Kesehatan adalah nikmat dari Tuhan yang berharga bagi manusia. Setiap orang mendambakan kesehatan dantidak mengharapkan dilanda kesakitan, baik jasmani maupun rohani. Sakit akan sangat mempengaruhi pola hidup manusia. Dalam keadaan sakit, manusia cenderung tidak produktif dan merasa kurang percaya diri karena merasa lemah.
Bagi umat Islam, penyakit tidak hanya terletak pada gangguan yang dirasakan oleh tubuh saja. Gangguan pada hati (alqalb) merupakan penyakit yang penting diperhatikan. Dalam tinjauan tasawuf, penyakit hati menjadi salah satu bahasan utama yang perlu diobati. Sebab, apa yang ada di dalam hati inilah yang menjadi dasar gerak dan perilaku manusia di dunia yang sekaligus akan membawa manusia pada kehidupan selanjutnya, akhirat.
Jika hati manusia bersih dan berisi hal-hal yang bersifat suci, maka berdampak baik bagi tubuh. Sebaliknya, jika hati buruk, dalam arti sering diisi dengan halhal yang berorientasi pada sifat tercela, maka tubuh bereaksi buruk. Dapat kita rasakan bahwa sifat-sifat buruk dalam hati seperti kecemasan berlebihan, marah, dan iri dengki seringkali membuat gerak tubuh tidak terkendali dan terasa tidak nyaman dalam tubuh.
Mengalami Pandemi di Bulan Ramadhan
Ramadan tahun 2020 terasa berbeda karena ibadah yang indah ini ditemani pandemi covid-19 yang terus menjalar. Keadaan ini membuat banyak umat Islam merasa resah karena terbatasi dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan Ramadan yang biasa dilakukan. Kemeriahan Ramadan harus sedikit ditekan karena kebijakankebijakan baru dari pemerintah dalam melawan corona.
Keresahan atas pandemi muncul karena rasa khawatir dalam hati. Hal ini merupakan salah satu penyakit yang harus diatasi. Jangan sampai rasa khawatir itu membuat umat Islam teralihkan dan gagal memanen pahala dan keberkahan Ramadan. Keresahan pada pandemi dapat diubah menjadi motivasi dalam melakukan ibadah melalui pola pikir yang memosisikan pandemi sebagai ujian kesungguhan ibadah pada Tuhan.
Menjalani ibadah di bulan Ramadan bahkan setelahnya di tengah pandemi menjadi momen untuk membersihan jasmani dan hati sekaligus. Pembersihan jasmani sesuai dengan sabda Nabi Muhammad Saw, “Berpuasalah, maka kamu akan sehat.” Dalam kajian hikmah al-tasyri’, puasa secara medis memang dapat menunjang kesehatan seseorang. Adapun pembersihan hati dapat diraih melalui penjagaan agar hati senantiasa tenang karena memahami bahwa pandemi yang terjadi tiada lain adalah ujian untuk kenaikan derajat.
Memosisikan Diri Menghadapi Wabah
Tenang dan waspada kiranya merupakan pola pikir dan keputusan yang tepat dalam menghadapi kondisi yang terjadi. Mengutip Ibn Sina, “Kecemasan adalah setengah dari penyakit, ketenangan adalah sebagian dari obat, dan kesabaran adalah awal dari sebuah kesembuhan.” Maka urgensi bersikap tenang dalam menghadapi wabah adalah sikap yang harus diterapkan.
Selain tenang, sikap-sikap hati yang sebaiknya kita tanamkan dalam menghadapi pandemi covid-19 adalah menghindari perasaan takut yang berlebihan. Ketakutan adalah hal yang wajar, namun ketakutan berlebihan akan menjadi kesyirikan yang sirri (samar). Pun sikap meremehkan pandemi juga perlu dikikis agar tak menjadi potensi baru, yaitu kesombongan. Alih-alih mengedepankan keimanan, meremehkan pandemi justru dapat menjadikan manusia melukai keimanannya sendiri karena sikap sombong.
Terkait hal ini, Ibn ‘Athoillah di dalam kitabnya, Al-Hikam, pada hikmah yang kedua, membagi manusia menjadi dua jenis. Pertama, manusia yang masih berada pada maqam (kedudukan) kasb, yaitu makam di mana manusia masih harus berusaha untuk menggapai apa yang diinginkan. Kebanyakan umat Islam (awam) berada pada makam ini. Untuk mencapai suatu keinginan, ia harus berusaha. Dalam kaitannya dengan pandemi, manusia maqam kasb akan diselimuti ketakutan ketika melihat sesuatu seperti pandemi ini.
Kedua, manusia yang berada di maqam tajrid, makam di mana manusia tidak perlu berusaha untuk menggapai kebutuhan dan keinginannya, baik berupa aspek keduniaan, maupun aspek yang menyangkut dengan ibadah, sudah ditanggung oleh Allah.
Makam yang diungkapkan oleh Ibn ‘Athoillah di atas dapat menjadi tawaran acuan bersikap dalam masa pandemi ini. Bagi kita yang berada pada maqam kasb, sudah seharusnya bersikap sesuai dengan makam kita, mencuci tangan, menjaga jarak, dan seterusnya. Ketika masih berada pada maqam kasb lantas memaksakan diri untuk bersikap di maqam tajrid, maka hal itu bisa disebut dengan nafsu syahwat yang samar. Berangkat dari sini, maka bisa dikatakan, “orang maqam kasb yang takut covid-19 adalah orang yang lebih takut kepada Allah, daripada orang maqam kasb yang berkata saya lebih takut kepada Allah daripada corona”.
Ungkapan tersebut menjadi benar jika kita melihat pendapat Ibn ‘Athoillah sebelumnya. Sebab sebagai masyarakat awam yang berada di maqam kasb sudah seharusnya berusaha menjaga diri. Oleh karenanya, rasa khawatir juga merupakan suatu hal yang baik, mengingat kita berada di maqam kasb.
Berbeda jika kita berada di maqam tajrid, makam para auliya’. Sebagai tambahan, terdapat pula nasihat dari guru Ibn ‘Athoillah, yaitu Syekh Abu Abbas Al-Mursi, “Tetaplah dalam kedudukanmu, sedang apa yang akan diberikan Allah kepadamu pasti sampai kepadamu.” Maka menjadi tambahan penguat bagi kita untuk bersikap sesuai dengan makam kita.
Sebagai penutup, dengan kita menjalankan ibadah puasa di tengah pandemi covid-19 ini dengan penuh rasa hidmat, kesabaran, ketenangan, dan tidak menjadikan pandemi sebagai halangan untuk meningkatkan derajat kita di sisi Allah. Selesai menjalankan serangkaian ibadah di bulan Ramadan dan setelahnya, kita berharap menjadi umat yang kembali fitrah. Fitrah manusia yang selalu mempunyai orientasi pada kebaikan, fitrah manusia yang rindu bertemu dengan Sang Kekasih di surga-Nya, juga fitrah manusia yang tidak abai dengan lingkungan sekitar. Wallahu a’lam.
Oleh: M. Tahyuddin Rizaq : Mahasiswa Pascasarjana Studi Ilmu Agama Islam UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dan alumni Prodi Tasawuf dan Psikoterapi IAIN Kudus.