tebuireng.co – Bagaimana jika teman-teman Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ikut mengamalkan tradisi Nahdlatul Ulama (NU), seperti tahlil, maulid Nabi, ngaji kitab kuning dan lain sebagainya?
Sebagian orang mencurigai ini sebagai “move politik” yang dikalkulasi secara cerdik oleh PKS untuk menarik suara dari kalangan nahdliyyin.
Saya punya pandangan yang berbeda. Saya justru melihat hal ini sebagai gejala yang positif. Saya melihat, tidak semua hal bisa ditafsirkan secara “politik”.
Kenyataan sosial biasanya tidak sederhana, dan karena itu mereduksi kenyataan sosial hanya sebagai cerminan dari “motif-motif politik” yang tersembunyi, jelas kurang tepat.
Meskipun mungin ada “niat politik” di balik tindakan PKS untuk mengadopsi simbol-simbol kultural NU, tetapi saya tak menafikan bahwa mungkin saja ada kesadaran di banyak kalangan pimipinan PKS bahwa pada akhirnya tradisi-tradisi keagamaan NU seperti tahlilan, berjanjen, ngaji kitab kuning adalah tradisi keagamaan yang amat penting, dan tidak bisa diabaikan.

Dulu, pada awal-awal sejarah pendirian PKS, memang pengaruh “sektor salafi/wahabi” lumayan kuat di dalam partai ini. Tetapi, pengaruh ini pelan-pelan mulai memudar dalam perkembangan belakangan.
Baca Juga: Tradisi Tahlilan
Dinamika politik dalam demokrasi yang terbuka dan kompetitif, telah memaksa sebagian elit PKS yang semua hendak mempertahakan “puritanisme” ideologis untuk kompromi.
Saya menyebut gejala ini sebagai proses PKS menjadi lebih “membumi”, menjadi lebih nusantara. Gerak mendekat ke kultur nusantara ini, pelan-pelan, nanti juga akan diikuti oleh kelompok salafi.
Jika mau bertahan di Indonesia, tidak bisa lain kelompok salafi kecuali harus “berdamai” dengan bumi nusantara, dengan kenyataan kultural yang ada di negeri ini. Dan ini, bagi saya, adalah perkembangan yang positif. Tak usah dibaca dengan kaca-mata yang “curigatif”.
Teori lain, perubahan sikap teman-teman PKS ini bisa jadi karena seringnya ada dialog antara tokoh PKS dengan tokoh Nahdliyin. Hal ini bisa dilihat saat 2019, Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Habib Dr Salim Segaf Al-Jufri menjadi salah satu pembicara dalam Seminar Nasional bertajuk “Silang Pendapat Makna Radikalisme” yang digelar di Pesantren Tebuireng
Kegiatan ini diadakan oleh Pusat Kajian Pemikiran Hasyim Asy’ari Tebuireng. Acara ini diadakan untuk memperingati 10 tahun wafatnya Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Mantan Menteri Sosial ini kemudian mengajak masyarakat agar mengokohkan persatuan dan mengutamakan persamaan daripada selalu mengusik dengan perbedaan.
DIsarikan dari tulisan Gus Ulil Abshar

