tebuireng.co – Pemindahan ibu kota jadi pembahasan banyak orang. Narasi yang berkembang menjadi liar dan kemana-mana. Bahkan masuk ranah saling mengkafirkan, tentu tidak perlu.
Istilah “Takfir” berdefinisi; melabel Muslim lain sebagai kafir dan melegitimasi kebencian terhadap mereka. Dalam Al-Qur’an, kata “kafir” atau “kafirun/kafirin” digunakan secara langsung sebanyak 134 kali.
Meskipun istilah-istilah seperti ‘kufur” dan “kafir” ada dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi, tidak ada yang menggunakan istilah “takfir” untuk menyatakan Muslim sebagai “kafir”. Ini menunjukkan bahwa takfir bukanlah istilah Al-Qur’an dan juga tidak pernah digunakan oleh Nabi Muhammad terhadap orang lain.
Para ahli sejarah Islam sepakat bahwa kata takfir diperkenalkan pada periode pasca-Quran dan pertama kali dipakai oleh Khawarij.
Siapa kaum Khawarij?
Khawarij muncul pada abad ke-7 dalam perang Siffin, yang terjadi karena pemberontakan Muawiyah melawan khalifah Ali bin Abi Thalib. Ketika pasukan Ali hampir mengalahkan pasukan pemberontak, Muawiyah mengusulkan arbitrase.
Beberapa pasukan Ali berbalik melawan Ali ketika dia menyetujuinya. Para prajurit ini membentuk kelompok tersendiri yang kemudian dikenal sebagai Khawarij. Mereka meyakini bahwa hanya Tuhan yang berhak menghakimi.
Mereka menyatakan bahwa persetujuan Ali merupakan pelanggaran terhadap kehendak Tuhan, dan mengumumkan bahwa Ali serta para pendukungnya telah murtad. Kelak Ali dibunuh oleh Khawarij ketika sedang sholat Subuh di Kuffah dengan alasan serupa.
Baca Juga: Tragedi Karbala dan Khawarij
Khawarij kemudian menjadi doktrin politik yang mencari kekuasaan. Mereka melawan setiap pemerintahan dengan alasan membela agama dan Tuhan serta menjalankan konsep takfir berdasarkan pemahaman sepihak tentang keislaman seseorang apabila berseberangan dengan kepentingan politik mereka.
Selama berabad-abad konsepsi kaum Khawarij selalu hidup – disuarakan secara beruntun oleh mereka yang mengaku ulama – dan akan terus berlangsung hingga kiamat.
Pada abad ke-20, konsepsi Takfir disuarakan lebih kencang oleh Sayyid Qutub dan diakselerasi oleh organisasi Ikhwanul Muslimin di Mesir. Di Indonesia hari ini kelompok Khawarij juga berusaha hidup.
Mendevaluasi pemimpin dan pemerintahan secara membabi buta dengan selalu mengenyampingkan fakta. Siapakah mereka? Anda nilai sendiri.
Berkaca pada sejarah Islam, kekuatan-kekuatan baru dibangun oleh kaum Khawarij di seputaran Madinah, Kuffah dan pusat pemerintahan Islam lainnya selama ratusan tahun.
Ini terjadi sejak zaman khalifah Ali bin Abi Tholib, Bani Umayyah hingga ke era Abbasiyah. Perpindahan ibu kota yang terjadi pada masa itu biasanya untuk menghindar dari berbagai pertikaian politik, termasuk agitasi politik dari Khawarij yang tidak ada habisnya.
Pada era Abbasiyah, beberapa pemerintahan bahkan sempat berpusat di Raqqa dan Samarra, meski sebagian besar tetap berpusat di Bagdad.
Selama berabad-abad pusat pemerintahan Islam selalu berubah – meninggalkan pola primitif untuk membentuk kota dengan fungsi sosialnya sendiri.
Dinasti Abbasiyah memindahkan ibu kotanya dari Damaskus ke Baghdad pada 762 M. Bani Abbasiyah sangat bergantung pada dukungan Persia dalam menggulingkan Bani Umayyah, sehingga pergeseran geografis itu dilakukan untuk memenuhi keinginan basis pendukung dari non-Arab itu.
Karenanya, khalifah Al-Mansur lebih membuka pintu bagi Muslim non-Arab ke istananya dibanding suku-suku Arab. Dia menganggap orang-orang Arab tidak sepenuhnya loyal dan mudah terhasut oleh kaum Khawarij.
Dia berupaya mengasingkan pemerintahannya dari orang-orang Arab meski sebagian mendukungnya dalam pertempuran melawan Bani Umayyah di pinggiran sungai Zab di Iraq.
Merujuk kepada Martin Hinds dalam “Studies in Early Islamic History”; kelompok Khawarij selalu menganggu pemerintahan Islam sejak era khalifah Ali, hingga sang pemimpin itu harus memindahkan pusat kekuasaannya ke Kuffah dari Madinah.
Kelompok Khawarij menentang pemindahan itu. Hingga berabad-abad berikutnya, mereka selalu menentang keputusan setiap khalifah untuk memindahkan ibu kota dan memintanya untuk mengembalikannya ke Madinah.
Alasannya; ibu kota pemerintahan harus tetap berada dalam tata kelola aristokrasi suku-suku Arab. Menurut Hinds, alasan ini hanya strategi Khawarij saja. Mereka ingin kembali ke Madinah supaya mudah memobilisir jaringan politik yang sudah terbentuk sejak akhir perang Shiffin.
Ini sejarah. “Masa lalu membaca hari ini, dan hari ini membaca masa lalu”, kata Goenawan Mohamad.