Atmosfer pemilu yang ramai dan riuh ditandai dengan pergantian tampuk kepemimpinan jangan ditanggapi dengan kekhawatiran yang berlebihan. Terkadang ketakutan di dalam pikiran lebih menyeramkan daripada kenyataannya. Tenanglah sejenak!
Di tempat saya bekerja, beberapa posisi strategis mengalami pergantian pemimpin. Termasuk saya yang selama beberapa tahun dipercaya menjadi salah satu di antara pemimpin itu. Dan tahun 2024 ini digantikan oleh junior saya yang lebih muda.
Kekhawatiran tentu muncul di benak saya, apa iya program-program yang selama ini saya perjuangkan bersama tim akan dilanjutkan oleh pemimpin selanjutnya? Apakah tim yang saya bentuk selama 9 tahun itu akan diperhatikan oleh pemimpin yang baru?
Dan yang paling saya khawatirkan adalah, apakah lembaga ini mampu terus berjalan bila saya berhenti? Atau malah justru bubar?
Ketakutan-ketakutan itu saya tepis dengan segala renungan-renungan tengah malam yang ditemani secangkir kopi dan rokok. Jangan-jangan ketakutan itu adalah wujud lain kesombongan diri saya. Seolah-olah saya menganggap tidak ada yang mampu menjadi pemimpin yang lebih baik dari saya. Sombong sekali diri ini.
Ketakutan adalah Sisi Manusiawi Kita
Selama menjadi manusia di bumi ini, sudah puluhan atau mungkin ratusan kali terjadi pergantian pemimpin. Baik di lingkup sosial, organisasi, dan tempat kerja. Ketika pemimpin sebelumnya kita anggap buruk lalu digantikan pemimpin baru yang lebih baik tentu menjadi harapan indah.
Ketakutan yang selama ini menyergap diri karena memiliki pemimpin buruk akan segera sirna. Dan tentu saja kita akan menyambutnya dengan gegap gempita dan suka cita. Bahwa kehidupan ke depan akan lebih terjamin dan sejahtera. Setidaknya psikis merasakan aura positif.
Lalu bagaimana jika sebaliknya? Apabila pemimpin lama yang kita anggap baik lalu digantikan pemimpin baru yang kita anggap tidak sebaik pemimpin selanjutnya? Ya tentu saja kekhawatiran dan ketakutan menyelimuti jiwa dan raga. Seolah masa depan terasa gelap. Dari yang terang menjadi gelap. Menakutkan? Bisa jadi iya, bisa jadi tidak.
Saya ingat betul beberapa konstelasi dalam keluarga yang membuat saya amat ketakutan. Ketika itu saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Dalam kegiatan sehari-hari mulai dari mencuci baju, bersih-bersih rumah, masak, pemberi keharmonisan, dan lain sebagainya ditangani oleh ibu. Ibu adalah elemen utama dalam rumah.
Suatu ketika karena hal yang tidak saya mengerti ibu pergi dari rumah. Meninggalkan saya, dua saudara, dan ayah. Rumah yang semula berasa seperti bercahaya mendadak gelap gulita. Semboyan rumahku adalah surgaku seketika menjadi neraka bagi penghuninya.
Semua urusan rumah tangga mendadak berantakan. Rumah tidak pernah bersih, perabot dapur kotor menumpuk di tempat cucian, seragam sekolah tidak tercuci, tidak ada lagi sarapan, makan siang, apalagi makan malam. Tidak ada lagi teriakan ibu yang membangunkan saat saya kesiangan bangun untuk berangkat sekolah.
Bahkan saya sempat mogok sekolah selama beberapa bulan karena merasa putus asa. Meski masih ada ayah, tetap saja perannya tak bisa menggantikan ibu. Pengalaman menakutkan semasa kecil itu terasa amat menjengkelkan.
Bagaimanapun ayah dan ibu adalah pemimpin rumah tangga. Mereka seharusnya seirama membuat seisi rumah menjadi bahagia dan sejahtera. Seharusnya begitu, tapi terkadang ada hal-hal yang terjadi di luar kemampuan kita. Dan ya, hal buruk sering kali terjadi. Tidak hanya dalam keluarga sebagai lingkup pembelajaran kepimpinan paling dasar. Bahkan di tempat kerja, organisasi, bahkan negara.
