannya yang kontroversi itu. Barangsiapa yang bisa menafsirkan penyataan itu, Abu Nawas akan memberinya hadiah. Tapi jika orang itu gagal, Abu Nawas berhak menerima hadiah. Khalifah Harun al-Rasyid tertarik untuk menerima tantangan itu, akan tetapi Ia tidak berhasil.
Kemudian Abu Nawas menjelaskan, “Aku lebih kaya dari Allah, karena aku mempunyai anak, sedangkan Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Aku paling benci dengan barang haq (kebenaran), kematian adalah kebenaran, begitu juga neraka. Bukankah kita tidak menyukai keduanya? Terakhir, aku paling suka dengan fitnah, harta benda dan anak-anak kita adalah fitnah. Bukankah kita sangat menyukai mereka?”
Mendengar penjelasan Abu Nawas, suasana yang mulanya tegang menjadi cair dan penuh gelak tawa. Semua orang terhibur dan takjub mendengar penjelasan Abu Nawas. Karena khalifah gagal menafsirkan perkataan Abu Nawas, Ia terpaksa memberinya hadiah. Wallahu a’lam bissowab. (HAL 56)
Oleh: Abdillah Afabih