Gerakan pemberontakan 30 September atau G30S PKI dimulai dengan melakukan penculikan terhadap para Jenderal TNI AD yang telah ditetapkan rencana awalnya dilakukan pada tanggal 30 September 1965, tapi tertunda satu hari dikarenakan komandan satuan belum hadir.
Dalang dan pelaku gerakan 30 September adalah PKI. Tujuan dari PKI melakukan aksi ini adalah perebutan kekuasaan atau pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah dan mengubah ideologi negara menjadi ideologi komunis dalam kehidupan masyarakat.
PKI adalah partai yang merencanakan secara sistematis untuk mewujudkan ideologi komunis dengan membentuk masyarakat dan bangsa yang atheis, melalui cara-cara kekerasan dalam bentuk perebutan kekuasaan, makar, kudeta, atau revolusi.
Sebelum peristiwa G30S PKI ini telah terjadi pemberontakan di Madiun 1948 terhadap pemerintah Republik Indonesia yang sah. G30S PKI telah membawa dampak yang serius bagi masyarakat. Gerakan 30 September dinilai pelanggaran HAM berat, dimana kekejaman PKI dengan berbagai bukti.
Pertama, beberapa rumah tokoh anti PKI di berbagai kota dan desa telah diberi tanda khusus sebagai tanda akan dibunuh. Kedua, para anggota PKI dan pendukung-pendukungnya telah mempersiapkan senjata yang terasah.
Ketiga, PKI telah menyediakan sumur-sumur berukuran 10×10 meter untuk keperluan pembantaian, pembunuhan, dan penguburan secara kolektif. Selain dari upaya pembantaian, ada kejadian lain seperti kekerasan kepada Pelajar Islam Indonesia, Anggota panitia yang menjadi kekerasan seksual, ulama yang diseret-seret dan sebagainya.
Menurut penelitian Fact Finding Comission, hal ini menelan korban 78.000 jiwa. Kopkamtib dalam laporannya menyebutkan 800.000 korban PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur sedangkan di Bali 100.000 korban jiwa dan Jenderal TNI AD yang menjadi target dari gerakan ini. Selain beberapa korban kejadian ini juga menjadi masalah seperti fitnah, salah tangkap, dan sebagainya,
Hingga akhirnya, tragedi Gerakan 30 September ini diselesaikan dengan aspek militer oleh Presiden Soekarno dengan menunjuk Panglima ABRI Mayjen Soeharto untuk memulihkan keamanan dan ketertiban. Dengan adanya pemberontakan PKI ini akhirnya pemerintah melarang menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme di Indonesia.
Lebih dari itu di tataran sosial juga diselesaikan dengan berbagai peraturan atau perundang-undangan yang berhubungan hak-hak kebebasan, kesetaraan sosial sebagai warga negara dalam hidup bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa.
Penulis: Maulida Fadhilah Firdaus
Editor: Zainuddin Sugendal
Baca juga: Tebuireng Konsisten Melawan PKI
Baca juga: Pustaka Ikapete Memotret Perjuangan Kiai Yusuf Hasyim