Tenangkan Diri!
Dalam berbagai upaya penyelamatan kondisi darurat, solusi pertama yang harus dimiliki sang penyelamat adalah tenangkan diri. Baru kemudian langkah-langkah teknis penyelamatan. Sebab, dengan kondisi tenang kita bisa menyusun dan melaksanakan langkah selanjutnya dengan baik dan benar.
Bayangkan saja, jika terjadi kebakaran di dalam rumah lalu petugas Damkar tidak memiliki sikap tenang, mereka akan bertindak gegabah dan justru bisa berakibat fatal. Bisa saja karena kondisi darurat, mereka langsung menerabas masuk ke rumah yang terbakar padahal api sedang besar-besarnya. Berdalih semakin cepat semakin baik, eh justru membuat petugas Damkar ikut terbakar.
Pemadam kebakaran memiliki SOP khusus dalam setiap penyelamatan. Tidak boleh serampangan dan semua dikerjakan dengan strategi yang dipahami bersama. Agar aksi penyelamatan tidak berubah menjadi petaka baru yang semakin menakutkan.
Ketenangan memberikan kesempatan pada otak untuk berpikir logis dan strategis. Bahwa ketakutan tidak boleh mengendalikan diri seseorang. Ini soal mentalitas. Kita perlu tenang untuk menghadapi ketakutan agar ketakutan tidak berubah menjadi semakin besar.
Ketenangan harus menjadi sahabat akrab saya untuk tetap menjamin ketepatan dalam melakukan langkah selanjutnya. Ini kemudian saya terapkan dalam menghadapi banyak situasi genting. Termasuk saat kegentingan melanda keluarga saya. Dan juga saat pergantian tampuk kepimpinan baru di tempat kerja saya.
Pesta Demokrasi Indonesia
Pemilu telah usai, pergantian pemimpin adalah sebuah keniscayaan. Sunnatullah. Tidak ada pemimpin yang abadi kecuali Tuhan itu sendiri. Ketakutan dan kekhawatiran yang berlebihan perlu kita reduksi untuk membuat Indonesia kembali harmoni. Bagaimanapun kita adalah keluarga yang hidup di dalam rumah bersama yang bernama Indonesia.
Tidak ada pemimpin yang 100% buruk atau 100% baik. Siapapun pemimpinnya pasti memiliki cacat atau keburukan dalam histori hidupnya. Dan kita perlu menghadapi itu semua dengan mental tenang. Tanpa ketenangan, langkah selanjutnya akan kacau.
Mari bersama-sama menenangkan diri. Memikirkan langkah yang tepat untuk Indonesia dengan kepala dingin dan meredupkan segala amarah-amarah yang berkobar liar semasa pemilu.
Tenaga kita amat berharga, daripada fokus pada api yang membakar rumah kita “Indonesia” lebih baik fokus bagaimana memadamkannya dan memperbaikinya. Dengan kerjasama dan bersama kita bisa membangun rumah “Indonesia” menjadi lebih kokoh, megah, dan penghuni di dalamnya bahagia dan sejahtera.
Jika ketakutan menjadi porsi terbesar bangsa ini ketika terjadi pergantian pemimpin tentu tidak sebanding dengan ketakutan yang dihadapi Abu Bakar saat ditinggalkan Nabi Muhammad sebagai pemimpin terbaik umat yang langsung mendapat bimbingan Tuhan.
Tapi Abu Bakar tetap melangkah. Seburuk apapun kondisinya, mentalitas Abu Bakar dan para Khulafaurrasyidin patut ditiru. Setiap masa ada masalahnya setiap masalah ada masanya. Pun setiap masalah ada solusinya. Mari menyambut hasil pemilu nanti dengan tetap tenang dan optimis. Siapapun pemimpinnya, kita harus tetap menjaga keutuhan Indonesia.
Baca juga: Pemilu 2024 dan Urgensi Peran Oposisi Menurut Gus Ulil